Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/18/00]

 

Prisma 10, Oktober 1977
Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers
Daniel Dhakidae (Kepala Litbang Kompas)

Salah satu dari serentetan tindakan pertama, rezim Zia Ul Haq setelah, menggulingkan pe­merintahan Ali Bhutto adalah memulihkan kebebasan pers Pakistan. Sensor pers dicabut. Namun dalam hari-hari pertama "kebebasan", para pengasuh suratkabar kebingungan. Dalam dirinya sebenamya sejak lama telah musnah kriteria tentang apa yang boleh dan tidak boleh disebarluaskan dalam surat kabamya. Sensor diri selama ini telah begitu kuat tertanam. Tetapi dengan kebebasan yang diberi, para pengasuh terpaksa membiarkan konflik, keraguan serta pilihan-pilihan sulit membayangi dirinya. Dan mereka tidak tahu lagi mau diapakan kebebasannya.

Peristiwa 15 Januari 1974 sampai sekarang masih merupakan tonggak terakhir bagi aksi mahasiswa yang lepas bebas. Setelah itu buat jangka waktu hampir selama dua tahun yang ada adalah kesepian politik mahasiswa. Se­buah surat keputusan menteri pendidikan yang lebih terkenal dengan SK 028 telah me­larang kegiatan mahasiswa di luar kampus universitas. Semua kegiatan di luar kampus harus sepengetahuan dan seizin rektor universitas atau perguruan tinggi masing-masing. Akhirnya surat keputusan tersebut dicabut kembali oleh sebuah surat keputusan yang lain.

Kaskopkamtib mengumumkan bahwa mahasiswa boleh berbuat apa saja asal tetap terbatas di dalam dinding-dinding kampusnya. Adakah pengaruhnya bagi penerbitan mahasiswa? Studi kasus ini mencoba mengamati apa arti semuanya bagi penerbitan mahasiswa atau dunia penerbitan kampus.


Penerbitan kampus

Tidak terlalu jelas sejak kapan bertumbuhnya pers kampus di Indonesia. Tapi satu hal cukup pasti yaitu bahwa dia hadir hampir dalam setiap universitas atau perguruan tinggi. Menyoroti pers kampus tentu saja kita akan memperbincangkan semua media massa yang diterbitkan di dalam sebuah kampus universitas atau perguruan tinggi, terlepas dari apapun bentuk, isi serta tujuan penerbitan masing-masing. Apakah dia diterbitkan para dosen atau mahasiswa. Apakah dia menjadi media resmi sebuah universitas atau perguruan tinggi atau bukan. Sebuah pengamatan sederhana segera membedakan 2 jenis penerbitan yang kini berkembang di kampus-kampus universitas atau perguruan tinggi. Jenis penerbitan yang pertama adalah penerbitan khusus. Di sana dimuat materi-materi khusus. Biasanya pembahasan-pembahasannya adalah konsumsi para spesialis. Di sana dimuat uraian serta analisa masalah-masalah khusus. Dalam hubungan ini bisa ditampilkan bebe­rapa nama: Aesculapius, majalah kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Equilibrium,majalah ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sigma Pi Gama, majalah ilmu-ilmu sosial dan politik Fakultas Sosial dan Politik UGM, Scientiae, majalah sains dan tekhnology (sic). Sudah pasti masih ada sederetan nama-nama lain lagi. Spesialisasi penerbitan-penerbitan seperti ini sudah sangat jelas melihat namanya saja. Orang-orang awam hampir tidak lagi memahami apa makna nama-nama tersebut. Nama-namanya aneh, semuanya dalam bahasa asing, Latin, dan Yunani. Semuanya memberikan konotasi teknis dari bidang ilmunya masing-masing. Bukan saja bahasanya yang asing tetapi isinya juga kadang-kadang asing bagi mereka yang berada  di luar lingkungannya. Tetapi tulisan ini tidak membahasnya secara terperinci.

Di samping majalah-majalah khusus ilmiah ada sejumlah penerbitan kampus dengan tu­juan merangkul massa pembaca yang lebihluas. Mereka berusaha menembusi dinding-­dinding fakultas serta dinding-dinding, spesialisasi yang terlampau ketat. Penerbitan jenis ini bisa saja dibandingkan dengan harian, mingguan umum yang diterbitkan di luar kampus-kampus perguruan tinggi. Mereka me­milih nama yang senantiasa diusahakan untuk lebih akrab dengan dunia universitasnya. Misalnya, "Suratkabar ini diberi nama Salemba sebagai hasil rapat penasehat ahli, rektor dan para pengasuh. Nama ini diajukan berdasar­kan romantisme, bahwa peranan kamipus UI yang pada awalnya terletak di Salemba telah memberikan catatan-catatan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Romantisme juang yang historis itu rasanya perlu diabadikan".
(Sebuah salam perkenalan, induk karangan Salemba, Salemba. No. 1, 1976.)

Demikianlah dipilih nama Salemba, sebuah penerbitan mahasiswa Universitas Indonesia, Jakarta. Dengan alasan yang bermacam-macam tetapi dengan tujuan yang hampir serupa nama-nama berikut ini dipilih: Gelora Ma­hasiswa, Universitas Gajah Mada, Mimbar Universitas Brawidjaja, Malang, Kampus ITB, Identitas, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Hampir tidak bisa dijumpai catatan resmi tentang jumJah yang tepat dari penerbitan mahasiswa atau penerbitan kampus pada umumnya. Namun sangat bisa diduga bahwa jumlah penerbitan kampus adalah sebanyak jumlah perguruan tinggi, serta sejumIah fakultas-fakultas dalam setiap perguruan tinggi yang ada. Setiap fakultas, malah kadang-kadang setiap departemen atau jurusan akan mencoba menjalankan penerbitannya sendiri.

