sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI

Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/21/00]

 

Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998: Menuntaskan Romantisme Sejarah1
hasan bachtiar
2
 

Kalau benar bahwa pers mahasiswa mempunyai hakikat yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mahasiswa, maka ia adalah sebuah ruh. Ekspresinya bisa tebal ataupun tipis, tetapi secara eksistensial ia ada: menyelinap kesana-kemari. Suatu saat bisa teramat lesu, tetapi saat yang lain bisa sangat bergairah.3 

Sekarang ini, ketika Bursa Efek Jakarta baru saja diguncang ledakan bom yang dahsyat, 10 lebih nyawa melayang, dan kurs rupiah terhadap dolar AS lagi-lagi anjlok, atau militer Indonesia sedang melakukan suatu konsolidasi diam-diam dan merencanakan sesuatu yang tak akan pernah terperkirakan oleh pengamat politik terjenius sekalipun di Indonesia, apakah menariknya mendiskusikan soal pers mahasiswa (persma)?

Tatkala Pangeran Alawaleed bin Talal bin Abdul Aziz al-Saud dengan enjoy menginvestasikan hampir 900 miliar dolar untuk pembangunan industri teknologi informasi di semenanjung Arab4 , dan sehari-hari ia bisa santai dikelilingi gadis-gadis yang siap melayaninya melahap korma-korma segar sembari mengklik-klik mouse komputer mininya yang keluaran terbaru dari Intel, masih pentingkah kita di sini, di Indonesia yang muram ini, memperdebatkan habis-habisan tentang dinamika persma—yang melenakan itu?

Kala yang bernama reality sulit dicari perbedaannya dengan virtual reality, dan space mudah saja dipermak menjadi cyberspace, dan ada sekira 50 orang5  yang kini mengendalikan keanehan-keanehan ini, apa untungnya kita mengomongkan kesejarahan persma?

Saat dunia sungguh-sungguh global, tak berlaku lagi yang namanya sekat geografis, kultural, dll., sehingga Cina akan segera "mengubah namanya" menjadi McChina6 , dan stok minyak Indonesia tinggal sekira untuk tujuh tahun lagi, selain kondisi fisik bumi yang kian parah, benarkah masih urgen jika kita berbincang-bincang tentang "mitos-mitos" pers mahasiswa?

Dan sewaktu Reformasi 1998 bergulir, industri pers nasional mengalami booming7 , dan mouth-cracking journalism tampak menjadi metode yang digemari pers-pers amatiran, selain pers-pers porno dan mistis menjamur, serta pers elektronik (radio, televisi, media on-line) yang sanggup bekerja dalam hitungan detik, masih kelihatan gagahkah bila topik reposisi persma kita diskusi(-seminar-sarasehan-skripsi-tesis-disertasi-)kan?

Kini UGM, UI, ITB, serta IPB—tak lama lagi bakal diikuti seluruh perguruan tinggi (PT) di Indonesia—sudah "otonom secara politik maupun ekonomi", yang merupakan "prestasi puncak" proyek industrialisasi pendidikan di Indonesia.8  Maka, tidakkah kita terlampau over-confident untuk mengenang kembali kejayaan Harian Kami, Salemba, Kampus, Gelora Mahasiswa, atau Mahasiswa Indonesia—generasi kedua persma yang pernah mencapai oplah puluhan ribu, bahkan melebihi Kompas?

Barangkali jawaban untuk semua pertanyaan pesimis di atas adalah: ya! Sebagaimana Panitia sarasehan ini—setidaknya yang penulis tangkap—bermaksud baik untuk memfasilitasi perguliran wacana persma, yang untuk dua dekade ini cuma jadi "narasi pinggiran", maka penulis menyanggupi permintaan Panitia untuk menulis risalah sederhana ini. Semoga sarasehan ini akan bisa dimaknai dalam bingkai kepantasannya yang wajar.


Mitologisasi Romantisme?

Entahlah, setelah membaca-baca berbagai literatur tentang persma, penulis menemui banyak sekali kontradiksi dalam perjalanan sejarah persma.9  Dan, tampaknya, kontradiksi-kontradiksi tersebut bersumber dari "mitologisasi romantisme sejarah" yang tiada habis-habisnya membuai para pegiatnya hingga sekarang, sebagaimana halnya mitologisasi romantisme sejarah yang diderita oleh entitas gerakan—sosial-politik—mahasiswa Indonesia.10 

Ada beberapa contoh literatur tentang persma yang menarik untuk disinggung di sini:

& Buku karya Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti,11  memang patut diakui, adalah sebuah referensi pertama yang mengupas peran kesejarahan persma. Dalam buku yang merupakan skripsi Amir untuk meraih gelar sarjana Ilmu Komunikasi di Fisipol UGM itu, Amir mencatat periodisasi sejarah (era kolonial [zaman kolonial Belanda dan Jepang] dan era kemerdekaan [demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, 1966—1974, 1974—1980-an), dan mencoba menerapkan metode content analysis terhadap persma, yang sempat leading dalam oplahnya, untuk terbitan antara 1960-an hingga akhir 1970-an. Kesimpulan Amir, dinamika persma amat tergantung pada personalitas rezim politik yang sedang berkuasa: apakah menganut sistem libertarian, demokrasi, ataukah otoritarian. Yang penting, sudah sejak 1979, waktu buku itu ditulis, Bang Amir menandaskan, "Persma kini memasuki suatu periode baru yang kiranya harus banyak belajar dari sejarah untuk tidak mengulang-ulang kesalahan masa lalu. Mitos dan nostalgia kebesaran persma pada tahun 1966 sudah layak ditinggalkan." Lanjutnya, "Pada persma kini dituntut untuk memberikan jawaban bagaimana rumusan pikiran baru untuk menatap realitas sosial Indonesia, sekarang dan akan datang: realitas yang bagaimana yang layak ditampilkan, bagaimana wajah persma kini dan akan datang."

