Last up date 18-Nov-2000

Sejarah cetak mencetak . . .

direktori pers mahasiswa Indonesia

Apa PIPMI

Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

 

 

 

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/28/00]

 

Pers Mahasiswa: Persemaian Public Sphere Civil Society
Disampaikan pada acara Seminar Pers Nasional 'Quo Vadis Pers Mahasiswa" dalam rangka Ulang Tahun Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro ke-19 dan pertemuan pertama forum komunikasi pers mahasiswa Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2000 bertempat di Auditorium Undip Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1 Semarang
------------------------------------------------
Oleh. Sunarto, redaktur kanal kampus Detik.Com Jakarta, mantan pemimpin umum MM Balairung UGM
--------------------------------------------------------
Pers mahasiswa, apapun bentuk dan formatnya, hadir dengan muatan nilai‑nilai ideologis terentu. Pada masa pra kemerdekaan, berkala semacam "Jong Java", "Ganeca", "Indonesia Merdeka", "Soeara Indonesia Moeda", "Oesaha Pemoeda", ataupun "Jaar Boek", lahir dengan semangat kental untuk menjadi alat penyebaran ide-ide pembaharuan clan perjuangan akan arti penting kemerdekaan. Demikian haInya dengan pers mahasiswa yang lahir pada masa paska kemerdekaan.


Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (1945­1959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa (nation building). Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya. Hal ini disebabkan pada masa demokrasi terpimpin ini, pemerintah mengharuskan semua media untuk membawa aspirasi politik tertentu. Media bebas tidak mendapat tempat. Banyak pers mahasiswa yang mati akibat kondisi politik demikian ini. Meskipun demikian, pers mahasiswa yang masih hidup bersama-­sama meneguhkan satu sikap untuk tetap menjadi pembawa suara mahasiswa di seluruh Indonesia. Pers mahasiswa bukanlah pers partisan. Bagaimana dengan kondisi pers mahasiswa pada masa Demokrasi Orde Baru (paska 1966)?

Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1971/74, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Artinya, kehidupan mereka benar‑benar tergantung pada kemampuan mereka untuk dibeli oleh masyarakat di luar kampus. Setidaknya hal itu bisa dilihat pada "Mahasiswa Indonesia", "Harian KAMI", ataupun "Mimbar Demokrasi". Periode 1971/74 hingga 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang terbit di luar kampus menjadi pers umum. Sedang pers mahasiswa yang berada di kampus diberi bantuan secara finansial oleh universitas untuk mendukung kehidupannya. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.

Visi pers mahasiswa pada masa demokrasi orde baru ini mengalami keterbelahan. Di satu sisi, mereka yang hidup di luar kampus tetap dengan semangat kontrol sosialnya sebagai idealisme perjuangan mereka. Sementara pers mahasiswa yang hidup di kampus lebih menonjolkan semangat jurnalismenya. Kontrol sosial tidak begitu dominan dalam mendorong eksistensinya. Pers mahasiswa, menjadi apa yang oleh Nugroho Notosusanto disebut sebagai community press sebagaimana hidup di negara‑negara yang sudah maju. Pers mahasiswa hanya untuk melayani komunitas mereka saja, yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Fungsi mahasiswa sebagai pelaksana aksi sosio‑kebudayaan ataupun perjuangan politik sebagaimana telah dilakukan oleh para aktivis "Mahasiswa Indonesia" (dalam Raillon,1989) kini hanya tinggal mitos belaka. Betulkah demikian halnya? Bagaimana dengan pers mahasiswa di masa reformasi sekarang ini?

Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan­-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif. Realitanya, krisis ekonomi telah menghancurkan kehidupan bangsa. Sekarang ini bangsa Indonesia masuk dalam kategori sebagai bangsa pengemis di dunia. Sebuah bangsa yang untuk menopang kehidupannya harus mengandalkan dari belas kasihan bangsa lain, apakah itu melalui,forum IMF, bank dunia, ataupun CGI. Kita makin terpuruk karena krisis ekonomi tersebut diperparah oleh krisis politik dan krisis hukum. Lengkap sudah kehancuran kita sebagai sebuah bangsa. Inikah buah gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa itu?


Setiap perjuangan pasti akan menimbulkan dampak. Pandangan optirnis kita mengatakan, barangkali kondisi demikian ini memang satu fase yang harus kita lalui untuk menuju pada kehidupan sosial yang lebih baik nantinya. Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui "Bergerak", Yogyakarta melalui, "Gugat" ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jumalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet.