Dengan kehadirannya pers kampus ingin me­mainkan peranan yang lebih berarti. Tetapi masalahnya di mana mereka mencari peran­an tersebut? Di dalam kampus atau di luar kampus? Kampus dipergunakan sebagai tempat untuk melancarkan ekspansi ke luar (kampus) ataukah hanyalah masalah kampus yang akan menarik perhatian mereka dalam karya jurnalistiknya? Ataukah sebenarya mereka hanya secara reaktif memberikan tangapan kepada peristiwa-peristiwa nasional, terhadap peristiwa-peristiwa di dalam mana mereka juga diharapkan turut terlibat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba untuk dijawab.


Di banyak negara kekuatan mahasiswa se­nantiasa diagung-agungkan. Dan juga sikap semacam ini bukannya tidak berdasar. De­ngan semboyan kebebasan kampus, kebebasan mimbar, kampus-kampus Universitas bisa berbuat apa saja yang kadang-kadmig tanpa risiko atau dengan sangat yakin mereka tidak memperhitungkan risiko. Malah ada yang mengatakan bahwa:

A campus, like church is a privileged sanctuary. It can hide criminals or revolutionaries without threat of police intervention and arrest ... Only rarely do law enforcement officials risk intruding in a university city to catch a crook".("Student Press Plays Active Role in Foreign Countries", dalam: New-Register-Wheeling, W-Va­Sunday, December 14.1975 hal. 4.)

Kampus seperti gereja adalah misbah suci yang memegang hak-hak istimewa. Dia bisa menjadi tempat umpetan, Kaum revolusioner tanpa ancaman campurtangan atau ditangkap polisi ... Hanya kadang-kadang saja para penegak hukum berani masuk kampus universitas untuk meringkus gembong penjahat.

Tetapi bagaimanakah semuanya ini tercermin dalam lingkungan penerbitan mereka? Berbeda dengan penerbitan-penerbitan umum, kebanyakan penerbit kampus adalah dwimingguan, atau bulanan. Karena kesibukan kegiatan mereka yang utama yaitu belajar, hampir tidaklah dapat diharapkan bahwa mereka akan menerbitkan koran-koran berita aktuil untuk menyaingi penerbitan di luar kampus. Karena itu mereka harus memilih jenis jurnal­isme tersendiri. Tapi yang manakah? Pers ma­hasiswa mungkin tidak secara bersengaja berusaha mengembangkan gaya jurnalsitik yang khas milik mereka.

Tetapi  justru di situ dia jadi menarik karena semua tingkahlaku jurnalistiknya adalah perjuangan dirinya. Kenyataan tingkahlaku jurnalistik ini menarik untuk diteliti. Dimanakah letak persamaan antara sesuatu penerbitan mahasiswa dengan penerbitan mahasiswa lainnya? Ataukah semua pers mahasiswa seragam? Ataukah ada perbedaan yang menyolok antara pers mahasiswa? Di manakah letak persamaan dan perbedaan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hanyalah muncul bilamana ada suatu ethos pers mahasiswa yang berbeda dengan ethos pers umum atau berbeda dari satu kampus ke kampus yang lain. Di mana perbedaan tersebut?

Akan tetapi dalam hal inipun perlu diperhatikan perbedaan satu universitas dengan universitas lain. Dan perbedaan inipun sangat mudah difahami karena perbedaan lingkungan universitas atau lembaga perguruan tinggi yang satu dengan lain. Dan juga menyangkut perbedaan antara status perguruan tinggi yang satu dengan status perguruan tinggi yang lain. Dalam hal ini apakah ada perbedaan antara tingkahlaku jurnalistik Universitas dan IKIP. Apakah ada perbedaan antara universitas atau perguruan tinggi negeri dengan perguruan tinggi swasta? Ataukah ada perbedaan antara universitas atau perguruan tinggi yang berkedudukan di pusat dan di daerah? Sayang, kekurangan waktu tidak memungkinkan penelitian untuk menjawab, beberapa pertanyaan terakhir ini. Tetapi Untuk menjawab beberapa pertanyaan terdahulu, maka dibuat suatu studi kasus. Dan untuk itu diambil beberapa penerbitan berikut ini. Salemba, penerbitan mahasiswa Universitas Indonesia; Gelora Mahasisiwa, penerbitan Dewan Mahasiswa Universitas Gajah Mada; Derap Mahasiswa, penerbitan Dewan Mahasiswa IKIP Negeri Jogyakarta. Saya memilih majalah-majalah di atas selama tahun penerbitan 1976-1977. Dan dari semua rubrik yang ada dipilih beberapa rubrik yang diduga menjadi titik pusat suatu karya jurnalistik. Artinya rubrik-rubrik tersebut digarap dengan cukup teliti. Dia diangkat dari beberapa macam tawaran ganti (alternatif-alternatif) dalam topik dan masalah. Dengan demikian rubrik-rubrik tersebut akan mengungkapkan persepsi, dan sikap penerbitan-penerbitan tersebut. Dalam hal ini dipilih Berita Utama.  