& Lantas, Francois Raillon membuat penelitian khusus tentang mingguan Mahasiswa Indonesia yang diterbitkan oleh Rahman Tolleng dkk. di Bandung, dan diterbitkan menjadi buku bertajuk Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974.12  Yang paling fantastis, Raillon menulis, "Para pemuda, termasuk para pemimpin mahasiswa yang mengasuhnya, merupakan pendukung-pendukung aktif Orde Baru. Mereka juga merupakan tokoh-tokoh yang gigih menganjurkan perubahan, reformasi, dan apa yang mereka sebut dengan modernisasi. Karena itu, surat kabar mereka ini, Mahasiswa Indonesia, merupakan satu sumber yang mutlak perlu dipelajari untuk mengenal Orde Baru dan sejarah Indonesia antara tahun 1966 sampai tahun 1974." Sanggah penulis, bukankah ini too over-confident?

& Sementara itu, Daniel Dhakidae—kini Kepala Litbang Kompas—melaporkan hasil penelitiannya dalam Prisma, No. 10/Oktober 1977, berjudul "Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers". Dhakidae, dengan mengambil sampel Gelora Mahasiswa (UGM), Salemba (UI), dan Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), meneliti dua aspek dalam persma, yaitu etos persma—yang disebutnya menganut asas advisory journalism ‘jurnalisme menantang’, sarat opini ketimbang fakta (scientific journalism?), serta political-state-oriented—dan alam pikiran persma yang terwujud dalam performa bahasa jurnalistiknya—yang meliputi tiga bentuk: konsepsi-konsepsi abstrak, pernyataan-pernyataan "keharusan", dan lontaran-lontaran "pertanyaan". Dari sini, sangatlah jelas bahwa persma selama ini terlampau gampang melanggar asas-asas jurnalisme konvensional yang senantiasa mengedepankan fakta ketimbang opini dan menjunjung tinggi objektivitas. Maka, situasi seperti ini tidak sehat juga, bukan?

& Sedangkan dinamika persma 1980—1990-an dipotret oleh Didik Supriyanto dalam bukunya, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK.13  Dalam kata pengantar buku yang ditulis mantan Pemimpin Redaksi BALAIRUNG itu, Dr. Afan Gaffar melihat bahwa peran terbaik yang diberikan persma sepantasnya ialah menawarkan kerangka konseptual (pemikiran alternatif), baik bagi penyadaran masyarakat maupun mahasiswa sendiri. Maka, kalau persma dituntut untuk mampu mencerahkan mahasiswa dan masyarakat umum, pertanyaan penulis: bagaimana itu bisa diraih jika segmentasi pembaca persma tak pernah jelas? Bukankah selama ini pegiat persma menulis dan menerbitkan media untuk dinikmati sendiri? Pemaparan Didik dalam buku ini (semula skripsi sarjana Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM) telah cukup terang: pun pada 1980-an hingga 1990-an, persma tak berhak mengklaim dirinya sebagai motor utama masa-masa kegairahan kembali gerakan mahasiswa.

& Ana Nadhya Abrar pun banyak menulis artikel-artikel tentang persma dan permasalahan operasionalisasinya, antara lain: Panduan buat Pers Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Pers Mahasiswa dan Permasalahan Operasionalisasinya (Yogyakarta: Liberty, 1994). Mantan awak BALAIRUNG dan kini Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, itu tampaknya memandang bahwa persma merupakan "pers alternatif". Penulis ragu: alternatif yang seperti apa?

Di samping itu, masih banyak tulisan tersebar yang lain14 , yang selalu saja dikutip-kutip oleh para "aktivis"—mengapa bukan "wartawan"?—persma dalam diskusi-diskusi tentang sejarah dan dinamika persma Indonesia. Kesemua karya tulis itu, selain memang merupakan dokumentasi ilmiah nan berharga, pada hemat penulis, sebenarnya telah ikut menyumbang pada upaya-upaya "mitologisasi romantisme" peranan pers mahasiswa dalam sejarah Indonesia modern. Walhasil, para pegiat persma kerap kali terjebak: ingin meneriakkan demokrasi dengan "D" besar, tanpa menghitung-hitung secara realistis kemampuannya sendiri!

Persma: Delicious Mixture of Problems

Marilah kita amati dulu di mana posisi persma dalam semesta peradaban manusia, melalui peta "simplistis" berikut ini:


Dari peta sederhana tersebut, penulis menyimpulkan bahwa, sesungguhnya, selama ini eksistensi pers mahasiswa adalah "ambigu". Personalitas persma sebagai entitas menderita apa yang dinamai oleh psikologi modern sebagai "split personality". Mengapa bisa begitu?

