Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/18/00]

 

diambil dari Majalah GAMMA, No. 50-1-15-02-2000
Pers Versus LSM

"Pers tak perlu menjadi 'juru bicara' LSM, dan sebaliknya LSM tak perlu 'memingit' pers. Sudah saatnya kini pers dan LSM saling berhadapan. Ini penting untuk mengembalikan pers pada fitrahnya."

KEBEBASAN, ternyata, tak selamanya harum. Kebebasan pers -semasa Orde Baru gencar diperjuangkan dan baru cair pada "orde reformasi" pemerintahan B.J. Habibie- misalnya, justru menebar aroma tak sedap. Simaklah sajian sejumlah media massa nasional setahun terakhir, betapa berlumur darah, bombas, tendensius, serta menafikan fairness (keseimbangan, keadilan, ketidakbisaan) dan mengabaikan akurasi (ketelitian, kecermatan, ketepatan).

Sekadar contoh, sebuah tabloid politik di Ibu Kota pada edisi akhir Januari 2000, dengan frigid menyuguhkan montase Ketua MPR Amien Rais sebagai vampire politik Indonesia. Sebagai makhluk Tuhan termulia (dibandingkan makhluk-makhluk lain), siapa tak tersinggung dengan montase itu. Maka, dapat dipahami kalau Pak Amien sempat memperingatkan pengelola tabloid itu -walau kemudian secara pribadi memaafkannya- dan DPP PAN (Partai Amanat Nasional) berusaha memperkarakannya lewat jalur hukum.

Sementara itu, sebelumnya, seabrek-abrek sajian minor yang dikemas sedikit lebih rapi dan soft, yang secara langsung atau tidak langsung melukai atau merugikan kalangan pers nasional, telanjur menggelinding tanpa ampun dan menelan banyak korban. Ringkas kata, sajian pers kita belakangan ini cenderung menampilkan content "jorok", vulgar, keras, kejam, arogan, dan sensasional.

Kecenderungan ini tak lepas dari pandangan, sikap, dan perilaku sebagian insan-insan pers sendiri -terutama new comers- yang kelewat gembira dalam menyambut (euforia) kebebasan pers, sikap partisan mereka, dan ke-GR-an mereka sebagai insan pers, yang memandang dan mentasbihkan profesinya terlalu tinggi.

Mereka lupa bahwa euforia kebebasan pers -ditandai terbitnya ribuan penerbitan (majalah, tabloid, dan koran) baru- ipso facto menyodorkan persaingan baru yang mendorong terjadinya kompetisi mahadahsyat, yang kemudian berkembang ke arah persaingan tak sehat.

Fakta aktual kini bicara bahwa persaingan tak sehat akibat euforia kebebasan pers yang berbuntut pada booming pers telah "menyihir" praktisi pers, sehingga mereka berlomba-lomba menurunkan sajian-sajian tak etis seraya melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Celakanya, sebagian dari mereka partisan pula (bekerja untuk penerbitan yang dikelola partai politik), sehingga mereka makin ganas. Kasus montase Amien Rais, sedikit banyak, diwarnai sikap partisan itu. Lebih gawat lagi, mereka pun GR (gede rasa) merasa punya takhta agung yang sangat berkuasa dan penting di tengah-tengah komunitas publiknya. Syahdan, yang kebablasan, tak segan-segan tiwikrama menjadi sosok-sosok pemeras.

Perkembangan ini sangat riskan dan mencemaskan di tengah-tengah situasi psikologis masyarakat kita yang sedang rentan (galau, cemas, takut, stres, dan frustrasi) sekarang ini. Dalam perspektif psikososial, sajian pers dapat membentuk persepsi-persepsi tertentu -sesuai muatan sajian- yang kemudian dapat berkembang menjadi sikap (kecenderungan berperilaku) dan selanjutnya mewujud dalam bentuk perilaku konkret. Berbagai studi eksperimental menunjukkan bahwa sajian (agresivitas) media massa berpengaruh signifikan terhadap perilaku (agresif) audiensinya, terutama bagi mereka yang sedang dilanda stres atau frustrasi (Sears dkk., 1991).

Karena itu, tren tak sehat tersebut harus segera dihentikan. Cuma, rasanya, tak ada satu kekuatan pun di Tanah Air yang dapat menghentikannya, kecuali kalangan pers sendiri. Lebih-lebih, bila mengingat kompleksitas industri pers: bahwa mereka harus mempertimbangkan aspek bisnis dan aspek ideal sekaligus, serta menjangkau dan merajut banyak kepentingan/kekuatan dalam waktu bersamaan. Namun, untuk sekadar mengerem lajunya, agaknya, mungkin.

Pihak yang paling potensial ambil bagian adalah kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang concern pada kehidupan pers nasional, yang akhir-akhir ini mulai bermunculan. Di antaranya: Lembaga Konsumen Pers (LKP) Surabaya dam Media Watch Society (Jakarta). LSM-LSM seperti ini idealnya hadir di setiap kota provinsi dan kabupaten yang telah ada institusi persnya, terutama sebagai pengimbang. Dan, agar LSM-LSM ini punya power dan lebih efektif dalam berperan, perlu dilakukan merger untuk membentuk institusi induk berskala nasional. Misalnya mengambil nama: Komisi Independen Pemantau Pers Nasional (KIPPN).

Peran yang dapat dimainkan KIPPN, antara lain: mengidentifikasi dan mempublikasikan penyimpangan-penyimpangan pers nasional/daerah kepada publik, memberikan rekomendasi penyimpangan pers kepada pihak-pihak berwenang (instansi hukum), memberikan supervisi dan peringatan kepada kalangan pers yang diketahui melakukan penyimpangan, dan memberikan penghargaan (seperti yang dilakukan LKP Surabaya dalam bentuk FAIR Award).

Hubungan media massa dan LSM yang amat mesra selama ini kini mesti jeda. Pers tak perlu menjadi "juru bicara" LSM, dan sebaliknya LSM tak perlu "memingit" pers. Sudah saatnya kini pers dan LSM saling berhadapan, sawang-sinawang. Hal ini penting untuk mengembalikan pers kepada fitrahnya. Yakni, pers -meminjam paradigma komunikasi etis Eubank (Johannsen, 1996)- yang setia pada nilai-nilai pembudayaan (kesehatan, kreativitas, bijaksana, cinta, kebebasan dengan keadilan, keberanian, dan keteraturan); menghargai perintah kesopanan dan menghindari praktik komunikasi yang melanggar nilai-nilai hakiki orang lain (penipuan, kecabulan verbal, dan serangan-serangan tidak relevan terhadap karakter lawan); teliti dan jujur, tidak menyembunyikan kebenaran, memalsukan bukti atau menggunakan alasan yang salah; dan memperlakukan setiap orang atas nama sendiri atau orang lain sebagai cara sekaligus tujuan.

Pers yang setia pada nilai-nilai etis ini layak disanjung, sebaliknya yang menafikannya patut dipasung.
Widodo,
Pengamat Psikososial, Ketua Yayasan Lembaga Studi Bina Bangsa (YLSB2) Jakarta.