Apa yang diambil sebagai berita utama adalah hal-hal yang dianggap sangat berarti dibandingkan dengan peristiwa lain dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa-peristiwa manakah yang dianggap sangat berarti bagi suatu penerbitan mahaswa? Dan apakah mungkin bagi kita melihat di dalamnya warna atau sikap jurnalistik mereka dan dalam hubungan itu sikap sosial dan politiknya terhadap suatu peristiwa tertentu? Hal serupa akan cukup jelas ternyata di dalam rubrik tajuk rencana. Pojok diduga berhubungan erat dengan ethos jurnalistik. Akan tetapi dalam sampel yang dipilih tulisan pojok terlalu bervariasi dan menyulitkan penggolongannya (klasifikasi). Salemba misalnya hanya menulis satu atau dua. Sedangkan Gelora Mahasiswa dan Derap Mahasiwa terlalu banyak tulisan pojoknya. Dengan alasan itu pojok tidak dimasukkan dalam analisa. Dan akhirnya suatu cetusan lain yang lebih sophisticated adalah cetusan kritik yang akan terungkap dalam karikatur-karikatur. Khusus untuk karikatur dalarn sampel yang dipilih hanya Gelora Mahasiswa dan Salemba yang secara teratur diselenggarakan. Simbol yang dipakai sebagai ekspresi karikatural sangat berguna untuk mempelajari sikap politik suatu penerbitan.  


Ethos pers mahasiswa

Dibandingkan dengan tahun 1977 maka. da­lam tahun 1976 kelihatannya tidak terlalu banyak terjadi peristiwa-peristiwa "besar" dalam panggung politik nasional. Sedangkan dalam tahun 1977 cukup banyak terjadi peristiwa-peristiwa nasional yang penting seperti persiapan kampanye, kampanye itu sendiri, pemilihan umum serta peristiwa-peristiwa post­ pemilihan umum, yang merupakan jalinan reaksi-reaksi keras dan lembut terhadap hasil pemilihan umum, pelantikan DPR/MPR hasil pemilihan umum. Sejauh manakah peristiwa­peristiwa tersebut menarik perhatian pener­bitan pers mahasiswa? Apakah reaksinya? Jalinan persepsi dan sikap mereka inilah yang bisa kita sebut ethos pers mahasiswa. Ini berarti bahwa dalam diri mereka telah ada suatu disposisi psiko-politis tertentu yang siap memberikan reaksi ke arahyang tertentu pula. Semuanya telah membudaya dalam dirinya. Sehingga apa yang dibuatnya bukanlah suatu kebetulan.  

Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat menarik perhatian mahasiswa dan penerbitan mahasiswa. Yang terutama sebenarnya tentu saja masalah pendidikan. Dalam hal ini masa­lah kampus dan masalah yang menyangkut sistem pendidikan universitas atau perguruan tinggi. Kalau sekiranya mereka merasa bahwa pendidikan adalah suatu hal vang penting dan juga menjadi urusan mereka, maka dengan sendirinya masslah pendidikan akan menjadi titik pusat permasalahan yang dikaji dalam kegiatan-kegiatan jurnalistiknya atau mereka akan mengarahkan orientasinya kepada masalah-masalah ekonomi, kebudayaan atau politik. Yang dimaksudkan dengan politik di sini adalah sebagai berikut. Bisa dipakai dua kriteria untuk menentukan apakah suatu berita atau ulasan termasuk politik atau bukan-politik. Dia bisa berarti setiap tulisan yang berorientasi kepada kekuasaan atau yang berorientasi kepada proses pem­buatan kebijaksanaan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah. Dia bisa dalam bentuk kritik, dukungan, saran atau apa saja.
 

Tabel I  
Berita Utama

Media

N Politik

N Pendidikan

% Politik

%Pendidikan

Gelora Mahasiswa(1976)

2

5

29

71  

Gelora Mahasiswa(1977)

3

2

60

40  

Salemba(1976)

5

9

36

64  

Salemba(1977)

12

2

86

14  

Derap Mahasiswa(1976)

1

9

10

90

Derap Mahasiswa(1977)

1

5

16 

84  

 

 

 




Dalam Tabel I kelihatannya dalam tahun 1976 sebagian terbesar dari porsi berita utama diberikan kepada masalah pendidikan. Gelora Mahasiswa menyiapkan 71% dari berita utamanya bagi masalah pendidikan dan 29% bagi masalah politik. Sedangkan hal yang sama juga terjadi dengan Salemba 64% diberikan kepada pendidikan dan 36% dibe­rikan kepada masalah-masalah politik. Dan agaknya menarik untuk melihat bahwa Derap Mahasiswa yang diterbitkan oleh IKIP Negeri Yogyakarta menyediakan  porsi sangat besar bagi masalah pendidikan. 90% dari berita utamanya di tahun 1976 memba­has soal-soal pendidikan. Hanya 10% saja yang diberikan kepada masalah politik. Hal yang sama terjadi lagi dengan tahun 1977 di mana rata-rata terjadi cukup banyak peristiwa-peristiwa nasional yang penting. 84% dari porsi berita utamanya diberikan kepada ma­salah pendidikan yang berarti kepada masa­lah masalah intern kampusnya. Dalam hu­bungan itu bisa dibaca judul-judul beritanya seperti:  
* Banjir pendaftar di IKIP Yogyakarta.  
* Plonco-plonco: antara bentakan dan rayuan  
* Bubarkan saja LKM jika otoritasnya tidak diakui.

Dan hanya 16% disediakan bagi ma­salah-masalah nasional. Sedangkan kedua penerbitan Universitas: Salemba dan Gelora Mahasiswa dalam tahun 1977 seolah-olah membalikkan arah penerbitannya. 60% dari porsi berita Gelora Mahasiswa diberikan bagi masalah-masalah politik. Sedangkan 40% di­berikan kepada masalah-masalah pendidikan.