Untuk ini, seorang kawan saya, Luqman Hakim Arifin (mantan Pemred BALAIRUNG 1999—2000) pernah menulis,

Merujuk pada namanya, "pers mahasiswa", esensi persma sebenarnya sudah cukup jelas. Persma adalah entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu "pers" dan satunya lagi "mahasiswa". Sebagai pers, ia dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. … Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan beratnya nama itu.15 

Meski kawan penulis itu lumayan romantis dengan kiprah kesejarahan mahasiswa dan persma Indonesia, paparannya bisa membantu penulis untuk menjelaskan di mana titik ambiguitas eksistensi persma. Pada suatu saat, para awak persma akan dengan enak saja menikmati fasilitas—misalnya: masuk seminar gratis, perlindungan khusus, dll.—yang biasanya dimiliki pers umum. Namun, persma tidak bersungguh-sungguh untuk bekerja dengan tatanan dan logika pers umum: perusahaan komersial, publisitas, periodisitas, faktualitas, objektivitas berita, dll. Sedangkan pada saat yang lain, para awak persma mengklaim dirinya sebagai salah satu elemen pergerakan politik mahasiswa. Tetapi, ketika terjadi penggebukan aksi mahasiswa oleh militer, awak persma mengaku-aku justru sebagai "wartawan mahasiswa". Pendek kata, persma amat "serakah", mau enaknya sendiri.

Pemetaan di atas, oleh banyak pengamat sebelum penulis, telah banyak dibahas—walau, penulis rasa, terkesan romantis berat. Didin S. Damanhuri16  menganalisis empat ciri kehidupan mahasiswa yang membedakannya dengan warga masyarakat umumnya: (1) mahasiswa adalah kelompok kaum muda, yang masih merasakan mentalitas kaum muda—dinamis, anti-establishment, radikal, lugas; (2) mahasiswa adalah kelompok yang menjalani sistem persekolahan modern-akademis, yang selanjutnya memberinya pedoman dalam bersikap—objektif, rasional, kritis, skeptis; (3) mahasiswa merupakan kelompok yang relatif independen, hanya berkepentingan terhadap masa depan kemanusiaan yang lebih baik, dan tak punya keterikatan—finansial, politis, ideologis; serta (4) mahasiswa merupakan kelompok subsistem dalam masyarakat secara keseluruhan—lokal, regional, mondial—sehingga mahasiswa senantiasa ingin berinovasi, berorientasi pada hal-hal yang normatif, fundamental, prinsipil.

Tipologi mahasiswa sebagai kelompok kelas menengah yang khas dalam masyarakat itu, kemudian, melatarbelakangi etos dalam "idealisme persma"—kalaulah istilah ini wajar kita pakai. Situasi inilah yang mengarahkan mahasiswa pada pikiran-pikiran yang normatif, ideal, fundamental melulu, seringkali mengesampingkan realitas. Akibatnya, antara berpikir ideal dan realistis, mahasiswa jatuh lebih banyak kepada pemikiran-pemikiran ideal. Singkatnya, "fitrah" mahasiswa adalah kaum utopis.

Dengan memanggul fitrah yang seperti ini, persma menderita kontradiksi-kontradiksi yang mengerikan. Periode sejarah persma 1980—1990-an, sebagaimana kita pahami dari banyak analisis kritis, ikut pula terimbas oleh gegap-gempita industrialisasi, yang melanda pula dunia persekolahan nasional.

Pemerintah mengeluarkan sejumlah produk perundang-undangan, yang—bila ditarik suatu garis merah lebih jauh—memanglah dituntutkan oleh paradigma developmentalisme-modernis-industrialis: ketertiban, keseragaman, korporatisme, sentralisme, dll. Situasi yang hendak dicapai ialah suatu pertumbuhan ekonomi dengan angka-angka fantastis, trIckle down effect menjadi cerita kegagalan suatu eksperimentasi yang mengerikan. Dengan melalui suatu perencanaan yang benar-benar sistematis, rapi, berikut dukungan militer, Orde Baru tidak memberikan pilihan yang lain kecuali pragmatisme, juga ketertiban pikiran masyarakat17 . Bukan saja pada aras fisik negara Orde Baru—yang otoritarian-birokratis—mengekang rakyatnya, bahkan pada aspek yang terlembut: wacana, bahasa18 . Dus, hegemoni Orde Baru berlangsung dengan amat mulus.

Banyak anasir layak diajukan untuk ini. Sehari-hari saja, kita di kampus menemui secara langsung mahasiswa, juga dosen dan birokrat kampus, yang cara berpikirnya sangat pendek, simpel, pragmatis! Ketika negara kita bangkrut, maka penulis masih banyak menemui pola hidup hedonis dianut banyak orang. Adakah banyak hal bisa diharapkan dari suatu golongan masyarakat seperti ini? Penulis yakin untuk menjawab tidak.

