Apa PIPMI
Berita Terbaru
Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus
Artikel
resensi
tips
untuk sementara situs ini dikelola oleh
Litbang Majalah Balairung
© Majalah BALAIRUNG
2000
webmaster
[11/18/00]
|
Prisma
10, Oktober 1977
Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers
Daniel Dhakidae
(Kepala Litbang Kompas)
Salah satu dari serentetan tindakan pertama, rezim Zia Ul Haq setelah,
menggulingkan pemerintahan Ali Bhutto adalah memulihkan kebebasan pers
Pakistan. Sensor pers dicabut. Namun dalam hari-hari pertama "kebebasan",
para pengasuh suratkabar kebingungan. Dalam dirinya sebenamya sejak lama telah
musnah kriteria tentang apa yang boleh dan tidak boleh disebarluaskan dalam
surat kabamya. Sensor diri selama ini telah begitu kuat tertanam. Tetapi dengan
kebebasan yang diberi, para pengasuh terpaksa membiarkan konflik, keraguan
serta pilihan-pilihan sulit membayangi dirinya. Dan mereka tidak tahu lagi mau
diapakan kebebasannya.
Peristiwa 15 Januari 1974 sampai sekarang masih merupakan tonggak terakhir bagi
aksi mahasiswa yang lepas bebas. Setelah itu buat jangka waktu hampir selama dua
tahun yang ada adalah kesepian politik mahasiswa. Sebuah surat keputusan
menteri pendidikan yang lebih terkenal dengan SK 028 telah melarang kegiatan
mahasiswa di luar kampus universitas. Semua kegiatan di luar kampus harus
sepengetahuan dan seizin rektor universitas atau perguruan tinggi masing-masing.
Akhirnya surat keputusan tersebut dicabut kembali oleh sebuah surat
keputusan yang lain.
Kaskopkamtib mengumumkan bahwa mahasiswa boleh berbuat apa saja asal tetap
terbatas
di dalam dinding-dinding kampusnya. Adakah pengaruhnya bagi penerbitan
mahasiswa?
Studi kasus ini mencoba mengamati apa arti semuanya bagi penerbitan mahasiswa
atau dunia penerbitan kampus.
Penerbitan kampus
Tidak terlalu jelas sejak kapan bertumbuhnya pers kampus di Indonesia. Tapi satu
hal cukup pasti yaitu bahwa dia hadir hampir dalam setiap universitas atau
perguruan tinggi. Menyoroti pers kampus tentu saja kita akan memperbincangkan
semua media massa yang diterbitkan di dalam sebuah kampus universitas atau
perguruan tinggi, terlepas dari apapun bentuk, isi serta tujuan penerbitan
masing-masing. Apakah dia diterbitkan para dosen atau mahasiswa. Apakah dia
menjadi media resmi sebuah universitas atau perguruan tinggi atau bukan.
Sebuah pengamatan sederhana segera membedakan 2 jenis penerbitan yang kini
berkembang di kampus-kampus universitas atau perguruan tinggi. Jenis penerbitan
yang pertama adalah penerbitan khusus. Di sana dimuat materi-materi
khusus. Biasanya pembahasan-pembahasannya adalah konsumsi para spesialis. Di
sana dimuat uraian serta analisa masalah-masalah khusus. Dalam hubungan ini bisa
ditampilkan beberapa nama: Aesculapius, majalah kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta, Equilibrium,majalah ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sigma Pi Gama, majalah ilmu-ilmu sosial dan
politik Fakultas Sosial dan Politik UGM, Scientiae, majalah sains dan tekhnology
(sic). Sudah pasti masih ada sederetan nama-nama lain lagi. Spesialisasi
penerbitan-penerbitan seperti ini sudah sangat jelas melihat namanya saja.
Orang-orang awam hampir tidak lagi memahami apa makna nama-nama tersebut. Nama-namanya
aneh, semuanya dalam bahasa asing, Latin, dan Yunani. Semuanya memberikan
konotasi teknis dari bidang ilmunya masing-masing. Bukan saja bahasanya yang
asing tetapi isinya juga kadang-kadang asing bagi mereka yang berada
di luar lingkungannya. Tetapi tulisan ini tidak membahasnya secara
terperinci.
Di samping majalah-majalah khusus ilmiah ada sejumlah penerbitan kampus dengan
tujuan merangkul massa pembaca yang lebihluas. Mereka berusaha menembusi
dinding-dinding fakultas serta dinding-dinding, spesialisasi yang terlampau
ketat. Penerbitan jenis ini bisa saja dibandingkan dengan harian, mingguan umum
yang diterbitkan di luar kampus-kampus perguruan tinggi. Mereka memilih nama
yang senantiasa diusahakan untuk lebih akrab dengan dunia universitasnya.
Misalnya,
"Suratkabar ini diberi nama Salemba sebagai hasil rapat penasehat
ahli, rektor dan para pengasuh. Nama ini diajukan berdasarkan romantisme,
bahwa peranan kamipus UI yang pada awalnya terletak di Salemba telah memberikan
catatan-catatan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Romantisme juang yang
historis itu rasanya perlu diabadikan".
(Sebuah salam perkenalan, induk
karangan Salemba, Salemba. No. 1, 1976.)
Demikianlah dipilih nama Salemba, sebuah penerbitan mahasiswa Universitas
Indonesia, Jakarta. Dengan alasan yang bermacam-macam tetapi dengan
tujuan yang hampir serupa nama-nama berikut ini dipilih: Gelora Mahasiswa,
Universitas Gajah Mada, Mimbar Universitas Brawidjaja, Malang, Kampus
ITB, Identitas, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Hampir tidak bisa dijumpai catatan resmi tentang jumJah yang tepat dari
penerbitan mahasiswa atau penerbitan kampus pada umumnya. Namun sangat bisa
diduga bahwa jumlah penerbitan kampus adalah sebanyak jumlah perguruan tinggi,
serta sejumIah fakultas-fakultas dalam setiap perguruan tinggi yang ada.