Tabel 2
Tajuk Rencana

Media

N Politik

N Pendidikan

% Politik

%Pendidikan

Gelora Mahasiswa(1976)

2

5

29

71  

Gelora Mahasiswa(1977)

3

2

60

40  

Salemba(1976)

12

17

41

59  

Salemba(1977)

9

6

60

40  

Derap Mahasiswa(1976)

1

10

9

91

Derap Mahasiswa(1977)

1

5

20 

80  

 

 

 

 

 

Tabel 3
Karikatur

Media

N Politik

N Pendi

dikan

N Kebu

dayaan

% Politik %Pendi

dikan

%Kebu

dayaan

Gelora Mahasiswa(1976)

2

4

1

29 57

14  

Gelora Mahasiswa(1977)

5

2

-

71 29

Salemba(1976)

-

10

-

- 100

Salemba(1977)

8

1

1

80 10

10  

 








Yang menarik adalah bahwa Salemba mem­berikan 86% porsi berita utamanya bagi masalah politik. Hal yang sama terjadi lagi da­lam rubrik tajuk rencana. 60% dari tajuk ren­cana di tahun 1976 diberikan kepada masa­lah pendidikan, 40% diberikan kepada masa­lah politik (Lihat Tabel 2). Demikianpun de­ngan Salemba 59% dari tajuk rencananya di tahun 1976 diberikannya kepada masalah pendidikan dan 41% diberikan buat masalah politik. Penerbitan IKIP Negeri Yogyakarta te­tap Konsisten dengan apa yang telah dibuatnya dalam berita utama. 91% diberikannya kepada masalah pendidikan dan hanya 9% di­berikan kepada masalah politik. Demikianpun dalam tahun 1977. 80% diberikan kepada masalah pendidikan sedangkan 20% diberikan kepada masalah politik. Mungkin karena cita-citanya menjadi guru seluruh perhatiannya ditumpahkan bagi masalah ‑masalah pendidikan. Hal yang juga menarik adalah karikatur yang diselenggarakan secara teratur oleh kedua penerbitan: Gelora Mahasiswa dan Salemba. 57% karikatur Gelora Mahasiswa di tahun 1976 adalah karikatur pendidikan, 29% karikatur politik, 14% karikatur kebudayaan (lihat Tabel 3). Sedangkan di tahun 1977, 71 % dari porsi karikatur Gelora Mahasiswa adalah karikatur politik. Dan 29% karkatur pendidikan. Dalam tahun 1976, 100% karikatur Salemba adalah karikatur pendidikan. Sedang­kan 80% dari karikatur Salemba di tahun 1977 adalah karikatur politik dan 100% kari­katur kebudayaan. Yang paling menarik per­hatian adalah karikatur politik Salemba. Sebagian terbesar adalah karikatur tentang kebebasan atau sekurang-kurangnya bertema­kan kebebasan. Dan kalau sekiranya sang karikaturis membayangkan kebebasan maka yang dibayangkan adalah kebebasan dari cengkeraman, kebebasan lembaga-lembaga demokrasi dari genggaman otoritas penguasa. Dan hampir semuanya dilukiskan dalam simbol-simbol yang hampir seragam. Peng­genggam kebebasan digambarkan dalam simbol-simbol militer. Hampir semua simbol militer dipakai kalau sekiranya sang karikaturis ingin menyuarakan kebebasan. Di sana dengan gampang dilihat tampang serdadu ke­jam dengan gigi-gigi kokoh tajam atau bersenjata, serdadu dengan topi baja atau sejenisnya sedang melalap mangsa-mangsanya apakah itu pers, partai politik serta kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ketakutan dengan mulut yang terkatup. Atau sepatu lars militer yang kokoh keras simbol stabilitas se­dang menginjak-injak kebebasan. Atau seperti dalam penerbitan tanggal 15 Januari 1977 tampak seorang serdadu berbintang satu. Dalam gigi-geriginya yang tajam seperti gergaji sang serdadu tengah memamah kebebasan pers, demokrasi, kebebasan mimbar, kebebas­an berserikat, kebebasan individu dan freedom and peace (sic.).   

Dari satu dua data yang telah dikemukakan di atas bisalah dilihat beberapa hal. Penerbitan-penerbitan mahasiswa menganggap bahwa luas jangkauan penerbitannya bukanlah cuma dinding-dinding perguruan tinggi. Mereka mencoba menembusi dinding universi­tas. Dan mereka bukanlah sebuah pulau ter­pisah dalam masyarakat secara keseluruhan. Namun kadang-kadang terasa ethos pers yang ditunjukkan penerbitan mahasiswa ini justru mencerminkan terpisahnya mereka dari dunia dan masyarakat pers sendiri. Mereka menyuarakan sesuatu yang rupanya sama sekali tidak mungkin terjadi di dalam pers umum. Dalam data yang dikemukakan di atas sangat menonjol sikap bebas mereka. Malah hampir-hampir bisa dikatakan suasana pers partisan sangat jelas dalam pers kampus mahasiswa. Ini berarti bahwa pemberitaan mereka, editorial mereka sebanarnya perlambang dari atau hanyalah cetusan-cetusan yang terpancar dari kerangka ideologi tertentu. Hampir-hampir bisa saja dikatakan bahwa berita yang ditonjolkan dipakai sekedar seba­gai bukti pendukung ideologi mereka. Dalam kampus universitas telah berkembang apa yang disebut adversary journalism (jurnalisme penantang). Dan ini sangat berlaku bagi dunia universitas selain IKIP. Pers kampus adalah anjing penjaga yang mengintip peristiwa-peristiwa politik. Lantas melemparkan­nya kembali kepada masyarakat sambil me­nonjolkan segi-segi yang menantang dan segi-segi oposisi. Karena itu judul-judul berita utama atau laporan-laporan utamanya akan berbunyi: "Penguasa harus tahan diri" (Sa­lemba, 15 Januari), "Perjuangan Orba se­makin pudar," (Salemba, 15 Maret)," Benar­kah DPR sekedar etalase Demokrasi" (Salemba, 16 Mei), "Mempermasalahkan Pemilihan Presidcn Rl" (Salemba, 5 juli), "Sistem Pemilu yang demokratis masih harus diperjuangkan" (Salemba, . . . ) 1977", "Kesem­patan subumya komunisme terasa kembali, cita-cita kemerdekaan masih jauh dari kenyaa­taan" (Satemba, 15 Agustus).