Diantara mereka saling berkirim kabar mengenai berbagai aktivitas mahasiswa di kota mereka masing-masing. Visi jurnalistik mereka untuk memberikan liputan yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme tertentu diramu dengan visi idealistik mereka untuk melakukan kontrol sosial telah melahirkan suatu bentuk media perjuangan baru: newsletter perjuangan. Berbeda dengan pamflet yang hanya berisi ajakan provokatif untuk melakukan aksi massa tertentu, media ini selain menampilkan hal‑hal yang bersifat provokatif, juga memunculkan hal‑hal yang bersifat informatif, misalnya agenda aksi.

Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.

Selain sebagai jurnalis, aktivitas mereka dalam pengelolaan pers mahasiswa telah turut memberilkan kontribusi penting bagi tumbuh kembangnya civil society di indonesia. Salah satu konsekuensi yang timbul dari era reformasi ini adalah makin berkembangnya suatu ruang publik(public sphere) bagi munculnya dialog argumentatif nilai‑nilai yang saling bertentangan. Peran strategis pers mahasiswa di masa mendatang ditunjukkan dengan kemampuannya untuk menciptakan wilayah publik yang makin bebas (the free public sphere) dari dominasi negara ini. Sebagaimana ditekankan oleh Habermas (dalam Cohen dan Arato, 1992; Hardiman, 1993), perkembangan civil society sangat ditentukan oleh ‑sampai sejauh mana publik memiliki wilayah yang bebas dari dominasi negara.

Dengan teori tindakan komunikatif‑nya (communicative action) Habermas menyatakan, bahwa dalam komunikasi yang bebas dari dominasi, para partisipan ingin membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya sebagai 'klaim‑klaim kesahihan' (validity claims). Klaim‑klaim inilah ‑kebenaran(truth), ketepatan (rightness), kejujuran (sincerety), dan komprehensibilitas(comprehensibility)‑ yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.

Masyarakat komunikatif sebagai masyarakat ideal yang dicita‑citakan oleh Habermas bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan ' kekerasan', melainkan lewat argumentasi. Pers adalah salah satu lembaga yang bisa mewujudkan keinginan Habermas tersebut, karena melalui pers‑lah kritik bisa dilakukan tanpa kekerasan fisik, tapi melalui argumentasi yang rasional diantara para partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya. Klaim‑klaim kesahihan dalam tindak komunikatif tersebut tercermin dalam kode etik jurnalistilk pers yang di dalamnya berisi berbagai ketentuan profesionalitas yang harus dipatuhi oleh segenap insan pers.

Civil society disini dimaksudkan sebagai wilayah‑wilayah kehidupan sosiai yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain oleh kesukarelaan (voluntaty), keswasembadaan (self‑generating), dan keswadayaan (self‑supporting). kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma‑norma atau nilai‑nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Tocqueville dalam Hikam, 1996). Sebagai sebuah ruang publik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin, berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan‑jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnyai suatu ruang publik yang bebas (the public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.

Melalui pers berbagai lembaga kemasyarakatan (civil society) yang ada, apakah itu LSM, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, ataupun berbagai kelompok kepentingan lain yang ada di masyarakat bisa melakukan dialog ideologis secara konstruktif dan bebas dari dominasi negara (penguasa). Apabila dialog ideologis konstruktif tanpa perilaku represif dari penguasa bisa berjalan dengan baik melalui pers, kemungkinan tumbuhnya civil society yang diharapkan bisa menjadi motor penggerak demokrasi dalam sistem sosial kemasyarakatan kita, bukan lagi utopi.

Sebagai salah satu bentuk khusus dari lembaga pers, pers mahasiswa juga mempunyai peluang besar untuk membantu terciptanya suatu ruang publik yang bebas bagi terjadinya dialog idiologis diantara berbagai kepentingan politis yang ada di lingkungan mahasiswa sendiri. Mengapa tidak? Dengan kebebasan yang dimilikinya, pers mahasiswa bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi sosiologis ataupun ideologisnya. Hal ini disebabkan pers mahasiswa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai‑nilai tertentu di masyarakatnya. Hal itu tampak dari fungsi yang dijalankannya, yaitu sebagai alat untuk pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan bagian-­bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), transmisi warisan sosial (transmission of the social heritage), dan hiburan (entertainment) (De Fleur dan Dennis, 1985:157; Shoemaker dan Reese, 1991: 24‑25). Dalam konteks Indonesia, semua jenis pers diharapkan menjalankan fungsi sebagai media untuk informasi, hiburan, pendidikan, meyakinkan, dan kontrol sosial (Assegaff, 1985; Mappatoto, 1992).