Setiap fakultas, malah kadang-kadang setiap departemen atau jurusan akan mencoba
menjalankan penerbitannya sendiri.
Dengan kehadirannya pers kampus ingin memainkan peranan yang lebih berarti.
Tetapi masalahnya di mana mereka mencari peranan tersebut? Di dalam kampus
atau di luar kampus? Kampus dipergunakan sebagai tempat untuk melancarkan
ekspansi ke luar (kampus) ataukah hanyalah masalah kampus yang akan menarik
perhatian mereka dalam karya jurnalistiknya? Ataukah sebenarya mereka hanya
secara reaktif memberikan tangapan kepada peristiwa-peristiwa nasional, terhadap
peristiwa-peristiwa di dalam mana mereka juga diharapkan turut terlibat?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba untuk dijawab.
Di banyak negara kekuatan mahasiswa senantiasa diagung-agungkan. Dan juga
sikap semacam ini bukannya tidak berdasar. Dengan semboyan kebebasan kampus,
kebebasan mimbar, kampus-kampus Universitas bisa berbuat apa saja yang kadang-kadmig
tanpa risiko atau dengan sangat yakin mereka tidak memperhitungkan risiko. Malah
ada yang mengatakan bahwa:
A
campus, like church is a privileged sanctuary. It can hide criminals or
revolutionaries without threat of police intervention and arrest ... Only rarely
do law enforcement officials risk intruding in a university city to catch a
crook".("Student
Press Plays Active Role in Foreign Countries", dalam: New-Register-Wheeling,
W-VaSunday, December 14.1975 hal. 4.)
Kampus
seperti gereja adalah misbah suci yang memegang hak-hak istimewa. Dia bisa
menjadi tempat umpetan, Kaum revolusioner tanpa ancaman campurtangan atau
ditangkap polisi ... Hanya kadang-kadang saja para penegak hukum berani masuk
kampus universitas untuk meringkus gembong penjahat.
Tetapi bagaimanakah
semuanya ini tercermin dalam lingkungan penerbitan mereka? Berbeda dengan
penerbitan-penerbitan umum, kebanyakan penerbit kampus adalah dwimingguan,
atau bulanan. Karena kesibukan kegiatan mereka yang utama yaitu belajar, hampir
tidaklah dapat diharapkan bahwa mereka akan menerbitkan koran-koran berita
aktuil untuk menyaingi penerbitan di luar kampus. Karena itu mereka harus
memilih jenis jurnalisme tersendiri. Tapi yang manakah? Pers mahasiswa
mungkin tidak secara bersengaja berusaha mengembangkan gaya jurnalsitik yang
khas milik mereka.
Tetapi justru di situ dia jadi
menarik karena semua tingkahlaku jurnalistiknya adalah perjuangan dirinya.
Kenyataan tingkahlaku jurnalistik ini menarik untuk diteliti. Dimanakah letak
persamaan antara sesuatu penerbitan mahasiswa dengan penerbitan mahasiswa
lainnya? Ataukah semua pers mahasiswa seragam? Ataukah ada perbedaan yang
menyolok antara pers mahasiswa? Di manakah letak persamaan dan perbedaan
tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hanyalah muncul
bilamana ada suatu ethos pers mahasiswa yang berbeda dengan ethos pers umum atau
berbeda dari satu kampus ke kampus yang lain. Di mana perbedaan tersebut?
Akan tetapi dalam hal inipun perlu diperhatikan perbedaan
satu universitas dengan universitas lain. Dan perbedaan inipun sangat mudah
difahami karena perbedaan lingkungan universitas atau lembaga perguruan tinggi
yang satu dengan lain. Dan juga menyangkut perbedaan antara status perguruan
tinggi yang satu dengan status perguruan tinggi yang lain. Dalam hal ini apakah
ada perbedaan antara tingkahlaku jurnalistik Universitas dan IKIP. Apakah ada
perbedaan antara universitas atau perguruan tinggi negeri dengan perguruan
tinggi swasta? Ataukah ada perbedaan antara universitas atau perguruan tinggi yang berkedudukan di pusat dan di daerah?
Sayang, kekurangan waktu tidak memungkinkan penelitian untuk menjawab, beberapa
pertanyaan terakhir ini. Tetapi Untuk menjawab beberapa pertanyaan terdahulu,
maka dibuat suatu studi kasus. Dan untuk itu diambil beberapa penerbitan berikut
ini. Salemba, penerbitan mahasiswa Universitas Indonesia; Gelora Mahasisiwa,
penerbitan Dewan Mahasiswa Universitas Gajah Mada; Derap Mahasiswa, penerbitan
Dewan Mahasiswa IKIP Negeri Jogyakarta. Saya memilih majalah-majalah di atas
selama tahun penerbitan 1976-1977. Dan dari semua rubrik yang ada dipilih
beberapa rubrik yang diduga menjadi titik pusat suatu karya jurnalistik. Artinya
rubrik-rubrik tersebut digarap dengan cukup teliti. Dia diangkat dari beberapa
macam tawaran ganti (alternatif-alternatif) dalam topik dan masalah. Dengan
demikian rubrik-rubrik tersebut akan mengungkapkan persepsi, dan sikap
penerbitan-penerbitan tersebut. Dalam hal ini dipilih Berita Utama.