Dari judul-judul berita utama yang dikemukakan di atas ada satu dalam bentuk pertanyaan: Benarkah DPR sekedar etalase Demokrasi? Dan melihat tipe jurnalisme semacam ini jawabnya sudah bisa diduga: memang benar DPR yang kini hidup dan bekerja tidak lain daripada sekedar pajangan. Judul "Mempermasalahkan Pemilihan Presiden RI" tidak terlalu menjelaskan ethos pers penantang. Akan tetapi dalam isinya sudah bisa diduga bahwa pers jenis ini akan memberikan jawaban: mereka tidak puas dengan cara yang tengah berlangsung dan karena itu cara pemilihan presiden yang berlaku sekarang seharusnya dirubah. Judul-judul yang hampir serupa bisa dilihat dalam judul berita utama Gelora Mahasiswa: 'Tentu saja Golkar menang," (April 1977)," Exhibisionisme politik Indonesia," (Juli 1977), Politik naik Pitam. (Sept. 1977). Semuanya merupakan fakta yang cukup jeIas menunjukkan bahwa penerbitan mahasiswa adalah Journal of opinion, dan bukannya koran berita. Yang mereka tampilkan adalah pandangan ideologi mereka, sikap politik mereka.


Ethos kebebasan  sebagaimana dihayati oleh kedua penerbitan pers Universitas jelas
memperlihatkan perbedaannya dengan IKIP. IKIP sengaja tidak mau melibatkannya dirinya de­ngan masalahmasalah sosial dan politik umum. Yang hidup dalam benaknya adalah dunia kampusnya, dunia pendidikannya.


Dunianya adalah lingkungan yang terdekat secara fisik dengan dirinya. Yang dipersoalkan adalah masalah sepeda, masalah buku dan beberapa masalah ketidakberesan teknis di dalam lingkungan perguruan tingginya. Dari sini nyata benar bedanya dengan alam fikiran pendidikan universitas yang sifatnya nasional, global. Mereka berfikir dalam kerangak luas, makro, kosmopolitan, ekstrovert, dan kadang-kadang teoritis dan berbeda dengan IKIP introvert, praktis. Semangat anti otoritas sangat tampak dalampenerbitan-penerbitan mahasiswa universitas. Sema­ngat anti otoritas tetap nampak baik terhadap otoritas di luar kampus maupun otori­tas di dalam Kampus universitas. Hal ini tidak tampak dalam kalangan IKIP.  

Perbedaan lain antara IKIP dan universitas adalah tumbuhnya kepekaan sosial dan poli­tik dalam pers mahasiswa universitas. Politik pemberitaan mereka senantiasa diusahakan untuk sejalan dengan peristiwa-peristiwa yang tejadi dalam dunia politik dan sosial umumnya. Sedangkan IKIP lebih sempit jangkauannya dan senantiasa melihat ke da­lam. Tetapi aneh bagi penerbitan-penerbitan yang diteliti masalah ekonomi dan kebuda­yaan sama sekali tidak menarik perhatian mahasiswa.  


Alam fikiran dalam bahasa

Performans bahasa ditentukan oleh keadaan sosial di mana penggnaan bahasa itu berlangsung. Pemakai bahasa akan memilih jenis-jenis kata tertentu yang solalu diperguna­kan. Pemakaian kata kadang-kadang menya­takan siapa pemakainya, apakah keinginan sipemakai, apa cita-cita pemakai bahasa ter­tentu. Keseringan memakai suatu jenis ba­hasa atau pola pemakaian bahasa tertentu bisa dengan jelas menunjukkan kebudayaan apakah yang sedang berlangsung dalam suatu sistem sosial dan politik. Pemakaian singkatan-singkatan (akronim) dalam bahasa misal­nya menunjukkan bahwa suatu masyarakat tertentu telah mengarah kepada suasana tek­nokratis, militeristis, atau mungkin juga me­nunjukkan bahwa suatu sistem masyarakat telah dijangkiti penyakit malas berfikir atau fikirannya singkat, berjangka pendek. Mere­ka hanya siap menerima sesuatu sebagaimana adanya. Gejala akronim menunjukkan ke­nyataan abridgement of thought, penyingkatan fikiran.

Kebebasan pers-pers kampus Universitas di tahun 1960-an di Amerika dan Eropa misal­nya, diungkapkan dalam kata-kata mesum yang dipakai dengan penuh kesengajaan un­tuk menyatakan keberangannya seperti: fuck, shit, bulshit. Kata-kata sejenis membe­rikan corak dan melilit benang merah dalam pemakaian bahasa jurnalistik mahasiswa. Pe­makaian tersebut hanyalah untuk menunjuk­kan suatu disposisi psiko-politis. Mereka me­nolak sistem sosial politik yang lama. Mem­porakporandakan tata sopan santun lama. Mengingkari norma-norma lama. Menelan­jangi kemunafikan kebudayaan lama dan menjejali halaman-halaman penerbitan kam­pusnya dengan kata serta ungkapan-ungkapan mesum yang membikin merah cuping teli­nga pembaca.  

