Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI

Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/17/00]

 

Studi Pers Indonesia Kontemporer
Ignatius Haryanto

Alumnus FISIP UI, Mahasiswa Ekstensi STF Driyarkara

STUDI atas pers Indonesia boleh dikata masih sedikit. Untuk melihat faktanya, tidak pasti setahun sekali ada satu terbitan yang mengupas secara serius tentang Pers Indonesia. Yang lebih sering muncul merupakan kumpulan tulisan tentang pers atau biografi seorang jurnalis Indonesia. Menyebut yang paling akhir sekali, boleh disebut nama David T. Hill (1994), atau sebelumnya ada Harsono Suwardi (1993), Bambang Sadono (1993), Daniel Dhakidae (1991) -(tidak/belum? dipublikasikan); Francois Raillon (1985); Amir Effendi Siregar (1983), Edward C. Smith (1983) Oey Hong Lee (1971). Dan tak dapat dilupakan lupa karya Tribuana Said (1988) yang mengisi kekosongan literatur tentang sejarah pers Indonesia, sementara karya Ahmat Adam (1984 & 1993) belum banyak bisa diakses publik. Semua yang terbit di atas banyak memberikan tekanan pada perkembangan pers Indonesia setelah kemerdekaan 1945. Kecuali Edward Smith, Ahmat Adam dan Oey Hong Lee, seluruhnya memfokuskan diri pada periode pers Indonesia pada masa Orde Baru.

Apakah arti penting studi atas diri pers Indonesia ini?Berefleksi Menilai Diri Studi yang dilangsungkan pada obyek studi apa pun tak ada korelasi langsung dengan perkembangan obyeknya itu sendiri. Penelaahan masuk ke masalah obyek lewat seperangkat metodologi, tidak dengan sendirinya menggeser arti ontologis obyek tersebut, yang dalam hal ini ada pers Indonesia. Tetapi ini tidak mengurangi arti penting perlunya suatu kajian atas diri pers Indonesia. Studi selain sebagai suatu cara pandang melihat masalah, bisa juga jadi bahan refleksi mendalam bagi obyek tersebut.

Sadar tak sadar, media adalah pembuat realitas ke hadapan pemirsanya. Ialah yang mengkreasi simbol-simbol, atau membahasakan realitas yang ditangkapnya dan menuangkannya dalam rangkaian berita dan bahasa foto. Sadar atau tidak hal ini menghasilkan suatu ideologi tertentu di dalam produksi teks-teksnya. Thamrin Amal Tomagola (1990) misalnya membedah ideologi dari majalah wanita dan memerinci diskursus yang berlangsung di dalamnya. Studi terhadap diri pers ini, adalah suatu kritik intern ataupun ekstern atas kehadiran lembaga pers di tengah masyarakat, yang juga bersinggungan dengan hal kekuasaan, dalam pengertian yang luas. Dengan merunut sejumlah karya yang telah disebutkan di atas, rasanya masih bisa dilihat banyak lubang-lubang jika kita ingin merekonstruksi kisah tentang pers Indonesia ini. Dan sayang sekali misalnya, karya almarhum Abdurrachman Surjomihardjo dan kawan-kawan, tak sempat berbuah lebih banyak, karena karya asalnya sendiri kini tak dapat diakses publik untuk suatu alasan politis di masa lalu (awal 80-an) Padahal karya yang berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Indonesia (kerja sama LIPI dan Deppen) belumlah tuntas dalam memetakan sejarah pers Indonesia, atau dahulu bisa disebut sebagai Pers Hindia Belanda. Dan masih banyak pekerjaan rumah sebenarnya, yang ditinggalkan oleh buku tersebut. Misalnya saja sejauh ini tak banyak orang menuliskan studi tentang pers daerah, atau pers di Indonesia Timur.