Apa yang diambil sebagai
berita utama adalah hal-hal yang dianggap sangat berarti dibandingkan dengan
peristiwa lain dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa-peristiwa manakah
yang dianggap sangat berarti bagi suatu penerbitan mahaswa? Dan apakah mungkin
bagi kita melihat di dalamnya warna atau sikap jurnalistik mereka dan dalam
hubungan itu sikap sosial dan politiknya terhadap suatu peristiwa tertentu? Hal
serupa akan cukup jelas ternyata di dalam rubrik tajuk rencana. Pojok diduga
berhubungan erat dengan ethos jurnalistik. Akan tetapi dalam sampel yang dipilih
tulisan pojok terlalu bervariasi dan menyulitkan penggolongannya (klasifikasi). Salemba
misalnya hanya menulis satu atau dua. Sedangkan Gelora Mahasiswa dan Derap
Mahasiwa terlalu banyak tulisan pojoknya. Dengan alasan itu pojok tidak
dimasukkan dalam analisa. Dan akhirnya suatu cetusan lain yang lebih sophisticated
adalah cetusan kritik yang akan terungkap dalam karikatur-karikatur. Khusus
untuk karikatur dalarn sampel yang dipilih hanya Gelora Mahasiswa dan Salemba
yang secara teratur diselenggarakan. Simbol yang dipakai sebagai ekspresi
karikatural sangat berguna untuk mempelajari sikap politik suatu penerbitan.
Ethos
pers mahasiswa
Dibandingkan
dengan tahun 1977 maka. dalam tahun 1976 kelihatannya tidak terlalu banyak
terjadi peristiwa-peristiwa "besar" dalam panggung politik nasional.
Sedangkan dalam tahun 1977 cukup banyak terjadi peristiwa-peristiwa nasional
yang penting seperti persiapan kampanye, kampanye itu sendiri, pemilihan umum
serta peristiwa-peristiwa post pemilihan umum, yang merupakan jalinan reaksi-reaksi
keras dan lembut terhadap hasil pemilihan umum, pelantikan DPR/MPR hasil
pemilihan umum. Sejauh manakah peristiwaperistiwa tersebut menarik perhatian
penerbitan pers mahasiswa? Apakah reaksinya? Jalinan persepsi dan sikap mereka
inilah yang bisa kita sebut ethos pers mahasiswa. Ini berarti bahwa dalam diri
mereka telah ada suatu disposisi psiko-politis tertentu yang siap memberikan
reaksi ke arahyang tertentu pula. Semuanya telah membudaya dalam dirinya.
Sehingga apa yang dibuatnya bukanlah suatu kebetulan.
Ada beberapa hal yang
sebenarnya sangat menarik perhatian mahasiswa dan penerbitan mahasiswa. Yang
terutama sebenarnya tentu saja masalah pendidikan. Dalam hal ini masalah
kampus dan masalah yang menyangkut sistem pendidikan universitas atau perguruan
tinggi. Kalau sekiranya mereka merasa bahwa pendidikan adalah suatu hal vang
penting dan juga menjadi urusan mereka, maka dengan sendirinya masslah
pendidikan akan menjadi titik pusat permasalahan yang dikaji dalam kegiatan-kegiatan
jurnalistiknya atau mereka akan mengarahkan orientasinya kepada masalah-masalah
ekonomi, kebudayaan atau politik. Yang dimaksudkan dengan politik di sini adalah
sebagai berikut. Bisa dipakai dua kriteria untuk menentukan apakah suatu
berita atau ulasan termasuk politik atau bukan-politik. Dia bisa berarti setiap
tulisan yang berorientasi kepada kekuasaan atau yang berorientasi kepada proses
pembuatan kebijaksanaan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah. Dia
bisa dalam bentuk kritik, dukungan, saran atau apa saja.
Tabel
I
Berita
Utama
Media |
N
Politik |
N
Pendidikan |
%
Politik |
%Pendidikan |
Gelora
Mahasiswa(1976) |
2 |
5 |
29 |
71
|
Gelora
Mahasiswa(1977) |
3 |
2 |
60 |
40
|
Salemba(1976) |
5 |
9 |
36 |
64
|
Salemba(1977) |
12 |
2 |
86 |
14
|
Derap
Mahasiswa(1976) |
1 |
9 |
10 |
90 |
Derap
Mahasiswa(1977) |
1 |
5 |
16 |
84
|
Dalam Tabel I
kelihatannya dalam tahun 1976 sebagian terbesar dari porsi berita utama
diberikan kepada masalah pendidikan. Gelora Mahasiswa menyiapkan 71% dari
berita utamanya bagi masalah pendidikan dan 29% bagi masalah politik. Sedangkan
hal yang sama juga terjadi dengan Salemba 64% diberikan kepada pendidikan
dan 36% diberikan kepada masalah-masalah politik. Dan agaknya menarik
untuk melihat bahwa Derap Mahasiswa yang diterbitkan oleh IKIP Negeri
Yogyakarta menyediakan porsi sangat
besar bagi masalah pendidikan. 90% dari berita utamanya di tahun 1976 membahas
soal-soal pendidikan. Hanya 10% saja yang diberikan kepada masalah politik. Hal
yang sama terjadi lagi dengan tahun 1977 di mana rata-rata terjadi cukup banyak
peristiwa-peristiwa nasional yang penting. 84% dari porsi berita utamanya
diberikan kepada masalah pendidikan yang berarti kepada masalah masalah
intern kampusnya. Dalam hubungan itu bisa dibaca judul-judul beritanya
seperti:
* Banjir pendaftar
di IKIP Yogyakarta.
* Plonco-plonco: antara bentakan dan rayuan
* Bubarkan saja LKM
jika otoritasnya tidak diakui.
Dan hanya 16% disediakan
bagi masalah-masalah nasional. Sedangkan kedua penerbitan Universitas: Salemba
dan Gelora Mahasiswa dalam tahun 1977 seolah-olah membalikkan arah
penerbitannya. 60% dari porsi berita Gelora Mahasiswa diberikan bagi
masalah-masalah politik. Sedangkan 40% diberikan kepada masalah-masalah
pendidikan.
