Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/15/00]

 

MEMAHAMI EKSISTENSI 
DAN DINAMIKA PERS NASIONAL

Oleh Akhmad Zaini Abar

ADA dua cara yang lebih tepat dan proporsional untuk mendikusikan eksistensi dan dinamika pers dalam masyarakat.

Pertama, menempatkan pers sebagai lokus, wilayah atau medium di mana informasi saling dipertukarkan, dikirimkan, atau disebarluaskan.

Kedua, menempatkan pers sebagai entitas, sosok, atau lebih jauh lagi kekuatan sosial dalam kerangka interaksi dengan berbagai kekuatan sosial lainnya dalam masyarakat.

Apabila kita melihat pers sebagai lokus, wilayah atau medium pertukaran, pengiriman atau penyebarluasan informasi, maka pers sering diposisikan sebagai refleksi atau cermin dari realitas sosial. Ungkapan yang sering dikemukakan orang tentang hal ini adalah bahwa pers adalah cermin masyarakat di mana dia berada.     Pandangan seperti ini kemudian melahirkan asumsi: apabila suatu media berada dalam struktur kekuasaan yang otoriter, maka media akan mencerminkan sikap-sikap dan nilai otoriter dari sebuah kekuasaan. Sebaliknya, dalam struktur kekuasaan yang demokratis, maka media akan mencerminkan sikap-sikap dan nilai-nilai yang demokratis.

Kita masih ingat empat teori pers yang diperkenalkan oleh Fred S. Siebert. Dikatakan, suatu masyarakat yang menganut isme atau pandangan hidup liberal, maka persnya pun akan berkarakter libertarian. Sementara dalam masyarakat yang menganut isme atau pandangan hidup otoriter, maka persnya pun akan berkarakter otoritarian.

Dalam pandangan ini, pers lebih menjadi resiepen atau konsumen dari berbagai perubahan atau interaksi kekuatan sosial ekonomi dan politik yang berada di luar dirinya. Problematik yang sering muncul dalam posisi pers yang demikian adalah, bahwa media diasumsikan lebih mencerminkan kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat, sementara itu media tidak mampu merepresentasikan berbagai kepentingan yang pluralistik. Manakala negara menduduki posisi dominan dalam kehidupan masyarakat, maka pers lebih mencerminkan aspirasi dan kepentingan negara. Begitu pula, manakala posisi produsen atau kapitalis lebih dominan berperan dalam masyarakat, maka pers lebih menjadi agen dan pembela kepentingan produsen atau kapitalis.

Secara metodologis, posisi media sebagai cermin ini sering menempatkan ia menjadi wahana dalam mana orang ingin mengetahui atau meneliti berbagai kejadian/peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat. Metode penelitian yang paling sering dipakai untuk itu adalah analisis isi atau deskripsi isi kualitatif.

Kaum kritis menilai cara seperti ini sangat berbahaya, terutama ketika realitas sosial yang ditampilkan pers terdistorsi oleh kepentingan atau kekuatan dominan. Sehingga apa yang dipublikasikan atau disiarkan pers lebih merupakan pseudo-reality atau bahkan realitas palsu. Akibat lebih lanjut dari ini adalah bahwa citra yang terbentuk di benak kita (khalayak pers) adalah citra semu atau palsu.

Anggapan yang hampir mirip juga muncul dari kaum posmo (post modern) yang melihat media massa, dalam hal ini pers, sebagai penyebar fiksi dan mimpi daripada realitas atau kenyataan yang sebenarnya. (Ariel Haryanto, Kompas 12/1/1995). Berbeda dengan pandangan kaum kritis, kaum posmo melihat distorsi realitas yang ditampilkan pers lebih karena kemauan media sendiri dan bukan kehendak kekuatan dominan.                              ***

APABILA kita menempatkan pers sebagai sebuah entitas, sosok atau kekuatan sosial, maka pers sering diposisikan sebagai agen dari suatu perubahan sosial ataupun legitimasi sosial. Sebagai agen dari suatu perubahan sosial, pers dipercayai mempunyai pengaruh baik bagi perubahan kehidupan manusia maupun kepada sistem dan struktur sosial suatu masyarakat.

Teori modernisasi, misalnya, melihat pers sebagai variabel penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam sebuah sistem politik. Teori ini mengasumsikan bahwa pers mampu menciptakan daya kritis serta membuka wawasan masyarakat perihal berbagai peristiwa yang terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, pers juga dianggap mampu mengartikulasikan kepentingan masyarakat yang beragam.

