Last up date 18-Nov-2000

Sejarah cetak mencetak . . .

direktori pers mahasiswa Indonesia

Apa PIPMI

Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

 

 

 

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/28/00]

 

"Strategi Manajemen Bisnis Media Cetak Menghadapi Persaingan Bebas"
makalah untuk disampaikan pada Pendidikan Jumalistik Mahasiswa Tingkat Pengelola se‑Indonesia di Universitas Lampung, Bandarlampung, tanggal 18 November 2000

Oleh A. Margana, AM/KONTAN

I. Overview Bisnis Media Cetak:
Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto menghasilkan ledakan dalam bisnis media massa, termasuk media cetak. Berbagai bentuk kekangan bagi bisnis ini dilepaskan. Pemerintah mencabut ketentuan SIUP(surat izin usaha penerbitan). Siapa­pun bisa leluasa terjun ke industri pers ini. Ratusan surat kabar, majalah, tabloid dengan gampang diterbitkan. Saat ini ada ratusan atau ribuan surat kabar baru yang terbit dalam berbagai bentuk. Untuk itu, topik bahasan ini akan menyoroti perkembangan bisnis media cetak, baik yang berkaitan dengan tiras maupun iklan, serta strategi redaksi dalam menerobos pasar sebagai titik tolak untuk menganalisis dan membahas strategi manajemen bisnis pers menghadapi persaingan keras dan berbagai langkah untuk mencari peluang agar bisnis media cetak ini bisa bertahan hidup dan untung.

Perkembangan tiras media cetak:

Untuk mengetahui perkembangan media cetak dari tahun ke tahun, bisa dilihat untuk kurun waktu dari 1995. Ini perlu untuk membandingkan keadaan sebelum reformasi dan keadaan kemudian setelah reformasi. Jumlah surat kabar harian pada tahun 1998 sebanyak 172 buah. Ini pun merupakan kenaikan besar dari 1995 (77 buah), menjadi 79 buah di tahun 1997. Sementara surat kabar mingguan tercatat tahun 1998 sebanyak 425 buah, majalah mingguan 55 buah dan majalah tengah bulanan 104 buah. Berdasarkan wilayah, media cetak yang terbit di Jakarta tahun 1998 sebesar 431 buah (lihat Tabel 1 dan 2 tentang perkembangan media massa).

Ledakan bisnis media cetak itu juga mempengaruhi perkembangan total tiras di Indonesia (data tercatat sejak 1995). Total tiras per 1995 sebesar 13,04 juta eksemplar, dan tahun 1998 mencapai 16,70 juta eksemplar. Rincian tiras koran, majalah, tabloid, dll bisa dilihat di tabel 3. Pertumbuhan pesat ini tentu tak lepas dari keinginan investor untuk mencoba berbisnis di dunia pers, mengharap bisa memetik untung baik secara finansial maupun keuntungan lain di dunia bisnis informasi ini. Gegap gempitanya bisnis media cetak itu juga dirasakan di daerah. Apalagi sejumlah media cetak sudah melakukan sistem cetak jarak jauh (SCJJ). Koran berskala nasional dikemas dengan tambahan halaman. daerah. Selain itu, banyak perkembangan baru dalam manajemen dan bisnis media cetak di daerah sehingga mendorong oplah dan perolehan iklan untuk media di daerah. Dan ini kiranya akan menjadi awal yang baik karena nanti, kalau otonomi daerah dilaksanakan, perkembangan bisnis pers tersebut pasti akan menjadi modal yang sangat menguntungkan. Tak sedikit media cetak daerah yang tampil meyakinkan dengan tiras yang lumayan dan pendapatan iklan memadai. Ambil contoh perkembangan tirasnya di Sumatera Selatan. Tahun 1998 sebesar 225,3 ribu eksemplar, meningkat dari 97,3 ribu di tahun 1995 (Iihat Tabel 4: perkembangan tiras media cetak menurut daerah dan Tabel 5: Perkembangan tiras beberapa media massa cetak di Indonesia.).


Perkembangan perolehan iklan

Selain mengembangkan jumlah oplah yang dicetak dan dijual, bisnis media cetak juga ditopang oleh penghasilan dari iklan. Krisis ekonomi rupanya telah membuat bisnis periklanan merosot. Kue iklan Indonesia selama masa krisis ekonomi menyusut hingga 50%. Bahkan, menurut perhitungan P31, belanja iklan nasional turun sampai 70%.

Belanja iklan tahun 1995 sebesar Rp 3,4 triliun, tahun 1996 menjadi Rp 4,14 triliun, dan 1997 menjadi Rp 5,09 triliun atau naik 23,04% dibanding 1996. Tahun 1999, belanja iklan sekitar 4,67 triliun atau naik 23,04% dari tahun 1998 sebesar Rp 3,76 triliun. Penurunan sangat besar terjadi dari 1997 ke 1998 dan 1999. Berapa iklan yang diserap media cetak? Koran pada 1998 menyedot 25% atau Rp 956 miliar, majalah Rp 191 miliar, dan di tahun 1999 sekitar Rp 201 miliar. (Lihat tabel 6: Pendapatan iklan menurut media).