Era 1980—1990-an (sebelum 21 Mei 1998)19 , sepengelihatan penulis, sudah amat jauh berbeda dengan era 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. Namun, dinamika persma era NKK/BKK ini masih meresapi semangat ketiga era tersebut: heroisme, dan—dalam banyak kasus—"kiri kekanak-kanakan". Di samping itu, penulis masih sangsi jika ada perkataan bahwa persma era 1960-an dan 1970-an disebut-sebut unggul dalam tirasnya. Dalam keseharian aktivitas penulis di BALAIRUNG sejak 1998, hampir tiap minggu kami mendapat kiriman belasan terbitan mahasiswa dari berbagai kampus di segenap penjuru Tanah Air. Di lain pihak, kalau penulis memeriksa dokumentasi persma milik Pusat Informasi Pers Mahasiswa Indonesia (PIPMI) yang dikelola oleh Litbang BALAIRUNG, penulis mengambil kesimpulan bahwa industrialisasi nasional pun memacu peningkatan kuantitas penerbitan persma. Format cetakan persma juga sudah jauh lebih baik ketimbang ketiga era di atas.

Nah, sampai di sini, uraian ini dengan yang sebelumnya menjadi korelatif. Tampak terang sekali bahwa kompleksitas masalah eksistensi dan personalitas suatu entitas yang bernama persma ini berstadium akut. Ini masih ditambah dengan beban kesejarahan persma sendiri dan juga warisan tradisi peranan kesejarahan pers nasional. Ignas Kleden pernah mengatakan,

… pers Indonesia—berdasarkan warisan sejarahnya—senantiasa ditandai oleh komitmen sosial-politik yang kuat. Pada awalnya pers Indonesia adalah pers perjuangan, yang didukung oleh intelektual-intelektual terbaik dari zaman perjuangan…. Menarik untuk dicatat bahwa hampir semua pemimpin Indonesia dari generasi ’28 adalah penulis aktif dalam pers.20 

Era Baru, Pasca-21 Mei 1998
Di atas, penulis memberi penekanan lebih pada momen turunnya Soeharto dari takhta kepresidenan, 21 Mei 1998. Mendekati tanggal penting ini, persma—juga pers umum, atau banyak bidang kehidupan yang lain—mengalami pula eskalasi kesedihan. Rasa tidak puas dan protes merebak di mana-mana. Membaca persma terbitan pra-21 Mei 1998 sama dengan mengunyah gosip dan isu konspirasi perpolitikan tingkat tinggi di Jakarta, berikut pelbagai spekulasi yang aneh-aneh: junta militer, revolusi proletariat, konsolidasi status quo, dan masih banyak lagi.21  Pada masa-masa genting ini, kita mencatat pula tumbuhnya persma-persma temporer, berbentuk newsletter dengan masa terbit lebih cepat (mingguan atau harian), misalnya Bergerak! (UI), Gugat (UGM), Suga Alternatif (Unair), dll.22 

Transisi kekuasaan, dari otoritrianisme menuju entah demokrasi sejati atau semu, menawarkan situasi yang tanpa kendali. Keterbukaan pers datang tiba-tiba, dan persma dibuat kalang kabut. Wilayah (baca: pers alternatif) yang dulu dipilih oleh persma dalam mengaktualisasikan dirinya, kini sudah dimasuki—secara enak saja—oleh pers umum. Pers umum, yang selama Orde Baru memilih "tiarap", sejak 21 Mei 1998 ikut-ikutan berteriak lantang, bahkan melebihi mahasiswa, untuk mendukung reformasi total.

Dalam hal ini, posisi persma teramat dilematis. Tentu saja, pers umum—dengan keunggulan pada modal, alat produksi, dan jaringan pemberitaan—mampu bekerja dalam mekanisme yang lebih sempurna, mendekati kecepatan momentum berita itu sendiri. Sedangkan persma selama ini bertahan sambil memendam kontradiksi-kontradiksi—bahkan menuju pembusukan?—internal yang akut. Lantas, apa yang masih "tersisa" untuk persma?

Maka, tak lebih dan tak kurang, persma mengalami "disorientasi". Dan split personality itu mencapai puncaknya di sini: identifikasi persma sebagai bagian yang sah pula dari pers umum tertolak mentah-mentah!

Seibarat berada dalam situasi dialektika permasalahan, kontradiksi-kontradiksi dalam tubuh persma ini mestilah segera dicarikan solusinya, diupayakan sintesisnya, dan dipilih jalan mana untuk mengatasi kebuntuan ini, dengan dataran berpikir yang terbaru sekalipun.23  Sebabnya, segenap permasalahan di atas telah menuntut kita semua, para pegiat persma, untuk benar-benar membuka segala kemungkinan yang ada. Untuk ini, risiko bila suatu saat "kita tak lagi berada dalam perahu pemikiran yang sama" tak perlu ditakutkan.24 

Dalam semangat inilah, BALAIRUNG pernah menggelar acara Sarasehan Pers Mahasiswa se-Jawa-Bali bertopik "Mencari Ruang Baru dalam Era Keterbukaan", 2 November 1998. Para pembicara yang dihadirkan yaitu Amir Effendy Siregar, Dailami, dan Didik Supriyanto. Dan, forum itu mencoba memotret persma dalam aspek kesejarahannya, situasi nasional, serta tawaran alternatif pada masa keterbukaan dan transisi demokrasi di negeri ini. Yang agak mendasar ialah lontaran Didik Supriyanto bahwa "persma harus kembali kepada komunitas pembacanya, yakni melayani kebutuhan lalu lintas informasi di kampusnya masing-masing".25  Memang, tak terlampau banyak hasil yang bisa diharapkan. Namun, yang jelas, target forum itu ialah untuk membuka diskursus tentang pentingnya segenap awak persma mengevaluasi diri dalam kerangka reposisi.