Tabel
2
Tajuk
Rencana
Media |
N
Politik |
N
Pendidikan |
%
Politik |
%Pendidikan |
Gelora
Mahasiswa(1976) |
2 |
5 |
29 |
71
|
Gelora
Mahasiswa(1977) |
3 |
2 |
60 |
40
|
Salemba(1976) |
12 |
17 |
41 |
59
|
Salemba(1977) |
9 |
6 |
60 |
40
|
Derap
Mahasiswa(1976) |
1 |
10 |
9 |
91 |
Derap
Mahasiswa(1977) |
1 |
5 |
20 |
80
|
Tabel
3
Karikatur
Media |
N
Politik |
N
Pendi
dikan |
N
Kebu
dayaan |
%
Politik |
%Pendi
dikan
|
%Kebu
dayaan |
Gelora
Mahasiswa(1976) |
2 |
4 |
1 |
29 |
57 |
14
|
Gelora
Mahasiswa(1977) |
5 |
2 |
- |
71 |
29 |
- |
Salemba(1976) |
- |
10 |
- |
- |
100 |
- |
Salemba(1977) |
8 |
1 |
1 |
80 |
10 |
10
|
Yang menarik adalah bahwa
Salemba memberikan 86% porsi berita utamanya bagi masalah politik. Hal
yang sama terjadi lagi dalam rubrik tajuk rencana. 60% dari tajuk rencana di
tahun 1976 diberikan kepada masalah pendidikan, 40% diberikan kepada masalah
politik (Lihat Tabel 2). Demikianpun dengan Salemba 59% dari tajuk
rencananya di tahun 1976 diberikannya kepada masalah pendidikan dan 41%
diberikan buat masalah politik. Penerbitan IKIP Negeri Yogyakarta tetap
Konsisten dengan apa yang telah dibuatnya dalam berita utama. 91% diberikannya
kepada masalah pendidikan dan hanya 9% diberikan kepada masalah politik.
Demikianpun dalam tahun 1977. 80% diberikan kepada masalah pendidikan sedangkan
20% diberikan kepada masalah politik. Mungkin karena cita-citanya menjadi guru
seluruh perhatiannya ditumpahkan bagi masalah ‑masalah pendidikan. Hal
yang juga menarik adalah karikatur yang diselenggarakan secara teratur oleh
kedua penerbitan: Gelora Mahasiswa dan Salemba. 57% karikatur Gelora
Mahasiswa di tahun 1976 adalah karikatur pendidikan, 29% karikatur politik,
14% karikatur kebudayaan (lihat Tabel 3). Sedangkan di tahun 1977, 71 % dari
porsi karikatur Gelora Mahasiswa adalah karikatur politik. Dan 29%
karkatur pendidikan. Dalam tahun 1976, 100% karikatur Salemba adalah
karikatur pendidikan. Sedangkan 80% dari karikatur Salemba di tahun
1977 adalah karikatur politik dan 100% karikatur kebudayaan. Yang paling
menarik perhatian adalah karikatur politik Salemba. Sebagian terbesar
adalah karikatur tentang kebebasan atau sekurang-kurangnya bertemakan
kebebasan. Dan kalau sekiranya sang karikaturis membayangkan kebebasan maka yang
dibayangkan adalah kebebasan dari cengkeraman, kebebasan lembaga-lembaga
demokrasi dari genggaman otoritas penguasa. Dan hampir semuanya dilukiskan dalam
simbol-simbol yang hampir seragam. Penggenggam kebebasan digambarkan dalam
simbol-simbol militer. Hampir semua simbol militer dipakai kalau sekiranya sang
karikaturis ingin menyuarakan kebebasan. Di sana dengan gampang dilihat tampang
serdadu kejam dengan gigi-gigi kokoh tajam atau bersenjata, serdadu dengan
topi baja atau sejenisnya sedang melalap mangsa-mangsanya apakah itu pers,
partai politik serta kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ketakutan dengan
mulut yang terkatup. Atau sepatu lars militer yang kokoh keras simbol stabilitas
sedang menginjak-injak kebebasan. Atau seperti dalam penerbitan tanggal 15
Januari 1977 tampak seorang serdadu berbintang satu. Dalam gigi-geriginya yang
tajam seperti gergaji sang serdadu tengah memamah kebebasan pers, demokrasi,
kebebasan mimbar, kebebasan berserikat, kebebasan individu dan freedom and
peace (sic.).
Dari satu dua data yang
telah dikemukakan di atas bisalah dilihat beberapa hal. Penerbitan-penerbitan
mahasiswa menganggap bahwa luas jangkauan penerbitannya bukanlah cuma dinding-dinding
perguruan tinggi. Mereka mencoba menembusi dinding universitas. Dan mereka
bukanlah sebuah pulau terpisah dalam masyarakat secara keseluruhan. Namun
kadang-kadang terasa ethos pers yang ditunjukkan penerbitan mahasiswa ini justru
mencerminkan terpisahnya mereka dari dunia dan masyarakat pers sendiri. Mereka
menyuarakan sesuatu yang rupanya sama sekali tidak mungkin terjadi di dalam pers
umum. Dalam data yang dikemukakan di atas sangat menonjol sikap bebas mereka.