Persaingan memperebutkan kue iklan yang begitu ketat membuat sejumlah media cetak kalah perang dan tak mendapat bagian iklan. Selain persaingan antar media cetak sendiri, kelompok media cetak juga mendapat pukulan berat dari televisi swasta yang menyedot sekitar 60,4% kue iklan pada 1999. Tahun‑tahun sebelumnya, televisi merebut jatah iklan lebih dari 50%. Selain itu, juga ada saingan yang tak kalah menarik yakni radio swasta. Mereka juga agresif dalam upaya menyedot iklan (Lihat Tabel 7: Perkembangan pendapatan iklan menurut media). Bagaimana proyeksi tahun 2000 ini? Belanja iklan di surat kabar tahun 1999 sekitar Rp 1.089 miliar, yang akan meningkat menjadi Rp 1.292 miliar tahun 2000, dan hingga 2002 diperkirakan mencapai Rp 1.614 miliar. Sedang belanja iklan untuk jenis majalah tahun 1999 diperkirakan akan mencapai Rp 233 miliar, dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 284 miliar tahun 2000 dan hingga 2002 diperkirakan mencapai Rp 423 miliar. Selain persaingan ketat antar media cetak, duit iklan ini juga diperebutkan oleh televisi (yang tahun ini paling tidak akan tambah dua atau tiga televisi lagi).

II. Strategi Manajemen Bisnis Media Massa Menghadapi Persaingan Bebas.
Di tengah persaingan yang ketat dan keras itu, setiap pengelola bisnis media massa mesti mengatur strategi dan taktik yang jitu agar tetap memenangkan persaingan atau memetik untung dari ramainya bisnis media massa itu, dan bisa bertahan hidup. Ada beberapa hal perlu diperhatikan, sebelum membuka bisnis media cetak.
1.      Modal
2.      Sumber daya manusia
3.      Visi dan Misi
4.      Memilih segmen yang jelas.
Modal diperlukan baik untuk investasi maupun biaya operasi dan produksi sampai perusahaan itu membuahkan untung atau balik modal. Setelah untung pun, perusahaan masih perlu mencadangkan dana untuk re‑investasi atau pengembangan. Selain itu juga diperlukan investasi fisik lainnya seperti peralatan, teknologi, dan faktor‑faktor penunjang lainnya seperti percetakan, gedung, angkutan dan lain‑lain.

Sumber daya manusia (SDM) adalah tenaga inti kewartawanan dan manajemen yang akan menjadi motor utama bisnis media cetak itu. Untuk melahirkan produk media cetak yang bagus, harus disiapkan SDM yang bagus pula, tentu dengan imbalan yang memadai. Kalau wartawan dan karyawan tak digaji dengan cukup, jangan harap produk yang dihasilkan akan baik, laku dan mampu mengalahkan saingannya. Selain itu, SDM yang tak digaji dengan cukup akan cenderung terjebak "mencari penghasilan" dengan memperjualbelikan profesi, terlibat pemerasan, kriminal, main amplop, dan lain‑lain. Investor sejak mula harus didesak untuk memenuhi kebutuhan pokok wartawan dan karyawannya yakni gaji dan berbagai tunjangan. SDM yang tak memiliki integritas tak mungkin akan menghasilkan produk yang kredibel, baik bagi pelanggan maupun pemasang iklan. Independensi dalam editorial policy akan memberikan arah yang fair untuk content media cetak itu, dan membuat produk semakin kredibel.

Visi dan misi dirumuskan sebagai acuan berbagai langkah bisnis media cetak itu. Kejelasan ini akan menentukan desain, gaya penyajian, isi, cara kerja karyawan, struktur organisasi, gaya manajemen dan lain‑lain. Misi dan visi bukan cuma dirumuskan sebagai kata‑kata mutiara tapi diterapkan dan akan menjiwai gaya penyajian redaksi, sikap SDM, etika dalam bisnis, sistem penggajian, dll. Dengan misi dan visi itu, semua pihak memaklumi apa target dan arah dari bisnis media informasi itu.

Memilih segmen konsumen dengan jelas menjadi penting agar mendapatkan konsumen yang jelas dan tepat sasaran. Tanpa pemilihan segmen yang jelas, produk akan mengambang dan tak jelas arah. Dalam persaingan yang ketat seperti sekarang ini, pemilihan segmen menjadi penting karena akan menjadi acuan untuk spesialisasi, menentukan strategi pemasaran dan promosi, penetapan positioning, dll. Segmen juga bermacam‑macam. Bisa segmen berdasarka demografik, profesi, minat, maupun motivasi (benefit segmented) yakni mereka yang mengharapkan keuntungan dari produk yang dibelinya. Mereka memiliki kepentingan bersama yakni mendapatkan manfaat.
Strategi apa yang perlu dipertimbangkan untuk menghadapi persaingan?

a). Strategi Pemasaran:
Tugas memasarkan produk bukan cuma menjadi tanggungjawab bagian sirkulasi atau iklan. Dalam bisnis informasi seperti yang sekarang ini, produk sendiri harus dirancang agar laku dijual. Sebelum produk diluncurkan, pengelola mesti memikirkan siapa yang menjadi sasaran konsumennya (kelas menengah, pengusaha, mahasiswa, petani, dan lain­lain). Tentu, sasaran yang dipilih adalah mereka yang mempunyai daya beli dan kebutuhan untuk mendapat informasi.