Atau meminjam sebutan David Hill, banyak pers pinggiran (Marginal Presses) saat ini, yang sering luput dari perhatian pemerhati studi pers Indonesia, yaitu publikasi khusus atau pers STT, Pers Mahasiswa, Pers Lokal Berbahasa Indonesia, Pers Lokal Berbahasa Daerah, Pers Islam, Pers Berbahasa Inggris, dan Pers Berbahasa Tionghoa. Bibliografi tentang Pers Indonesia pun saat ini hanya diwakili oleh dua karya, yaitu Mastini Hardjoprakoso (1978, serial Asian Mass Communication Research and Information Centre) dan Evert-Jan Hoogerwerf (1990 dalam proyek KITLV). Penyusunan koleksi surat kabar di dalam negeri hanya diwakili oleh karya Mastini Hardjoprakoso (1984)."HB Jassin" untuk Pers Beruntunglah dunia sastra yang memiliki seorang HB Jassin dan kini karyanya sudah melembaga sebagai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Apakah ada yang punya perhatian serupa untuk dunia pers, dan membangun suatu lembaga yang serius untuk itu? Mengutipkan pendapat HB Jassin sendiri (Pamusuk Eneste, 1987), "Bagi saya pekerjaan dokumentasi ini telah memberikan semangat dan kegembiraan karena telah membuahkan hasil-hasil studi berupa pembicaraan dan kritik sastra, antologi dan kompilasi..." Dan selanjutnya ia menambahkan,

"Dengan adanya dokumentasi kita menjadi kenal masalah-masalah, kita juga menjadi kenal sejarah, latar belakang dan para pengarang sastra. Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam dan memperluasnya." Dengan memperhatikan segala kritik yang ditujukan kepada Jassin, serta dengan mempertimbangkan distingsi dunia sastra dan pers, maka hendak dikatakan di sini bahwa dokumentasi untuk pers adalah mutlak, dan untuk itu perlu ada suatu lembaga khusus yang menangani hal itu. Dan dari situ bisa dimulai suatu studi yang serius atas diri pers Indonesia. Persoalan pers Indonesia pun tak semata soal teks-teksnya, soal kode etik, efek pemberitaan, kaitan dengan pembangunan, tapi juga dapat meluas dalam pandangan relasinya dengan kelembagaan ataupun bidang lain dalam hidup manusia ini. Satu yang telah disebut di depan misalnya, bagaimana media massa membentuk realitas yang akhirnya ditangkap oleh pemirsanya. Hal lain yang juga menarik untuk dikaji adalah meninjau ulang paradigma pembangunan yang sekarang ini dominan dalam pers. Perubahan paradigma pembangunan yang ada sekarang, serta juga bagaimana media merefleksikan fakta di lapangan yang bisa mendukung atau menolak paradigma dominan tersebut (Everett Rogers ed, 1985).

Yang tak kurang disentuh oleh banyak orang adalah biografi kritis dari sejumlah tokoh pers masa kini. Orang-orang seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, A. Azia, BM Diah, SK Trimurti, Ani Loebis, Herawati Diah, dan terakhir Toeti Azis, telah dibuatkan biografi atas diri mereka masing-masing. Tetapi semuanya masih merupakan kisah para jurnalis dalam periode pers masa revolusi kemerdekaan, dan dengan demikian kental juga dunia politik atas diri mereka masing-masing. Namun tepat itu yang ditunjuk oleh Daniel Dhakidae (1991), bahwa saat ini sudah selesai jurnalisme politik, dan selamat datang industri jurnalisme. Hal ini belum tercerminkan dalam biografi dari sejumlah "jurnalis masa kini". Kemajuan-kemajuan pers yang terjadi saat ini, berikut juga dengan kemundurannya hanya akan terlihat ketika pendokumentasian kita cukup lengkap untuk itu. Dan itu misalnya bisa dipakai untuk menilai bagaimana penanganan kekuasaan terhadap diri pers masa kini. Dengan demikian studi yang serius untuk soal pers Indonesia adalah suatu agenda yang terlupa saat kini. Padahal kritik ke dalam, refleksi diri, sambil mencatatkan pertumbuhan dan perkembangan pers masa kini akan menghasilkan manfaat bagi banyak orang karenanya. Jangan-jangan kita kembali lompat terlalu jauh dalam media habbit ini, melompat ke media elektronik dan asyik bergumul di sana, dan lupa bahwa media cetak punya agenda banyak yang belum tuntas dipermasalahkan.