Malah hampir-hampir bisa dikatakan suasana pers partisan sangat jelas dalam pers
kampus mahasiswa. Ini berarti bahwa pemberitaan mereka, editorial mereka
sebanarnya perlambang dari atau hanyalah cetusan-cetusan yang terpancar dari
kerangka ideologi tertentu. Hampir-hampir bisa saja dikatakan bahwa berita yang
ditonjolkan dipakai sekedar sebagai bukti pendukung ideologi mereka. Dalam
kampus universitas telah berkembang apa yang disebut adversary journalism
(jurnalisme penantang). Dan ini sangat berlaku bagi dunia universitas selain
IKIP. Pers kampus adalah anjing penjaga yang mengintip peristiwa-peristiwa
politik. Lantas melemparkannya kembali kepada masyarakat sambil menonjolkan
segi-segi yang menantang dan segi-segi oposisi. Karena itu judul-judul berita
utama atau laporan-laporan utamanya akan berbunyi: "Penguasa harus tahan
diri" (Salemba, 15 Januari), "Perjuangan Orba semakin pudar,"
(Salemba, 15 Maret)," Benarkah DPR sekedar etalase Demokrasi"
(Salemba, 16 Mei), "Mempermasalahkan Pemilihan Presidcn Rl" (Salemba,
5 juli), "Sistem Pemilu yang demokratis masih harus diperjuangkan"
(Salemba, . . . ) 1977", "Kesempatan subumya komunisme terasa
kembali, cita-cita kemerdekaan masih jauh dari kenyaataan" (Satemba,
15 Agustus).
Dari
judul-judul berita utama yang dikemukakan di atas ada satu dalam bentuk
pertanyaan: Benarkah DPR sekedar etalase Demokrasi? Dan melihat tipe jurnalisme
semacam ini jawabnya sudah bisa diduga: memang benar DPR yang kini hidup dan
bekerja tidak lain daripada sekedar pajangan. Judul "Mempermasalahkan
Pemilihan Presiden RI" tidak terlalu menjelaskan ethos pers penantang.
Akan tetapi dalam isinya sudah bisa diduga bahwa pers jenis ini akan
memberikan jawaban: mereka tidak puas dengan cara yang tengah berlangsung dan
karena itu cara pemilihan presiden yang berlaku sekarang seharusnya dirubah.
Judul-judul yang hampir serupa bisa dilihat dalam judul berita utama Gelora
Mahasiswa: 'Tentu saja Golkar menang," (April 1977),"
Exhibisionisme politik Indonesia," (Juli 1977), Politik naik Pitam.
(Sept. 1977). Semuanya merupakan fakta yang cukup jeIas menunjukkan bahwa
penerbitan mahasiswa adalah Journal of opinion, dan bukannya koran
berita. Yang mereka tampilkan adalah pandangan ideologi mereka, sikap politik
mereka.
Ethos kebebasan
sebagaimana dihayati oleh kedua penerbitan pers Universitas jelas
memperlihatkan perbedaannya dengan
IKIP. IKIP sengaja tidak mau melibatkannya dirinya dengan masalahmasalah
sosial dan politik umum. Yang hidup dalam benaknya adalah dunia kampusnya, dunia
pendidikannya.
Dunianya
adalah lingkungan yang terdekat secara fisik dengan dirinya. Yang
dipersoalkan adalah masalah sepeda, masalah buku dan beberapa masalah
ketidakberesan teknis di dalam lingkungan perguruan tingginya. Dari sini nyata
benar bedanya dengan alam fikiran pendidikan universitas yang sifatnya nasional,
global. Mereka berfikir dalam kerangak luas, makro, kosmopolitan, ekstrovert,
dan kadang-kadang teoritis dan berbeda dengan IKIP introvert, praktis. Semangat
anti otoritas sangat tampak dalampenerbitan-penerbitan mahasiswa universitas.
Semangat anti otoritas tetap nampak baik terhadap otoritas di luar kampus
maupun otoritas di dalam Kampus universitas. Hal ini tidak tampak dalam
kalangan IKIP.
Perbedaan
lain antara IKIP dan universitas adalah tumbuhnya kepekaan sosial dan politik
dalam pers mahasiswa universitas. Politik pemberitaan mereka senantiasa
diusahakan untuk sejalan dengan peristiwa-peristiwa yang tejadi dalam dunia
politik dan sosial umumnya. Sedangkan IKIP lebih sempit jangkauannya dan
senantiasa melihat ke dalam. Tetapi aneh bagi penerbitan-penerbitan yang
diteliti masalah ekonomi dan kebudayaan sama sekali tidak menarik perhatian
mahasiswa.
Alam fikiran dalam
bahasa
Performans bahasa
ditentukan oleh keadaan sosial di mana penggnaan bahasa itu berlangsung. Pemakai
bahasa akan memilih jenis-jenis kata tertentu yang solalu dipergunakan.
Pemakaian kata kadang-kadang menyatakan siapa pemakainya, apakah keinginan
sipemakai, apa cita-cita pemakai bahasa tertentu. Keseringan memakai suatu
jenis bahasa atau pola pemakaian bahasa tertentu bisa dengan jelas menunjukkan
kebudayaan apakah yang sedang berlangsung dalam suatu sistem sosial dan politik.
Pemakaian singkatan-singkatan (akronim) dalam bahasa misalnya menunjukkan
bahwa suatu masyarakat tertentu telah mengarah kepada suasana teknokratis,
militeristis, atau mungkin juga menunjukkan bahwa suatu sistem masyarakat
telah dijangkiti penyakit malas berfikir atau fikirannya singkat, berjangka
pendek. Mereka hanya siap menerima sesuatu sebagaimana adanya. Gejala akronim
menunjukkan kenyataan abridgement of thought, penyingkatan fikiran.
Kebebasan pers-pers
kampus Universitas di tahun 1960-an di Amerika dan Eropa misalnya, diungkapkan
dalam kata-kata mesum yang dipakai dengan penuh kesengajaan untuk menyatakan
keberangannya seperti: fuck, shit, bulshit. Kata-kata sejenis memberikan
corak dan melilit benang merah dalam pemakaian bahasa jurnalistik mahasiswa. Pemakaian
tersebut hanyalah untuk menunjukkan suatu disposisi psiko-politis. Mereka menolak
sistem sosial politik yang lama. Memporakporandakan tata sopan santun lama.
Mengingkari norma-norma lama. Menelanjangi kemunafikan kebudayaan lama dan
menjejali halaman-halaman penerbitan kampusnya dengan kata serta ungkapan-ungkapan
mesum yang membikin merah cuping telinga pembaca.