Diantara berbagai fungsi ini, fungsi pengawasan (kontrol sosial) dan transmisi (sosialisasi dan edukasi) merupakan fungsi yang mempunyai posisi strategis dan menunjukkan kekuatan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya (masyarakat). Hal ini disebabkan melalui fungsi pengawasan, media dapat melakukan kritik terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi di masyarakat, apakah itu dilakukan oleh penguasa maupun oleh rakyat biasa. Sedang melalui fungsi transmisi ini media dapat mewariskan suatu norma‑norma ataupun nilai‑nilai tertentu pada masyarakat. Konsekuensi dari kedua fungsi tersebut, menjadikan media massa bisa menjalankan suatu peran ideologis tertentu dengan menampilkan nilai‑nilai dominan tertentu sehingga menjadi nilai yang hegemonik dan menjadi tuntunan perilaku anggota masyarakat yang ada.

Menurut Lull (1998), penyajian berulang‑ulang domain ideologi yang didukung secara fanatik terus‑menerus mendefinisikan atau "menunjukkan" budaya, khususnya untuk orang­-orang yang amat terekspos dengan media. Karena media sering menginterpretasikan dan mensintesiskan citra‑citra sesuai dengan asumsi‑asumsi dari ideologi dominan, maka media amat mempengaruhi cara orang memahami ciri masyarakat mereka, bahkan yang paling dasar sekalipun. Hal ini mencakup tingkat kekerasan masyarakat, komposisi dan peranan rasial dan gender, harapan‑harapan sehubungan dengan pekerjaan, dan alternatif‑altematif politik.

Peran ideologis yang dijalankan oleh media tersebut ditunjukkan dengan kernampuannya untuk menjadi pembentuk agenda masyarakat sebagaimana ditunjukkan dalam teori agenda setting media (McQuail dan Windahl, 1984; Liftlejohn, 1996; Severein dan Tankard, 1997). Dalarn era reformasi peran ideologis untuk menentukan agenda publik ini menjadi sangat terasa keampuhannya. Dengan kemampuannya sebagai gate keeperpers mahasiswa bisa menciptakan agenda media (media agenda) yang nanti akan mempengaruhi agenda publik (public agenda) dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi agenda kebijakan (policy agenda).

Pengaruh yang ditimbulkan oleh media melalui kemampuanya menciptakan agenda publik dan agenda kebijakan ini bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu representasi (publik bisa menciptakan pengaruh tertentu pada media), persistensi (pemeliharaan agenda yang sama oleh publik). Relasi kekuasaan antara media dengan sumbernya bisa berwujud dalam bentuk perimbangan kekuatan diantara keduanya. Apabila diantara media dengan sumbernya sama-sama mempunyai kekuatan yang besar, akan terjadi perjuangan untuk saling berebut pengaruh. Hal ini terjadi apabila diantara keduanya tidak terjadi kesesuaian ideologi tertentu. Namun apabila mereka mempunyai kesamaan ideologi, pengaruh keduanya akan sangat besar pada publik. Pengaruh yang sama tidak akan ditemui apabila kekuatan antara media dengan sumbernya tidak berimbang, misal salah satu pihak lebih dominan atau keduanya sama-sama dominan. Dalam kasus terakhir, pengaruh publik lah yang akan terasa.

Keberhasilan pers mahasiswa dalam membantu menumbuhkembangkan civil society di Indonesia akan dapat berhasil dengan baik apabila ia mampu menampilkan dirinya sebagai pers mahasiswa yang benar-benar mampu memenuhi validitas kesahihannya  Habermas . Artinya pers mahasiswa harus mampu tampil secara profesional sebagaimana pers umum. Tanpa profesionalitas itu, pers mahasiswa memang hanya akan menjadi laboratorium jurnalistik belaka.


iklan layanan ini dipersembahkan oleh PIPMI dalam rangka mewujudkan pers mahasiswa Indonesia yang tidak sekedar mencaci-maki