Demikianlah ternyata bahwa pengaruh bahasa adalah langsung atas komunikasi sosial. Sama halnya dengan pemakaian bahasa da­lam pers dan jurnalisme pada umumnya. Dalam hubungan ini maka setiap lapisan sosial akan mempergunakan bahasa sendiri yang disebut "bahasa lapisan".
(Bandingkan Ulrich Kratz, "Bahasa dan Kontral Sosial," Prisma, Junil 1974. hal.73-74)

Dengan dugaan tersebut saya mengundi dan memeilih(artinya saya mengambil majalah mahasiswa  yang terambil) 3 buah majalah untuk setiap penerbitan: Salemba, Gelora Mahasiswa, Derap Mahasiswa. Dari situ saya mencoba memperhatikan bahasa yang dipakai mereka dalam mengemukakan buah fikirannya dalam editorial, sedangkan rubrik-rubrik yang lain saya tinggalkan. Ru­brik ini dipilih karena di dalam suatu pener­bitan rubrik tersebutlah yang paling asli dari pengasuh suatu majalah untuk mencermin­kan alam fikirannya. Dia ditulis untuk me­wakili opini majalahnya. Tentu saja saya sa­dar bahwa pemilihan jenis bahasa yang dipa­kai dalam editorial yang ditulis secara ano­nim sama sekali tidak bisa mewakili bahasa yang dipakai mahasiswa atau pers kampus pada umumnya. Akan tetapi di sini juga ma­salahnya. Pemilihan ini sendiri sudah mem­berikan kesulitan. Sudah cukup jelas bahwa editorial tersebut bukanlah ditulis oleh suatu kelompok, malah bukan oleh suatu team redaksi. Dengan demikian dia tidaklah mewakili jenis bahasa yang lazim dipakai mereka.  

Akan tetapi kalau sekiranya suatu jenis baha­sa tertentu cukup sering dipakai berarti bahwa dia dibiarkan untuk dipakai dengah persetujuan diam-diam dari rekannya. Artinya mereka menerima kehadiran jenis bahasa semacam itu. Untuk keperluan ini saya memi­lih 3 kriteria  yang dipilih berdasarkan kesan sesaat setelah membaca puluhan editorial.  Pertama, kata-kata yang menyatakan konsep dasar dan fundamentil yang bisa dianggap mewakili isme-isme, pandangan-pandangan politik tertentu seperti komunisme, hak, moral, demokrasi dan seterusnya. Lantas kata-kata yang menyatakan keadaan, situasi, kondisi. Pemakaian kata-kata ini memberikan konotasi abstrak karena memang kata-kata tersebut adalah abstraksi dari seluruh peristiwa-peristiwa kongkrit dalam suatu keadaan tertentu. Dalam setiap bahasa akan berlainan pengungkapannya. Bahasa latin misalnya. Akan berakhir tas (hereditas, mentalitas), atau Inggeris dengan akhiran ty (mentality) dan seterusnya. Jenis bahasa seperti ini biasanya dipergunakan oleh mereka yang tingkat abstraksinya sudah tinggi; dengan demikian hanyalah dipergunakan oleh mereka yang terpelajar, ahli-ahli, filosof. Kata-kata yang sifatnya mendasar serta tingkat abstraksinya tinggi hampir serupa fungsinya. Dan hanya mereka dengan kadar intelektuil tertentu mampu mempergunakannya. Kedua, pemakaian kata-kata yang menyatakan suatu tuntutan ideal. Dia senantiasa menggambarkan suatu  ideal type, atau kesempurnaan ting­kah laku dari suatu keadaan tertentu. Untuk menyatakan bahwa seseorang senantiasa diliputi dengan alam fikiran ini atau selalu mau mengejar yang paling seimpurna orang senan­tiasa memakai kata-kata yang menunjukkan dos Sollen. Dengan demikian selalu dipakai kata:  harus, seharusnya, mesti, semestinya, selayaknya dan seterusnya. Dia melambang­kan alam fikiran yang normatif. Dia menuntut bahwa sesuatu harus memenuhi ukuran kesempurnaan tertinggi. Dan malah kadang-kadang tidak aneh bilamana yang dituntut adalah seekor burung gagak berwama putih! Ketiga, pemakaian pertanyaan: apa, apakah, bagaimana, di mana, sejauh mana, seberapa dan seterusnya. Pemakaian pertanyaan selalu menggambarkan jiwa yang selalu mencari, jiwa yang rnempersoalkan kenyataan karena sesorang tidak merasa puas bilaman suatu kenyataan selalu diterima sebagai adanya tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Dia melambangkan alam fikiran dialektis. Mereka bercita-cita terutama bagi problem posing. Mengajukasi masalah yang tepat dan bukannya secara acak-acakan menawarkan sebuah problem solving. Namun pertanyaan barulah berarti kalau diajukan dalam, konteks yang pantas. Dengan demikian ada benarnya bilamana dikatakan mengajukan pertanyaan yang benar berarti separuh masalah terpecahkan.  

Akan tetapi dalam pertanyaan juga terkan­dung kelemahan. Bilamana pertanyaan diaju­kan secara lepas, tergantung, dan tanpa ke­terlibatan total dalam suatu masalah, maka jiwa positif problem posing akan tergelincir menjadi kecengengan, dia menjadi tidak ber­daya, hampa. Dia hanya menunjukkan bahwa orang yang bertanya sebenarnya tan­pa kemampuan apapun; nasibnya diserahkan untuk dibereskan orang lain. Dalam istilah besarnya, pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak existensial, tercerabut dari akar-akar masalah yang ingin dipangkasnya.
(Suatu analisa menarik yang erat hubungannya de­ngan hal ini bisa dibaca dalam tulisan Remy Silado tentang "Musik Pop Indonesia: Satu kebebalan Sang Mengapa". Pertanyaan mengapa yang lepas, hampa senantiasa membayangi musik Indonesia, (Prisma, Juni 1977)

Sebuah kalimat adalah kumpulan konsep-konsep. Sebuah editorial adalah kumpulan kalimat-kalimat dan karena itu juga kumpulan konsep. Untuk mengemukakan konsep  akan dipilih pemakaian kata atau pemakaian kalimat yang khas milik suatu jaringan sosial tertentu atau strata sosial tertentu. Karena itu kita mencoba mengamati language beha­viour tingkah laku berbahasa dalam jurnalis­me mahasiswa di sini. Berapakah frekwensi pemakaian bahasa tertentu?  

