Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/18/00]

 

Pers (Kampus) Mahasiswa
Andang Subaharianto

Dosen Mata Kuliah Jurnalistik pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember    

TIDAKLAH berlebihan bila dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 1995 kita juga melakukan refleksi atas kehidupan pers mahasiswa dewasa ini. Mengingat, pers mahasiswanya juga menjadi bagian dari pers nasional yang kontribusinya dalam sejarah pers di Indonesia tidaklah sedikit. Perkembangan yang sehat dalam kehidupan pers mahasiswa tentu punya manfaat positif bagi pers umum di Indonesia.

Pers mahasiswa memang berbeda dengan pers umum. Pers mahasiswa merupakan pers yang swadaya dan memiliki komunitas pembaca yang eksklusif, yakni masyarakat kampus. Kelangsungan penerbitannya bergantung pada kerelaan mahasiswa itu sendiri, baik dana maupun tenaga, yang sekaligus juga konsumennya. Maka pers mahasiswa tidak perlu pusing-pusing berebut iklan maupun pasar pembaca.

Namun demikian, pers mahasiswa juga menghadapi masalah non-teknis yang kurang lebih sama dengan pers umum. Kalau pers umum sering mengeluh akibat kontrol melalui lembaga SIUPP, begitu pula pers mahasiswa tidak memiliki kedudukan yang kuat. Sejarah pers mahasiswa di Indonesia juga diwarnai oleh peristiwa-peristiwa pembredelan sebagaimana pers umum.

Terakhir yang sempat saya catat adalah pembekuan Tabloit SAS menjelang tutup tahun 1994, sebuah tabloit mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di ujung timur Pulau Jawa, yang konon dinilai telah melakukan kesalahan politik" dalam kebijakan editorialnya.

Hal itu menunjukkan bahwa pers mahasiswa pun merupakan institusi yang tidak netral. Ia tetap terikat oleh sistem sosial masyarakatnya. Namun justru di sinilah awal masalahnya. Kedudukan kampus di Indonesia belum mencerminkan tujuan filosofi dan fungsinya sebagai pengembangan intelektual dan sikap ilmiah serta agen perubahan sosial sebagaimana di negara-negara industri. Kedudukannya masih belum cukup strategis dibanding subsistem sosial lainnya.

Fungsi perguruan tinggi sering kali menghadapi benturan-benturan bila dihadapkan dengan struktur politik kekuasaan. Terdapat tarik-menarik kepentingan yang cukup transparan antara sifat pendidikan yang dinamis dan sifat politik kekuasaan yang menonjolkan status quo.

Kedudukan semacam itulah yang pada gilirannya mengakibatkan mahasiswa tidak lagi bebas mengekspresikan atributnya sebagai intelektual muda, seperti sifat kritis, dinamis, kegairahan untuk mengubah segala sesuatu yang dipandang usang, dan sebagainya.

Dengan perkataan lain, kesempatan untuk mengembangkan pemikiran yang hipotetis, dialektis dan penuh alternatif makin tereduksi. Pers mahasiswa sekarang hidup di tengah-tengah lingkungan masyarakat semacam itu. Dan sistem ini pula yang selalu muncul sebagai persoalan pokok setiap kali para aktivis pers kampus bertanya tentang kebijakan editorial penerbitannya.
***

DIAKUI, pers mahasiswa telah melegenda sebagai bagian sejarah pers di Indonesia. Ia juga telah melahirkan "nama besar", baik yang berupa tokoh maupun peran-perannya dalam proses perubahan sosial. Dan, semua itu terjadi dalam konteks historis sistem sosial yang memang memberi tempat bagi sejumlah mahasiswa untuk ikut menafsirkan gejala sosial yang melingkupinya.

Diakui maupun tidak, pers mahasiswa dengan sejumlah "nama besar" yang pernah diukirnya telah menjadi mitos di kalangan aktivis "penerbitan kampus mahasiswa" (sebuah istilah resmi untuk mengganti istilah "pers mahasiswa") dewasa ini. Namun ada pula sisi positifnya, dan dari sinilah sebenarnya proses pergulatan baru untuk mengartikulasikan "jatidiri" editorialnya di tengah sistem sosial yang baru menemukan relevansi yang sesungguhnya.

Apa arti dari pernyataan di atas? Pertama-tama saya sebenarnya tertarik untuk mempertanyakan apakah bukan sesuatu yang "ahistoris" menyamakan antara "pers mahasiswa" dan "penerbitan kampus mahasiswa"? Masing-masing memiliki karakteristik yang terbentuk oleh nuansa struktural zaman. Ada kekuatan yang melembaga (juga melembaga di lembaga perguruan tinggi), yang pada gilirannya telah mengubur idealisme pers mahasiswa dan lantas mengonstruksi konsep penerbitan mahasiswa.

Kekuatan itu dalam bentuknya yang simbolik berupa pikiran-pikiran formulaik (meminjam istilah Prof Teeuw), yang cirinya adalah antikritik. Pikiran formulaik cukup diulang-ulang saja tanpa mengambil jarak dalam rangka mengujinya secara kritis.