Segenap lapisan di perusahaan harus siap memasarkan produknya. Mulai dari redaksi, personalia, satpam, sampai sales dan account executif. Tentu, "semangat menjual" ini harus sesuai dengan peran masing‑masing. Personalia. harus mengarahkan segenap karyawan untuk siap sedia melayani konsumen sesuai dengan perannya, misaInya menjawab telepon dengan baik atau menunjang pelaksanaan penjualan. Satpam harus bersikap ramah kepada setiap pelanggan atau konsumen yang datang. Bukan berlaku seperti provost di suatu instansi militer. Redaksi senantiasa berpikir untuk bisa menjual produknya pada saat merancang berita yang akan ditulisnya. Berita adalah informasi yang harus dijual kepada masyarakat, bukan sekadar karya yang dipakai untuk memuaskan diri. Sense of marketing yang mesti dimiliki oleh semua lapisan dalam suatu bisnis media cetak akan membantu penjualan produk.

b). Bagaimana Menghadapi Persaingan?

  1. Fair competition
  2. Membangun jaringan (networking) dalam pemasaran
  3. Memelihara pelanggan dengan ikatan yang lebih personal untuk lebih memberikan kepuasan pelanggan.
  4. Mengembangkan pasar baru pada segmennya
  5. Melakukan promosi baik untuk memperkokoh image maupun untuk mendukung sales
  6. Mempertahankan kredibilitas di depan konsumen (pembaca maupun pernasang iklan).
  7. Mengembangkan produk‑produk sampingan untuk menambah penghasilan.

Banyak masalah yang mesti dihadapi dalam urusan masuk ke pasar media cetak. Sebab, penerbit harus mengkoordinasikan jaringan agen dan pengecer yang begitu kuat posisi tawarnya. Tak jarang penerbit justru ditekan dan ditentukan oleh agen tersebut. Untuk produk baru atau media cetak yang baru terbit, sering tak bisa dijual karena perlakuan jaringan agen yang begitu kuat. Bagaimana penerbit mesti menghadapi agen dan jaringannya?

c). Bagaimana dengan usaha nonpenerbitan?
Beberapa penerbit yang sudah kuat dalam bisnis, bukan cuma mengembangkan usaha di bidang media cetak. Ada pula yang mengembangkan usaha di luar penerbitan seperti hotel, seminar, perkebunan, transportasi, dan lain‑lain. Namun usaha di luar penerbitan ini bisa. digolongkan menjadi dua kelompok:

1.    Masih berkaitan dengan core bisnisnya atau ada kaitan dengan kompetensinya dalam bisnis media cetak atau bisnis informasi. Misalnya radio, penerbitan buku, biro Man, seminar, percetakan, cybermedia, dll.

2.    Penunjang bisnis utamanya: seminar, biro iklan, angkutan, telekomunikasi, pabriK kertas, dll.

3.    Tak berkaitan dengan bisnis utama seperti perkebunan, perikanan, industri baja, hotel,      restoran, real estate, dan lain‑lain. Yang ini, bisa berkembang kalau pengusaha atau      kelompok usaha itu memang memiliki kompetensi di berbagai bidang usaha di luar bisnis media massa itu.

Jadi, dalam menghadapi persaingan yang keras dan ketat dalam bisnis informasi itu, perlu kejelian, kelihaian, keuletan, kejujuran dan kemampuan (kompetensi) dalam bisnis media cetak (informasi) itu. Kalau tak mampu bersaing, dengan modal sebesar apa pun akan ludes. Bisnis media cetak, adalah binsis kepercayaan. Kalau tak berhasil merebut kepercayaan masyarakat (pembaca dan pemasang iklan), niscaya bisnis itu akan segera tenggelam. Selain itu, bisnis media cetak juga harus disadari bahwa keuntungungannya tak begitu besar dan sangat padat karya. Mulai dari tenaga redaksi, sampai pengecer. Artinya, kalau mau bisnis di sektor ini, tak cukup dengan hitung‑hitungan bisnis semata. Idealisme masih diperlukan, yakni menyebarluaskan informasi untuk membuat setiap orang lebih memahami kebenaran dan menjadi lebih cerdas untuk bisa hidup lebih demokratis dengan sesama. Bahwa dari sini kemudian mendapat keuntungan, itu adalah nikmat yang mesti disyukuri.

Tanjungkarang, 17 November 2000


iklan layanan ini dipersembahkan oleh PIPMI dalam rangka mewujudkan pers mahasiswa Indonesia yang tidak sekedar mencaci-maki