Demikianlah ternyata
bahwa pengaruh bahasa adalah langsung atas komunikasi sosial. Sama halnya dengan
pemakaian bahasa dalam pers dan jurnalisme pada umumnya. Dalam hubungan ini
maka setiap lapisan sosial akan mempergunakan bahasa sendiri yang disebut
"bahasa lapisan". (Bandingkan
Ulrich Kratz, "Bahasa dan Kontral Sosial," Prisma, Junil 1974.
hal.73-74)
Dengan dugaan tersebut
saya mengundi dan memeilih(artinya saya mengambil majalah mahasiswa yang terambil) 3 buah majalah untuk setiap penerbitan:
Salemba, Gelora Mahasiswa, Derap Mahasiswa. Dari situ saya mencoba
memperhatikan bahasa yang dipakai mereka dalam mengemukakan buah fikirannya
dalam editorial, sedangkan rubrik-rubrik yang lain saya tinggalkan. Rubrik ini
dipilih karena di dalam suatu penerbitan rubrik tersebutlah yang paling asli
dari pengasuh suatu majalah untuk mencerminkan alam fikirannya. Dia ditulis
untuk mewakili opini majalahnya. Tentu saja saya sadar bahwa pemilihan jenis
bahasa yang dipakai dalam editorial yang ditulis secara anonim sama sekali
tidak bisa mewakili bahasa yang dipakai mahasiswa atau pers kampus pada umumnya.
Akan tetapi di sini juga masalahnya. Pemilihan ini sendiri sudah memberikan
kesulitan. Sudah cukup jelas bahwa editorial tersebut bukanlah ditulis oleh
suatu kelompok, malah bukan oleh suatu team redaksi. Dengan demikian dia
tidaklah mewakili jenis bahasa yang lazim dipakai mereka.
Akan tetapi kalau
sekiranya suatu jenis bahasa tertentu cukup sering dipakai berarti bahwa dia
dibiarkan untuk dipakai dengah persetujuan diam-diam dari rekannya. Artinya
mereka menerima kehadiran jenis bahasa semacam itu. Untuk keperluan ini saya
memilih 3 kriteria yang dipilih
berdasarkan kesan sesaat setelah membaca puluhan editorial.
Pertama, kata-kata yang menyatakan konsep dasar dan
fundamentil yang bisa dianggap mewakili isme-isme, pandangan-pandangan politik
tertentu seperti komunisme, hak, moral, demokrasi dan seterusnya. Lantas kata-kata
yang menyatakan keadaan, situasi, kondisi. Pemakaian kata-kata ini memberikan
konotasi abstrak karena memang kata-kata tersebut adalah abstraksi dari seluruh
peristiwa-peristiwa kongkrit dalam suatu keadaan tertentu. Dalam setiap bahasa
akan berlainan pengungkapannya. Bahasa latin misalnya. Akan berakhir tas
(hereditas, mentalitas), atau Inggeris dengan akhiran ty (mentality) dan
seterusnya. Jenis bahasa seperti ini biasanya dipergunakan oleh mereka yang
tingkat abstraksinya sudah tinggi; dengan demikian hanyalah dipergunakan oleh
mereka yang terpelajar, ahli-ahli, filosof. Kata-kata yang sifatnya mendasar
serta tingkat abstraksinya tinggi hampir serupa fungsinya. Dan hanya mereka
dengan kadar intelektuil tertentu mampu mempergunakannya. Kedua, pemakaian
kata-kata yang menyatakan suatu tuntutan ideal. Dia senantiasa menggambarkan
suatu ideal type, atau
kesempurnaan tingkah laku dari suatu keadaan tertentu. Untuk menyatakan bahwa
seseorang senantiasa diliputi dengan alam fikiran ini atau selalu mau mengejar
yang paling seimpurna orang senantiasa memakai kata-kata yang menunjukkan dos
Sollen. Dengan demikian selalu dipakai kata: harus, seharusnya, mesti, semestinya, selayaknya dan
seterusnya. Dia melambangkan alam fikiran yang normatif. Dia menuntut bahwa
sesuatu harus memenuhi ukuran kesempurnaan tertinggi. Dan malah kadang-kadang
tidak aneh bilamana yang dituntut adalah seekor burung gagak berwama putih! Ketiga,
pemakaian pertanyaan: apa, apakah, bagaimana, di mana, sejauh mana, seberapa dan
seterusnya. Pemakaian pertanyaan selalu menggambarkan jiwa yang selalu mencari,
jiwa yang rnempersoalkan kenyataan karena sesorang tidak merasa puas bilaman
suatu kenyataan selalu diterima sebagai adanya tanpa mempersoalkannya lebih
lanjut. Dia melambangkan alam fikiran dialektis. Mereka bercita-cita terutama
bagi problem posing. Mengajukasi masalah yang tepat dan bukannya secara
acak-acakan menawarkan sebuah problem solving. Namun pertanyaan barulah
berarti kalau diajukan dalam, konteks yang pantas. Dengan demikian ada benarnya
bilamana dikatakan mengajukan pertanyaan yang benar berarti separuh masalah
terpecahkan.
Akan tetapi dalam
pertanyaan juga terkandung kelemahan. Bilamana pertanyaan diajukan secara
lepas, tergantung, dan tanpa keterlibatan total dalam suatu masalah, maka jiwa
positif problem posing akan tergelincir menjadi kecengengan, dia menjadi
tidak berdaya, hampa. Dia hanya menunjukkan bahwa orang yang bertanya
sebenarnya tanpa kemampuan apapun; nasibnya diserahkan untuk dibereskan orang
lain. Dalam istilah besarnya, pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak existensial,
tercerabut dari akar-akar masalah yang ingin dipangkasnya.