Teori modernisasi juga melihat pers sebagai alat masyarakat untuk mengontrol perilaku kekuasaan yang cenderung buruk (power tend to corrupt) serta dianggap sebagai unsur keempat dari pilar atau kekuatan demokrasi dalam kehidupan politik.

Akan tetapi, teori modernisasi ini kemudian dikritik oleh teori kritis yang melihat posisi pers secara terbalik. Pers dianggap lebih merupakan kekuatan legitimatif bagi status quo daripada sebagai agen perubahan sosial. Lebih jauh lagi, teori ini menganggap pers menjadi "aparatur" status quo, baik itu power ataupun kapital.

Anggapan-anggapan demikian lahir karena pers diasumsikan sebagai kekuatan yang selalu lemah berhadapan dengan surplus of power atau surplus of capital. Manakala pers menghadapi sosok power -- baik itu berupa partai politik, militer, ataupun negara -- yang berlebihan, maka pers cenderung lebih beradaptasi dengan power tersebut. Begitu pula, manakala pers menghadapi kapital yang berlebihan -- baik itu berwujud pemilik media, pemasang iklan, jaringan bisnis dan lain-lain --, maka pers juga cenderung beradaptasi dengan kepentingan kapital tersebut.

Pandangan teori kritis ini, akhir-akhir ini mulai dikritik oleh kaum posmo yang melihat bahwa media tidak selalu dapat dijinakkan oleh power maupun capital. Media massa, dalam hal ini pers, dikatakan telah menjadi sosok yang otonom, punya kemauan dan logikanya sendiri, terlepas dari kemauan dan kehendak kekuatan-kekuatan eksternal, kekuatan-kekuatan di luar dirinya sendiri. (Ariel Haryanto, ibid).

Sayang sekali kritikan kaum posmo ini hingga sekarang belum didukung data-data hasil penelitian empiris. Sehingga banyak orang masih meragukan anggapan-anggapan kaum posmo dalam melihat fenomena dan dinamika pers. Perlu diketahui bahwa hingga kini kaum posmo memang tidak punya metode penelitian yang spesifik untuk mencari data atau pun fakta empiris untuk mendukung argumen-argumen intelektualnya. Sementara itu meminjam metode penelitian lain, ia khawatir akan dikatakan terjebak pada kesalahan-kesalahan atau kekeliruan-kekeliruan metodologis yang ia kritik sendiri.
         ***

DENGAN kerangka pikir demikianlah kita dapat mendiskusikan dan mengkaji secara komprehensif berbagai persoalan pers di negeri ini. Apabila kita menempatkan pers nasional sebagai lokus, dalam konteks relasi negara dan masyarakat di masa Orde Baru sekarang ini, maka kesimpulan sementara yang dapat dikemukakan adalah, pers Indonesia cenderung menjadi wilayah artikulasi kekuasaan negara (state power) daripada aspirasi masyarakat (society). Misalnya, di dalam reportase pers nasional terlihat bahwa frekuensi kemunculan wajah negara lebih dominan daripada masyarakat.

Sementara dalam posisinya sebagai agen atau entitas, pers di Indonesia lebih cenderung berperan sebagai legitimasi sosial daripada sebagai sarana kontrol sosial, mengutip anggapan teori kritis. Kalaupun pers melakukan kontrol sosial, biasanya ia disublimasikan ke dalam bahasa atau simbol-simbol yang euphimism, sehingga masyarakat maupun negara kesulitan menangkap substansinya.

Sementara anggapan teori modernisasi bahwa pers berperan dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan mendorong gerakan demokratisasi juga boleh dikatakan tidak terasa. Belum pernah terdengar dalam sejarah Orde Baru bahwa reportasi dan editorial pers berhasil mempengaruhi munculnya atau dicabutnya suatu kebijaksanaan politik yang diciptakan pemerintah. Yang terjadi justru pers sering menjadi obyek regulasi dan keputusan politik daripada mempengaruhi terciptanya keputusan politik yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Dalam konteks inilah, mengutip pendekatan kritis, pers lebih bersifat legitimatif daripada kritis dalam menghadapi realitas politik. Pers lebih berposisi sebagai pendukung daripada sebagai pressure group dalam sebuah sistem politik.

Akhmad Zaini Abar, pengamat media massa, bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y).