Kriteria yang dipakai untuk ini adalah sebagai berikut. Untuk menyatakan suatu konsep yang abstrak biasanya dipakai kata-kata ber­imbuhan ke-an, pe (ng)...an. Di sini kita harus berhati-hati dalam memilih. Kata-kata seperti pelabuhan sudah jelas menunjukkan tempat sehingga dia tidak bisa dipakai untuk dimasukkan ke dalam kategori ini. Demi­kianpun pengadilan (misalnya: dia dibawa ke pengadilan). Dengan pengecualian kata-kata seperti itu maka dikumpulkanlah induk ka­rangan majalah mahasiswa tersebut.  

Setelah diundi saya memperoleh majalah-majalah berikut ini: Salemba; 5 Mei 1977, 5 Juli 1977, 1 Oktober 1977; Gelora Mahasis­wa: April 1977, Juni 1977, Juli 1977; Derap Mahasiswa: 1 Desember 1976, April 1976, Agustus 1977. Klasifikasi hasilnya bisa dili­hat pada Tabel 4.


Tabel 4
Jenis bahasa

Media

banyaknya 

kalimat

abstraksi

persen

tase

ideal type persentase

perta

nyaan

persentase

Salemba

99

71

72

3 3

17  

17

Derap

133

75

56

- -

1

3

Gelora 

Mahasiswa

136

65

48

11 8

8 

6

 






Dalam 3 editorial Salemba memakai 99 kali­mat. Dan setelah dijumlahkan pemakaian konsep-konsep abstrak, kelihatan bahwa 71 kali konsep jenis itu dipakai. Ini berarti bahwa 72% dari seluruh editorial sarat de­ngan konsep-konsep abstrak. Melihat persen­tase yang disuguhkan bisalah dikatakan bahwa rata-rata dalam penerbitan mahasiswa dipergunakan bahasa-bahasa abstrak. Induk karangan Derap Mahasiswa mempergunaKan 56%. Dan Gelora Mahasiswa 48%. Di sana bisa saja terdapat pembauran konsep-konsep dasar filosofis. Sehingga satu editorial sarat dengan konsep-konsep yang jarang diberikan rumusan-rumusan operasional. Misalnya dalam editorial dengan mudah ­ditemukan: pertanyaan mendasar, nasib bangsa dan negara, keberanian moril, kejujuran diri, atau mengabstrakkan pengertian yang sebenarnya bukannya tidak mungkin dipakai kata kerja aktif biasa yang secara stilistis masih indah untuk dibaca. Dengan demikian akan dipakai ketidakfahaman, atau hubungan eksistensial antara pers dengan penyebab timbulnya kon­disi obyektif atau "Laju perkembangan za­man yang kaya permasalahan yang serba kompleks, memerlukan kepekaan yang me­ningkat secara timbal balik". Atau tentang pers mahasiswa dikatakan dalam salah satu editorial" la sekarang tak lebih dari penerbit­an yang hanya memenuhi syarat aktualis (sic.) "Publisitas "(sic.). Atau lagi Peningkatan Pemerataan Pendapatan dan seterusnya. Sebagaimana telah dikatakan di atas mungkin sekali ini menjadi bahasa khas milik ma­hasiswa. Dia hanya difahami oleh mereka sendiri atau oleh orang dengan kemampuan intelektuil setara dengan mereka. Dan menu­rut data yang diperoleh di atas, maka ternya­ta Salemba yang paling tinggi persentasenya dalam pemakaian ungkapan-ungkapan abs­trak dan konsep-konsep abstrak.  

Di fihak lain Gelora Mahasiswa adalah yang terbanyak mempergunakan keharusan-keha­rusan. Sebagai contoh dalam satu editorial bisa saja diperoleh 12 keharusan yang diberi­kan kepada pers mahasiswa. Dan mungkin menarik untuk memaparkannya dalam suatu daftar (Tabel 5).
 

Tabel 5  
Gambaran Alam Pikiran Mahasiswa

16 Konsep abstrak Selemba(5 Juli 1977)  

12 Keharusan  Gelora Mahasiswa (Juli 1977)   15 Pertanyaan  Salemba(5 Juli 1977)  
  1. Pertanyaan mendasar

  2. Nasib bangsa dan negara

  3. Perkembangan bangsa

  4. Kehidupan bangsa

  5. Kultur oposisi

  6. Demokrasi liberal

  7. Perjuangan mahasiswa

  8. Persepsi

  9. Kemampuan analisa

  10. . Kejujuran diri

  11. . Keberanian moril

  12. . Membangun bangsa

  13. . Menyimak pemberitaan

  14. . Keterlibatan Bulog

  15. . Kepincangan

  16. . Kepekaan terhadap persoalan  

 

 

  1.  …permasalahan tersebut bisa diaktualisir manakal kita mepertanyakan kembali fungsi yang seharusnya diduduki pers pada setiap zamannya

  2.  …perbandingan surat kabar dengan oplag harus dapat mencapai 1 surat kabar untuk 10 orang pembaca

  3. Ia tertatih-tatih dalam debur tuntutan peran dan realita pahit yang harus disandang

  4. Kebebasan pers yang seharusnya jadi landasan berpijak…

  5. Seharusnyalah, kehadiran pers mahasiswa ini bisa menyulam beberapa celah tersebut

  6. Secara kualitatif terlihat bahwa pers mahasisswa agaknya larut dalam terkubur bersama idealisme yang seharusnya selalu menopang missinya

  7. Kalau kita melihat permasalahan tersebut adalah merupakan masalah yang urgen maka perbincangan tentang solidaritas pers mahasiswa menjadi "solid" konsep dasar solidaritas pers mahasiswa harus ditetapkan.