Dari semua paparan di atas, penulis lantas jadi agak "sedih". Barangkali, memang beginilah nasib mahasiswa-mahasiswa di negeri miskin seperti Indonesia. Mereka tidak saja dituntut untuk belajar tekun dan menguasai bidang ilmunya masing-masing, tapi kondisi negara-bangsanya yang masih runyam mengharuskan pula mereka untuk turun tangan: sekali-kali demonstrasi menentang sikap-sikap antidemokratis para penguasa, juga menawarkan solusi paradigmatik untuk menyelesaikan itu semua. Is it possible? Hopefully.

BALAIRUNG Mencoba Memilih
Dalam kesempatan ini, seperti sudah pernah penulis singgung di atas, penulis sekadar melakukan perekaman terhadap perbincangan tentang reposisi persma yang telah terjadi di markas BALAIRUNG. Dan, sebenarnya, BALAIRUNG telah menentukan alternatif solusinya, yakni apa yang disebut dengan "Integrated System of Journalism" (ISJ).26  Ada baiknya jika apa yang telah dipilih BALAIRUNG itu penulis paparkan sedikit di sini, semoga dapat menjadi "antitesis" terhadap pilihan-pilihan persma lainnya.

Saat ini, BALAIRUNG memiliki lima divisi plus "divisi umum". Berikut struktur ringkasnya:


Dengan struktur yang demikian, masing-masing divisi dalam BALAIRUNG mempunyai otonomi yang optimal. Divisi-divisi itu berhak penuh untuk melakukan inovasi dalam program-programnya. Bagian umum (PU, Sekum, Bendum) hanya bertugas memfasilitasi kerja semua divisi, selain menggarap bidang hubungan eksternal lembaga.

Pada Divisi Redaksi, kami menderivasikan ISJ ke dalam metodologi penggarapan tema Majalah BALAIRUNG, yakni kami sebut dengan "jurnalisme integral", yang sudah kami aplikasikan sejak kepengurusan setahun lalu (1999—2000). Penjelasan gampangnya, kami menggarap suatu isu dalam kerangka abstraksinya yang paling mendasar. Dari sana, kami membuat derivasinya dan diterapkan ke dalam rubrikasi. Harapannya, suatu isu akan bisa kami kaji secara tuntas, multiperspektif, multidisiplin, baik isu nasional maupun global.

(Catatannya, konsep ini sebenarnya menjadi pilihan sementara kami. Pilihan—setidaknya yang mendekati—final kami dalam kerangka reposisi persma ialah BALAIRUNG akan menjadi "jurnal mahasiswa", bukan cuma majalah berita/isu, sebab sudah lama ada tuntutan di antara kami agar isu-isu yang dikaji BALAIRUNG bisa tuntas. Untuk mencapai derajat ketuntasan yang tertinggi, ya, melalui karya-karya tulis ilmiah versi jurnal yang memungkinkan analisis masalah dengan daya abstraksi dan teorisasi yang kuat.)27 

Di samping menerbitkan "majalah semi jurnal", dan cocok dengan gagasan Didik Supriyanto agar persma kembali ke komunitas asalnya lagi, BALAIRUNG menerbitkan pula BALAIRUNG Koran, yang diproduksi dalam periode mingguan. Sementara ini formatnya masih koran dinding, lay-out sederhana (montase manual), fotokopian pada kertas A-2, dan kami tempel-siarkan ke dinding-dinding pengumuman 18 fakultas di UGM. Jika Majalah BALAIRUNG memfokuskan penggarapan isu-isu nasional dan global, maka BALAIRUNG Koran memilih fokusnya pada berita-berita (baca: isu-isu) internal kampus UGM.28 

Penerbitan BALAIRUNG Koran ini juga untuk mendukung kerja sama jaringan internet persma se-Indonesia dengan Detikcom melalui situs <www.detik.com/kampus>. Dengan menerbitkan BALAIRUNG Koran, selain kami back to campus, berita-berita seputar UGM bisa kami siarkan secara internasional, yang tentulah tak berbeda dengan persma-persma lain.29  Kemudian, dalam Mubes BALAIRUNG, 3—4 Juni 2000, kami memutuskan untuk mengembangkan secara lebih serius media on-line, dengan memberi keluasan otoritas pada divisi baru: Divisi BALAIRUNG On-line. Hingga kini, situs <balairungnews.com> kami anggap sangat prospektif. Rata-rata, situs <balairungnews.com> dimasuki oleh 20 pengunjung dalam sehari.30 

Pada sisi lain, Divisi Perusahaan BALAIRUNG pun terus berbenah. Divisi yang membawahi tiga subdivisi (Iklan, Sirkulasi, Promosi) ini terus melebarkan jaringan pemasaran Majalah BALAIRUNG. Data survei kami pada 1999, BALAIRUNG kini telah didistribusikan—melalui agen-agen distribusi dan toko-toko buku—ke berbagai wilayah secara konsisten: DI Yogyakarta (36,5%); DKI Jakarta (32%); Jawa Timur—Surabaya dan Malang (10,35%); Jawa Tengah—Semarang dan Solo (9,33%), Jawa Barat—Bandung (3%), Sumatra—Medan, Palembang, Pekanbaru, Padang (5,8%); Kalimantan—Balikpapan, Samarinda, Pontianak (1,89%); Sulawesi—Ujungpandang, Menado (1,17%); di samping kami sebarkan kepada relasi dan persma seluruh Indonesia (0,6%). Sejumlah biro iklan di Jakarta merupakan "penolong" kami dengan suplai iklan mereka. Dan, pelbagai upaya promosi BALAIRUNG dilakukan untuk terus mendongkrak angka penjualan di pasar.31 