(Suatu
analisa menarik yang erat hubungannya dengan hal ini bisa dibaca dalam tulisan
Remy Silado tentang "Musik Pop Indonesia: Satu kebebalan Sang
Mengapa". Pertanyaan mengapa yang lepas, hampa senantiasa membayangi musik
Indonesia, (Prisma, Juni 1977)
Sebuah kalimat adalah
kumpulan konsep-konsep. Sebuah editorial adalah kumpulan kalimat-kalimat dan
karena itu juga kumpulan konsep. Untuk mengemukakan konsep
akan dipilih pemakaian kata atau pemakaian kalimat yang khas milik suatu
jaringan sosial tertentu atau strata sosial tertentu. Karena itu kita mencoba
mengamati language behaviour tingkah laku berbahasa dalam jurnalisme
mahasiswa di sini. Berapakah frekwensi pemakaian bahasa tertentu?
Kriteria yang dipakai
untuk ini adalah sebagai berikut. Untuk menyatakan suatu konsep yang abstrak
biasanya dipakai kata-kata berimbuhan ke-an, pe (ng)...an. Di
sini kita harus berhati-hati dalam memilih. Kata-kata seperti pelabuhan sudah
jelas menunjukkan tempat sehingga dia tidak bisa dipakai untuk dimasukkan ke
dalam kategori ini. Demikianpun pengadilan (misalnya: dia dibawa
ke pengadilan). Dengan pengecualian kata-kata seperti itu maka dikumpulkanlah
induk karangan majalah mahasiswa tersebut.
Setelah diundi saya
memperoleh majalah-majalah berikut ini: Salemba; 5 Mei 1977, 5 Juli 1977,
1 Oktober 1977; Gelora Mahasiswa: April 1977, Juni 1977, Juli 1977; Derap
Mahasiswa: 1 Desember 1976, April 1976, Agustus 1977. Klasifikasi hasilnya
bisa dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Jenis bahasa
Media |
banyaknya
kalimat |
abstraksi |
persen
tase |
ideal type
|
persentase |
perta
nyaan |
persentase
|
Salemba |
99 |
71 |
72 |
3 |
3 |
17
|
17
|
Derap |
133 |
75 |
56 |
- |
- |
1 |
3 |
Gelora
Mahasiswa |
136 |
65 |
48 |
11 |
8 |
8 |
6 |
Dalam 3 editorial
Salemba memakai 99 kalimat. Dan setelah dijumlahkan pemakaian konsep-konsep
abstrak, kelihatan bahwa 71 kali konsep jenis itu dipakai. Ini berarti bahwa 72%
dari seluruh editorial sarat dengan konsep-konsep abstrak. Melihat persentase
yang disuguhkan bisalah dikatakan bahwa rata-rata dalam penerbitan mahasiswa
dipergunakan bahasa-bahasa abstrak. Induk karangan Derap Mahasiswa mempergunaKan
56%. Dan Gelora Mahasiswa 48%. Di sana bisa saja terdapat pembauran
konsep-konsep dasar filosofis. Sehingga satu editorial sarat dengan konsep-konsep
yang jarang diberikan rumusan-rumusan operasional. Misalnya dalam editorial
dengan mudah ditemukan: pertanyaan mendasar, nasib bangsa dan negara,
keberanian moril, kejujuran diri, atau mengabstrakkan pengertian yang sebenarnya
bukannya tidak mungkin dipakai kata kerja aktif biasa yang secara stilistis
masih indah untuk dibaca. Dengan demikian akan dipakai ketidakfahaman, atau
hubungan eksistensial antara pers dengan penyebab timbulnya kondisi
obyektif atau "Laju perkembangan zaman yang kaya permasalahan
yang serba kompleks, memerlukan kepekaan yang meningkat
secara timbal balik". Atau tentang pers mahasiswa dikatakan dalam salah
satu editorial" la sekarang tak lebih dari penerbitan yang hanya memenuhi
syarat aktualis (sic.) "Publisitas "(sic.). Atau lagi Peningkatan
Pemerataan Pendapatan dan seterusnya. Sebagaimana telah dikatakan di atas
mungkin sekali ini menjadi bahasa khas milik mahasiswa. Dia hanya difahami
oleh mereka sendiri atau oleh orang dengan kemampuan intelektuil setara dengan
mereka. Dan menurut data yang diperoleh di atas, maka ternyata Salemba
yang paling tinggi persentasenya dalam pemakaian ungkapan-ungkapan abstrak dan
konsep-konsep abstrak.
Di fihak lain Gelora
Mahasiswa adalah yang terbanyak mempergunakan keharusan-keharusan. Sebagai
contoh dalam satu editorial bisa saja diperoleh 12 keharusan yang diberikan
kepada pers mahasiswa. Dan mungkin menarik untuk memaparkannya dalam suatu
daftar (Tabel 5).
Tabel
5
Gambaran
Alam Pikiran Mahasiswa
16
Konsep abstrak Selemba(5 Juli 1977)
|
12
Keharusan Gelora Mahasiswa (Juli 1977)
|
15
Pertanyaan Salemba(5 Juli 1977)
|
-
Pertanyaan mendasar
-
Nasib bangsa dan negara
-
Perkembangan bangsa
-
Kehidupan bangsa
-
Kultur oposisi
-
Demokrasi liberal
-
Perjuangan mahasiswa
-
Persepsi
-
Kemampuan analisa
-
.
Kejujuran diri
-
.
Keberanian moril
-
.
Membangun bangsa
-
.
Menyimak pemberitaan
-
.
Keterlibatan Bulog
-
.
Kepincangan
-
.