  8. Untuk mencapai tujuan tersebut, agaknya perlu ditempuh berbagai keharusan yang perlu dilakukan oleh pers mahasiswa.

  9. Diantaranya adalah, ia harus melaporkan, menjelaskan kejadian yang layak untuk diberitakan

  10.  Ia harus eksist

  11.  Ia harus mengabdi kepada tujuan-tujuan komunikasi massa.

  12.  Kalau memang benar pemerintah memerlukan suatu sikap yang kritis dan peka dari mahasiswa untuk melapangkan tujuan menegara kita, maka kekuasaan politik yang bisa mencekik ruang hidup dan ruang partisipasi bagi pers mahasiswa harus dihilangkan.  

  1.      –Hanya itukah perjuangan mahasiswa?

  2.      –Apa sebenarnya yang sedang terjadi di masyarakat kita?

  3.     –Dan apakah makna dari semua itu bagi perkembangan bangsa?

  4.     Benarkah kelompok Sawito cukup kuat untuk menggulingkan presiden Soeharto secara inkonstitusional?

  5.      –Benarkah yang dinamakan komando jihad itu memang ada?

  6.      –Benarkah mendapat dropping senjata dari luar negeri?

  7.     –Atau kesemuanya itu Cuma sekedar isyu untuk sesuatu tujuan politik tertentu saja dari penguasa?

  8.      Apakah peringatan terhadap "Kultur oposisi" tersebut ada kaitannya dengan kekuatan dengan keluarnya "petisi Dipo dan Bambang" baru-baru ini?

  9.       –Siapakah sebenarnya yang membakar "Proyek Senen" baru-baru ini?

  10.   –Mahasiswakah atau orang-orang lain?…

  11. .   –Kenapa cuma ketika masa "demam pemilu" saja mereka ikut-ikut "demam petisi dan protes"?

  12. .   –Cuma sebegitu saja perjuangan mahasiswa, mengajukan petisi, lalu foto bersama pejabat, dan selesai?

  13. .   –Kenapa ketika heboh terlibatnya Bulog menurut Pembela Budiaji, para tokoh mahasiswa berlagak Pilen?

  14. .   –Kenapa menyaksikan berbagai kepincangan yang kait-mengkait sekarang ini mahasiswa bungkam?

  15. .   –Kenapa…?  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

Dan Salemba juga paling banyak mengemukakan pertanyaan-pertanyaan. Namun perta­nyaannya tidak lebih dari penjejalan masalah satu sama lain dan hampir tidak merupakan suatu kesatuan konteks. Mereka adalah per­tanyaan lepas. Pertanyaan-pertanyaan terse­but tidak lebih dari pada menyatakan bahwa mereka tidak berdaya. Hampa.  

Penutup

Rasa terlibat para mahasiswa dengan masalah-masalsah sosial dan politik yang dihadapi masyarakat umum tidaklah meragukan. Sympathy, compassion selalu ada dalam diri mereka Tingginya kemampuan refleks jur­nalistik mereka cukup jelas dalam pemilihan berita-berita utama, editorial, serta karikatur yang senantiasa diusahakan untuk sejalan de­ngan masalah masyarakat pada umumnya. Jurnalisme mahasiswa cukup konsekwen me­manfaatkan kebebasan yang ada pada dirinya. Dia tidak terikat pada keadaan di mana kebebasan itu diberikan atau tidak diberi­kan. Tapi kebebasannya senantiasa dipakai. Kebingungan rekannya di Pakistan tidak menjangkitinya. Tapi kalau penemuan di atas bisa dipercayai maka kebebasan mereka, keberangan jurnalistik mereka adalah kebera­ngan yang bersandarkan utopia dan alam fikiran normatif. Dalam umurnya yang muda kita berusaha memahami utopia yang membayangi dirinya. Tapi utopia yang dilukiskan dalam konsep-konsep besar semacam ini tak bisa berdiri sendiri kalau sekiranya tidak dibarengi oleh ketrampilan operasional. Memang tidaklah mengherankan kalau mereka mengembangkan karya jurnalisme penantang. Karenaitu juga tidak mengherankan kalau mereka cukup sering mengajukan fakta tapi lantas menonjolkan segi-segi yang negatif dan dibarengi sikap oposisionil untuk memancing reaksi.  

Tetapi adakah reaksi terhadapnva? Ataukah jenis jurnalisme seperti ini hanya menabrak dinding pekat? Kalau tujuannya adalsh otoritas apakah suaranya didengar oleh yang di­tujukan? Tetapi bukannya tidak mungkin bahwa mereka menabrak "the obstinate audi­ence" yang "seems actually to enjoy being hit and no change is perceptible
".(Wilbur Schramm, "Mass Communication" dalam: Psychology & Communication, Forum Series, hal. 254.)

Otoritas yang diserang menikmati kesenangan untuk dipukul tapi tetap bergembira untuk tidak melakukan apapun. Dan kalau begitu, suara keras pers amahsiswa dan keberangan pers mahasiswa adalah suara yang melengking di padang gurun. Atau kalau itulah yang bernama kebebasan pers, maka kebebasannya tak lebih dari kebebasan daalm sebuah cagar alam. Dan kalau begitu maka kampus universitas menjadi cagar alam kebebasan pers, yang sayang kalau dibuang karena dia enak dan mengasyikkan untuk ditonton!