Selain itu, Divisi Litbang BALAIRUNG kini kembali menuntaskan proyek Pusat Informasi Pers Mahasiswa Indonesia (PIPMI), dengan bantuan infrasturktur dari Institut Stusi Arus Informasi (ISAI) yang kami peroleh pada 1998. Target kami, PIPMI akan menjadi research centre tentang persma Indonesia yang lebih lengkap lagi—bantuan kawan-kawan persma Indonesia tentu amat kami harapkan, terutama lewat pengiriman medianya. Divisi ini pun memfokuskan garapannya pada usaha penelitian-penelitian sosial, diskusi rutin, dan pembangunan basis data BALAIRUNG.

Yang terakhir, kami mendirikan pula divisi baru, yaitu Divisi Produksi, supaya pekerjaan cetak-mencetak segala produk BALAIRUNG menjadi lebih terencana dan efisien. Bila redaksi sudah menyelesaikan pekerjaannya hingga naskah dan foto-foto siap, Divisi produksi bertanggung jawab terhadap proses lay-outing dan pencetakannya. Lantas, Bagian Sirkulasi akan segera mendistribusikan BALAIRUNG ke seluruh pelanggannya.

Demikianlah, kami berusaha seoptimal mungkin, dengan berbagai kompromi terhadap persoalan-persoalan klasik persma. Harapan sederhana kami, setidak-tidaknya, BALAIRUNG dapat menjadi "wahana tercurahnya pikiran-pikiran kritis, analitis, dan inovatif dari komunitas intelektual muda dan ilmuwan, untuk saling mengisi dan menggagas dalam dialog demi masa depan kemanusiaan".32  Apa lagi yang tersisa milik kita jika bukan komitmen, motivasi, dan optimisme?

Makna Zaman
Dalam gelombang besar peradaban manusia yang sudah demikian jauh, penulis mengajak kepada seluruh pegiat persma Indonesia untuk kembali menengok historisitas persma Indonesia secara proporsional, lantas memaknai zaman kita sendiri, sekarang ini, dengan penuh kepercayaan diri. Itu saja….

Kota Gudeg, Yogyakarta, 17 September 2000
Salam hangat,

hasan bachtiar

 

1 Kertas kerja ini didiskusikan pada acara Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa, 18—19 September 2000, di Gedung Dewantara, Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

 2 Penulis saat ini menjabat Pemimpin Umum Majalah Mahasiswa Universitas Gadjah Mada BALAIRUNG periode 2000—2001, dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Linguistik, Fakultas Sastra UGM. Dalam perumusan wacana ini, penulis banyak dibantu oleh Nino Aditomo (PU Bulaksumur, mitra debat yang setia—penulis berharap Nino pun bisa ikut menyumbangkan ide-idenya yang cemerlang dalam forum ini, namun sayang situasi belum mengizinkan), dan kawan-kawan Komunitas B-21 lainnya, serta sahabat-sahabat Komunitas Sawitsari—terutama Mas Andy atas pinjaman PC-nya. Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka semua atas diskusi-diskusi yang hangat dan intensif. Pada akhirnya, tanggung jawab "akademis" kertas kerja ini ada pada penulis sepenuhnya. Namun, benarkah "wartawan" dapat menulis paper yang benar-benar "ilmiah"? Semoga!

 3 BALAIRUNG, Edisi 13/Tahun V/1991.

 4 Penulis terheran-heran sekaligus takjub ketika membaca majalah Fortune, December 6, 1999, yang memaparkan kerajaan informasi berteknologi tinggi milik Alwaleed sebagai cover story-nya. Bukan saja bisnis ini di Semenanjung Arab dia kuasai, namun jumlah sahamnya di Silicon Valley lumayan mencengangkan.

 5 Time, October 12, 1998: "The 50 Most important People in Cyberspace".

 6 Lihat laporan utama majalah Asiaweek (July 4, 1997), yang judulnya istimewa: "McChina: American Pop Culture is Sweeping the Mainland". Diskotek, McDonald, Coca Cola, dan jins Levi’s menjadi pemandangan sehari-hari bukan saja di negeri komunis itu, namun di hampir seluruh penjuru bumi. Viva America?

 7 Lihat analisis Ignatius Haryanto, "Boom! Penerbitan Baru", dalam Independen Watch!, No. 2/Th. I/Juni 2000. Kesan penulis, menakjubkan! Hingga April 1999 saja, Deppen—sebelum dilikuidasi oleh Gus Dur—mengeluarkan 852 SIUPP baru. Jumlah sekarang tentu meningkat lagi. Selain itu, harian Kompas edisi ulang tahun ke-35, 28 Juni 2000, menyiarkan sejumlah karangan yang amat penting untuk diacu dalam diskursus pers nasional: Onno W. Purbo, Atmakusumah, A. Muis, Asvi Warman Adam, Ishadi S.K., Ashadi Siregar, dll.