Dominasi pikiran formulaik inilah yang telah mereduksi idealisme pers mahasiswa menjadi "sekadar" penerbitan kampus mahasiswa. Formula-formula bakunya telah tersedia melalui wacana resmi dan penerbitan mahasiswa tinggal mengulang-ulang saja dengan jalan merakit formula-formula itu. Dengan demikian, kemampuan jurnalistik mahasiswa dewasa ini diam-diam diarahkan "sekadar" sebagai kemampuan merakit formula-formula yang telah tersedia, analog dengan peran pendongeng dalam tradisi sastra lisan.

Oleh karena itu, sungguh sebuah malapetaka jika pers kampus mengalami reduksi semacam itu. Mengapa? Pemikiran formulaik dengan jelas telah mengabaikan pilar-pilar ilmiah yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat kampus itu sendiri. Apa pun pengetahuan dan informasi, di tangan orang kampus seharusnya diterima secara hipotetis dan bukannya dimutlakkan. Gagasan maupun konsep harus diuji secara ketat untuk membuktikan kredibilitas dan kebenaran obyektifnya.

Dengan menerimanya secara hipotetis, sebenarnya tidak ada alasan bagi kalangan kampus untuk "riskan" terhadap gagasan apa pun dan dari mana pun. Dengan demikian, bukannya sikap reaksioner yang tumbuh di kalangan kampus, melainkan sikap kritis-independen berdasarkan etika ilmiah.

Visi demikian inilah yang seharusnya terurai dalam pers kampus, yang sekaligus merupakan "warna" yang membedakannya dengan pers umum. Suatu gagasan atau pandangan yang tidak mungkin bagi pers umum

justru jadi mungkin bagi pers kampus, karena sifat hipotetis masyarakat kampus tadi. Dengan begitu, boleh jadi tampilan pers kampus dapat dipakai sebagai pembanding atau bahkan rujukan bagi pers umum. Dan bila visi demikian yang terurai, bukan mustahil, dari penerbitan kampus akan lahir genre baru jurnalisme Indonesia, sesuatu yang sangat penting dalam konteks pengembangan jurnalistik di Indonesia.

Tapi adakah kesanggupan di kalangan aktivis pers kampus dan berniat menjadikan alternatif, ketika format penerbitan telah bergaya formulaik, yang boleh jadi lebih berganda-ganda daripada pers umum? Padahal format dan gaya formulaik ini yang tampaknya lebih disukai oleh para petinggi kampus, yang disadari atau tidak, akan cenderung merepresentasikan kepentingan ideologi kekuasaan.
***

ITULAH sebabnya, saya menangkap adanya ironi dari perubahan tersebut. Dan hal ini tampak dari makin surutnya dinamika pers kampus, di samping kebingungan para aktivisnya dalam mengarahkan kebijakan editorialnya. Tapi untuk kembali pada gaya pers mahasiswa tempo dulu yang relatif bebas dari pemikiran formulaik agaknya juga sulit. Seperti diuraikan di atas, sistem sosial terutama sejak NKK/BKK dan diberlakukannya peraturan-peraturan baru di bidang pers, telah membatasinya.

Oleh sebab itu, pers kampus saat ini memang harus membangun jatidirinya yang baru sesuai dengan lingkungannya yang baru. Jatidiri pers mahasiswa tempo dulu sebagai pembanding memang diperlukan, namun pers kampus sekarang tidak harus memaksakan diri. Kita punya alasan untuk itu, karena memang nuansa sejarah juga berbeda.

Dalam konteks ini tugas para aktivis pers kampus adalah mengeksplorasi secara konstruktif kemungkinan-kemungkinan baru yang punya makna baru bagi pers kampus itu sendiri untuk mengembangkan visi intelektual dan sikap ilmiahnya. Para aktivis pers kampus harus sadar dengan gaya formulaik yang menjadi "arus" kuat dalam perkembangan pers dewasa ini, karena bisa menjauhkannya dari sifat-sifat hipotetis dan dialektis masyarakat kampus.

Dalam arti ini para aktivis pers kampus harus berani melakukan lompatan-lompatan eksperimen dalam mengimplementasikan kebijakan editorialnya dan mengolah informasi yang disajikannya. Dan yang terpenting dalam hemat saya, bahwa para aktivis harus kritis sepenuhnya terhadap pergulatan kepentingan yang terjadi pada tataran simbolik.

Hanya dengan demikian pers kampus dapat berkembang untuk secara terus-menerus menghidup-hidupkan dan mendialogkan ide-ide dan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Dan dalam pengertian ini pers kampus dimungkinkan berperan sebagai lembaga masyarakat yang turut menyebarkan dan membudayakan nilai-nilai serta kebajikan kultural yang sering disebut civil society.

Dapatkah dan beranikah pers (kampus) mahasiswa dewasa ini mengembangkan pola pikir yang lugas, kritis dan menghindar dari retorika formulaik yang sarat beban ideologis? Di sinilah ketangguhan para aktivis pers kampus untuk melakukan pergulatan yang intensif dan sungguh-sungguh, ditantang.***