Kepekaan terhadap persoalan
|
-
…permasalahan tersebut bisa diaktualisir manakal kita mepertanyakan
kembali fungsi yang seharusnya diduduki pers pada setiap zamannya
-
…perbandingan surat kabar dengan oplag harus dapat mencapai 1 surat
kabar untuk 10 orang pembaca
-
Ia tertatih-tatih dalam debur tuntutan peran dan realita pahit yang harus
disandang
-
Kebebasan pers yang seharusnya jadi landasan berpijak…
-
Seharusnyalah, kehadiran pers mahasiswa ini bisa menyulam beberapa celah
tersebut
-
Secara kualitatif terlihat bahwa pers mahasisswa agaknya larut dalam
terkubur bersama idealisme yang seharusnya selalu menopang missinya
-
Kalau kita melihat permasalahan tersebut adalah merupakan masalah yang
urgen maka perbincangan tentang solidaritas pers mahasiswa menjadi
"solid" konsep dasar solidaritas pers mahasiswa harus ditetapkan.
-
Untuk mencapai tujuan tersebut, agaknya perlu ditempuh berbagai keharusan
yang perlu dilakukan oleh pers mahasiswa.
-
Diantaranya adalah, ia harus melaporkan, menjelaskan kejadian yang layak
untuk diberitakan
-
Ia harus eksist
-
Ia harus mengabdi kepada tujuan-tujuan komunikasi massa.
-
Kalau memang benar pemerintah memerlukan suatu sikap yang kritis dan peka
dari mahasiswa untuk melapangkan tujuan menegara kita, maka kekuasaan politik
yang bisa mencekik ruang hidup dan ruang partisipasi bagi pers mahasiswa harus
dihilangkan.
|
-
–Hanya itukah perjuangan mahasiswa?
-
–Apa sebenarnya yang sedang terjadi di masyarakat kita?
-
–Dan apakah makna dari semua itu bagi perkembangan bangsa?
-
Benarkah kelompok Sawito cukup kuat untuk menggulingkan presiden Soeharto
secara inkonstitusional?
-
–Benarkah yang dinamakan komando jihad itu memang ada?
-
–Benarkah mendapat dropping senjata dari luar negeri?
-
–Atau kesemuanya itu Cuma sekedar isyu untuk sesuatu tujuan politik
tertentu saja dari penguasa?
-
Apakah peringatan terhadap "Kultur oposisi" tersebut ada
kaitannya dengan kekuatan dengan keluarnya "petisi Dipo dan Bambang"
baru-baru ini?
-
–Siapakah sebenarnya yang membakar "Proyek Senen" baru-baru
ini?
-
–Mahasiswakah atau orang-orang lain?…
-
.
–Kenapa cuma ketika masa "demam pemilu" saja mereka ikut-ikut
"demam petisi dan protes"?
-
.
–Cuma sebegitu saja perjuangan mahasiswa, mengajukan petisi, lalu foto
bersama pejabat, dan selesai?
-
.
–Kenapa ketika heboh terlibatnya Bulog menurut Pembela Budiaji, para
tokoh mahasiswa berlagak Pilen?
-
.
–Kenapa menyaksikan berbagai kepincangan yang kait-mengkait sekarang
ini mahasiswa bungkam?
-
.
–Kenapa…?
|
Dan Salemba juga paling banyak
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan. Namun pertanyaannya tidak lebih dari penjejalan
masalah satu sama lain dan hampir tidak merupakan suatu kesatuan konteks. Mereka
adalah pertanyaan lepas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lebih dari
pada menyatakan bahwa mereka tidak berdaya. Hampa.
Penutup
Rasa terlibat para mahasiswa dengan masalah-masalsah sosial dan politik yang
dihadapi masyarakat umum tidaklah meragukan. Sympathy, compassion selalu
ada dalam diri mereka Tingginya kemampuan refleks jurnalistik mereka cukup
jelas dalam pemilihan berita-berita utama, editorial, serta karikatur yang senantiasa
diusahakan untuk sejalan dengan masalah masyarakat pada umumnya. Jurnalisme
mahasiswa cukup konsekwen memanfaatkan kebebasan yang ada pada dirinya. Dia
tidak terikat pada keadaan di mana kebebasan itu diberikan atau tidak diberikan.
Tapi kebebasannya senantiasa dipakai. Kebingungan rekannya di Pakistan tidak
menjangkitinya. Tapi kalau penemuan di atas bisa dipercayai maka kebebasan mereka,
keberangan jurnalistik mereka adalah keberangan yang bersandarkan utopia dan
alam fikiran normatif. Dalam umurnya yang muda kita berusaha memahami utopia
yang membayangi dirinya. Tapi utopia yang dilukiskan dalam konsep-konsep besar
semacam ini tak bisa berdiri sendiri kalau sekiranya tidak dibarengi oleh ketrampilan
operasional. Memang tidaklah mengherankan kalau mereka mengembangkan karya jurnalisme
penantang. Karenaitu juga tidak mengherankan kalau mereka cukup sering mengajukan
fakta tapi lantas menonjolkan segi-segi yang negatif dan dibarengi sikap oposisionil
untuk memancing reaksi.
Tetapi adakah reaksi terhadapnva? Ataukah jenis jurnalisme seperti ini hanya
menabrak dinding pekat? Kalau tujuannya adalsh otoritas apakah suaranya didengar
oleh yang ditujukan? Tetapi bukannya tidak mungkin bahwa mereka menabrak "the
obstinate audience" yang "seems actually to enjoy being hit
and no change is perceptible".(Wilbur
Schramm, "Mass Communication" dalam: Psychology & Communication,
Forum Series, hal. 254.)
Otoritas yang diserang menikmati kesenangan untuk dipukul tapi tetap bergembira
untuk tidak melakukan apapun. Dan kalau begitu, suara keras pers amahsiswa dan
keberangan pers mahasiswa adalah suara yang melengking di padang gurun. Atau
kalau itulah yang bernama kebebasan pers, maka kebebasannya tak lebih dari kebebasan
daalm sebuah cagar alam. Dan kalau begitu maka kampus universitas menjadi cagar
alam kebebasan pers, yang sayang kalau dibuang karena dia enak dan mengasyikkan
untuk ditonton!
|