 8 Suatu analisis termutakhir yang menarik tentang ini, lihat Ariel Heryanto, "Industrialisasi Pendidikan", dalam Basis, Nomor 7—8/Tahun ke-49/Juli—Agustus 2000.

 9 Namun, tampaknya, para pegiat persma "menikmati" kontradiksi-kontradiksi tersebut, dengan sejauh mungkin melakukan inovasi-inovasi pada semua aspek pengelolaan persma. Penulis menangkap gejala ini setelah banyak melakukan studi banding dengan persma-persma yang mengunjungi BALAIRUNG.

 10 Masmimar Mangiang, dalam sebuah karangannya berjudul "Mahasiswa: Ilusi Sebuah Kekuatan" (Prisma, No. 12/Desember 1981), menganggap—dan penulis sepakat—bahwa kekuatan gerakan mahasiswa untuk memelopori perubahan cuma "ilusi". Kalaulah Angkatan ’66 yang dijadikan nostalgia, maka angkatan itu memang cuma mitos sebab tak ada tawaran paradigmatik pasca-aksi, selain banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa ’66 justru di-setting oleh militer. Yang tragis, para arsitek Angkatan ’66, yang pada masanya menjadi pelopor aksi-aksi massa melawan kekuasaan despot, kemudian malah menjadi arsitek proyek pembelengguan kemerdekaan mahasiswa pada 1980-an. Periksa pula Prisma, No. 6/Juni 1987, yang menurunkan laporan serial diskusi aktivis mahasiswa (angkatan 1980-an) di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, April—Mei 1987.

 11 Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983).

 12 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974 (Jakarta: LP3ES, 1985).

 13 Didik Supriyanto, Perlawanan Pers mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal, 1998).

 14 Antara lain, Koran Mahasiswa UMI-Makassar Cakrawala Ide, dalam edisi perdananya (1994) diturunkan laporan utama dengan judul wah: "Bangkitlah Pers Mahasiswa"! Majalah Time edisi March 30, 1998, menyebut persma Indonesia sebagai "behind the scenes"—penggerak Reformasi Mei 1998 yang terduga. Disertasi David T. Hill dari Murdoch University, Australia, berjudul The Press in New Order Indonesia (Perth: UWAP, 1994) menyinggung sedikit tentang persma. Bagian termenarik dari buku itu ialah Chapter 4, "The Rise of Press Empires", yang mengupas soal konglomerasi pers di Indonesia.

 15 Luqman Hakim Arifin, "Cerita Panjang dari Lombok", dalam BALAIRUNG, Edisi 32/Tahun XV/2000. Biarpun begitu, beberapa proposisi Luqman—selain kategorisasinya tidak tepat, terutama yang berkaitan dengan penjajaran antara "pers" sebagai entitas abstrak dan "mahasiswa" sebagai entitas konkret—bahwa mahasiswa dan pers itu "pelopor perubahan, konsekuen, independen, besar, agung" belum bisa saya setujui sepenuhnya. Bagi saya, diksi seperti ini jelas telah berlebih-lebihan.

 16 Didin S. Damanhuri, Menerobos Krisis: Renungan Masalah Kemahasiswaan, Intelektual, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985).

 17 Sastrawan Seno Gumira Adjidarma pernah menulis cerpen yang amat fenomenal: "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi". Sastrawan putra fisikawan Nang Seno ini berteriak, "Bagaimana caranya menertibkan imajinasi?!?!"

 18 Buku Bahasa dan Kekuasaan: Politk Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996—editor: Yudi Latif dan Idy Subandy Ibahim) menjelaskan kepada kita soal ini lebih gamblang.

 19 Sengaja hal ini penulis tandaskan untuk menandai bahwa 21 Mei 1998, hari ketika penguasa-despot Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden RI setelah selama 32 tahun berkuasa, kemudian menjadi satu titik penting dalam sejarah Indonesia, yang membuka banyak kemungkinan baru bagi penataan ulang perikehidupan masyarakat, dan sekaligus memunculkan efek yang dahsyat: kerusuhan sosial, booming pers, resesi ekonomi berkepanjangan, dan masih banyak lagi.

 20 Ignas Kleden, "Kebebasan Pers atau kemungkinan Berkomunikasi?" (kata pengantar), dalam Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987).

 21 Gejala ini terjadi juga di BALAIRUNG. Bila ditilik secara seksama, BALAIRUNG terbitan 1997—1998 hampir semua mengupas isu politik dengan perspektik yang sangat leftist: edisi "Gerakan Buruh", "Hitam-Putih Pasca-Soeharto" (plus polling yang menghasilkan kesimpulan bahwa 70,3% mahasiswa UGM tidak setuju bila Seharto dipilih lagi sebagai presiden dalam SU-MPR 1998), "Carut-Marut Gerakan Kerakyatan", dan "Bebas Hambatan Ideologi Kiri". Penulis melihat bahwa gejala ini sangat wajar, terjadi pula pada hampir semua persma.

 22 Saat ini, penulis sedang membantu seorang mahasiswa post-graduate Departemen Linguistik dari Deakin University, Australia, yang sedang menyusun tesis tentang bahasa jurnalistik persma yang terbit pada sekitar Mei 1998. Sebentar lagi semoga kita bisa melihat hasil analisisnya.

 23 Untuk ini, periksa Parakitri Tahi Simbolon, "Mencari Dataran Berpikir Baru", dalam Prisma, No. 2/Februari 1980. Kata Parakitri, "kolonialisme" merupakan suatu teori kemasyarakatan umum yang pertama yang pernah dilahirkan oleh pribumi Indonesia dengan sikap nonkooperasinya terhadap Belanda. Itulah hasil dialektika pemikiran yang cukup lama di antara angkatan Dr. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno, dkk.

 24 Kasus "perpecahan" dalam tubuh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI—organisasi metamorfosis IWMI, SPMI, dan IPMI), yang dipelopori oleh para pegiat persma Yogyakarta, adalah sesuatu yang sangat wajar dan biasa. Selama ini, terjadi tarik-ulur antara pemikiran realistis dan idealis. Setidak-tidaknya, menurut hemat penulis, kita memang tak mungkin lagi untuk membuat organisasi yang kesibukannya adalah "berkongres untuk berkongres lagi". Lihat Luqman Hakim Arifin, op. cit.

 25 Didik Supriyanto, "Reorientasi Pers Mahasiswa", dalam BALAIRUNG, Edisi 29/Th. XIV/1998. Di antaranya, Didik menilai bahwa kontribusi persma pada gerakan penggulingan Soeharto tidaklah signifikan. Persma juga sudah teralienasi dari komunitasnya sendiri, di samping unsur periodisitasnya sudah terabaikan. Kata Didik, kalaulah persma tetap ingin "omong besar", setidaknya itu dikontekskan dengan komunitasnya. Lantas, Bhayu Mahendra, seorang mantan aktivis Bergerak! (UI), menanggapi tulisan Didik tersebut melalui karangannya yang berjudul "Pers Mahasiswa Era Reformasi" (BALAIRUNG, Edisi 30/Th. XIV/2000). Bhayu justru menganggap persma punya peran yang tidak bisa diabaikan semasa gelombang aksi Reformasi 1998, misalnya lewat media-media aksi temporer seperti Bergerak!, Gugat, dll.—seperti yang sudah saya sebut di muka. Perdebatan wacana reposisi persma ini, bahkan sampai makalah ini ditulis, masih memenuhi ruang-ruang diskusi di markas BALAIRUNG. Paling tidak, penulis di sini berusaha merangkumkan itu semua.

 26 Meski sebenarnya "sistem integral" adalah bahasa yang sangat umum dalam ilmu manajemen, namun kami memiliki sejumlah spesifikasi pemaknaan yang subjektif. Terutama, kami merumuskan turunan konsep sistem integral itu pada masing-masing divisi.

 27 Dalam bahasa kami, lebih-kurang, BALAIRUNG sekarang tidak ubahnya dengan "Prisma yang Tempo" atau "Scientific American yang Time". Jadi, bagaimana cara mengemas "pikiran jurnal" menjadi "majalah berita populer"? Itulah eksperimentasi yang terasa lezat.

 28 Ketika makalah ini ditulis, BALAIRUNG Koran kami hentikan penyiarannya setelah mencapai 13 edisi dalam tiga bulan. Kami sedang melakukan kajian SWOT untuk mereposisinya. Paling tidak, selain untung-rugi finansialnya, kadar efektivitas dan kesiapan manajemen SDM merupakan pertimbangan penting kami. Rekan kami serumah di Bulaksumur B-21, SKM Bulaksumur, menerbitkan newsletter mingguan Bulaksumur Pos yang dibagikan secara gratis (beroplah antara 2000—4000 eksemplar), penulis nilai merupakan suatu pilihan yang tegas untuk kembali kepada community paper—yang merupakah "khittah" pendirian SKM Bulaksumur. Bagi penulis, pilihan tegas semacam ini membuka jalan baru, berikut berbagai kemungkinannya, bagi reposisi persma yang amat penting. Di Yogyakarta, community papers banyak diterbitkan di kampung-kampung, misalnya Angkringan, Karangmalang Pos, dll.

 29 Dalam persiapan perumusan kerja sama pers kampus on-line dengan Detikcom, BALAIRUNG pernah menggelar acar Seminar "Cybermedia: Menuju Pers Kampus On-line", 24 Februari 2000, yang menghadirkan para pemakalah: Budiono Darsono (Detikcom), Didik Supriyanto (AJI), dan Yayan Sopyan (Agrakom).

 30 Sayangnya, kami melihat bahwa Detikcom justru "tidak serius" menggarap ini. Semenjak memorandum of understanding (MoU) ditandatangani bersama antara Detikcom dan persma, 24 Februari 2000, Detikcom masih berutang banyak: launching yang belum dilaksanakan, biaya operasionalisasi bulanan yang macet, dll.

 31 Pedoman Kerja Sama Iklan BALAIRUNG, 1999. Salah satu upaya promosi terakhir kami (untuk BALAIRUNG edisi Spiritual), selain lewat pengiklanan BALAIRUNG di Republika, Kedaulatan Rakyat, dan radio-radio di Yogyakarta, ialah dengan menyelenggarakan acara Lesehan Spiritual di Hotel Natour Garuda, Yogyakarta, 21 Agustus 2000, mengundang pakar meditasi Anand Krishna—yang buku-bukunya (38 judul) dibredel oleh penerbitnya sendiri: Gramedia.

 32 Draf Keputusan Mubes BALAIRUNG, 15 April 1999.