Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/18/00]

 

Tayangan Televisi Realitas Media atau Realitas Sosial?
Oleh Akhmad Zaini Abar

PADA satu kesempatan, Ashadi Siregar, seorang pakar komunikasi, mencoba mengklasifikasikan tiga jenis realitas yang biasanya ditampilkan media massa. Pertama, realitas tontonan atau permainan. Realitas jenis ini adalah bentuk kenyataan sosial hasil rekayasa manusia untuk tujuan tertentu, baik yang sifatnya hiburan maupun pencapaian prestasi atau unjuk kreativitas. Dengan demikian, manusia (subyek) yang terlibat, lokasi dan waktu kejadiannya dapat direncanakan, dijadwal dan diatur sebelum peristiwanya berlangsung. Hal ini tentu saja amat memudahkan wartawan dalam mengantisipasi kejadian yang akan berlangsung jauh hari sebelumnya. Contoh realitas tontonan atau permainan misalnya pertandingan-pertandingan dalam olahraga, pameran, panggung-panggung teater atau drama, musik, komedi.

Kedua, realitas artifisial. Realitas jenis ini adalah suatu kenyataan semu, yakni berupa ritual-ritual sosial, politik, birokrasi serta keagamaan. Realitas jenis ini juga merupakan kenyataan hasil rekayasa manusia untuk tujuan-tujuan pengkultusan aktivitas-aktivitas simbolis, mulai dari upacara-upacara kenegaraan, keagamaan, sampai pada upacara peresmian proyek pembangunan melalui pidato dan pemotongan pita, dialog pejabat dengan penduduk desa dan lain-lain.

Ketiga, realitas interaksi sosial. Realitas jenis ini adalah realitas sosiologis, fakta sosial empirik atau kejadian-kejadian yang benar-benar berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Contoh dari realitas jenis ini banyak sekali dan bervariasi. Misalnya, penderitaan petani dan penduduk desa akibat kekeringan atau sebaliknya kebanjiran, masalah meningkatnya tindak kejahatan perkosaan, protes petani terhadap perusahaan perkebunan yang sewenang-wenang memaksa tanah mereka ditanami tembakau, problematik kemiskinan di perkotaan dan di perdesaan, konflik-konflik kepartaian dan elite, harga-harga barang naik, kredit macet di dunia perbankan nasional, utang luar negeri yang membengkak, perang, dan lain-lain.
                                ***

DARI tiga jenis realitas seperti yang diklasifikasikan Ashadi Siregar ini, jenis manakah yang paling dominan dan menonjol pada tayangan televisi nasional saat ini? Pertanyaan ini amat penting diajukan apabila kita ingin melihat secara kritis orientasi siaran televisi nasional yang semakin marak belakangan ini.

Tanpa harus melakukan penelitian empiris yang seksama, jika kita sering menonton tayangan berbagai stasiun televisi di negeri ini, baik televisi swasta (RCTI, TPI, SCTV, AN-teve, dan Indosiar) maupun televisi pemerintah (TVRI), maka dengan mudah kita dapat mengetahui realitas jenis mana yang sering ditayangkan, ditonjolkan atau diunggulkan televisi nasional.

Jenis realitas yang paling sering ditayangkan oleh televisi nasional adalah realitas tontonan dan permainan. Sepanjang pagi hingga malam hari, khalayak penonton televisi akan lebih sering menyaksikan acara-acara seperti ini, mulai dari tayangan sinetron, film, musik, komedi, pertandingan olahraga (sepak bola, bola basket, tenis, balap motor-mobil), kuis, dan lain-lain.

Jenis realitas ini bagi kebanyakan televisi, khususnya televisi swasta, menjadi tayangan unggulan dan memperoleh rating yang tinggi, di mana iklan banyak menghiasi tayangan ini.

Sementara itu, untuk TVRI stasiun televisi milik pemerintah, tayangan realitas artifisial cenderung lebih menonjol dibandingkan yang lainnya. Hal ini nampak sekali dari siaran beritanya, baik berita daerah maupun nasional. Berita-berita TVRI ini lebih merupakan program penayangan acara-acara ritual kaum birokrat, pidato-pidato mereka, serta berbagai kegiatan sosial politik mereka.

Selain siaran berita, ada beberapa program siaran-siaran tambahan lainnya di TVRI yang menayangkan realitas artifisial ini, misalnya sejumlah feature pembangunan, siaran-siaran khusus kunjungan pejabat ke luar negeri atau dalam negeri (ke berbagai daerah), temu wicara pejabat dengan para kader desa, siaran langsung upacara-upacara kenegaraan dan keagamaan, peresmian berbagai proyek pembangunan, dan lain-lain yang sejenisnya.

Tayangan ini merupakan konsekuensi logis dari posisi TVRI sendiri sebagai media milik pemerintah yang berfungsi propagandis dan meneguhkan peran pemerintah. Oleh karena itu ukuran news value bagi TVRI lebih berdasarkan parameter birokratis daripada jurnalistik.

Realitas interaksi sosial adalah jenis realitas yang paling sedikit muncul di televisi nasional. Tayangan realitas interaksi sosial ini biasanya muncul melalui siaran berita maupun feature-feature dan laporan mendalam di televisi swasta. Untuk TVRI, realitas jenis ini banyak muncul pada siaran berita luar negeri (Dunia Dalam Berita) TVRI yang konon hampir semuanya diperoleh dari kantor berita asing.

                                ***
APA makna dari kecenderungan yang demikian di mana realitas tontonan dan permainan menjadi tayangan yang dominan dan unggulan di televisi nasional?

Menurut saya, televisi --secara sengaja atau tidak sengaja-- menjauhkan khalayak penonton dari realitas sosial empirik, kejadian-kejadian yang berlangsung setiap hari di sekitar mereka. Televisi lebih banyak mengajak khalayak penonton memasuki dunia semu dan fantasi (tayangan fiktif melalui film dan sinetron), dunia glamour (tayangan kemewahan dan konsumtif), dan dunia hiburan dan gelak tawa.

Dengan perkataan lain, televisi cenderung menjadi media di mana masyarakat teralienasi dari kenyataan sosial.

Lebih jauh lagi, televisi justru menciptakan apa yang oleh kaum postmodern disebut sebagai realitas media, yakni realitas tayangan televisi. Lalu penonton dibius sedemikian rupa sehingga merasa bahwa apa yang ditayangkan oleh televisi adalah kenyataan yang sesungguhnya atau setidak-tidaknya kenyataan yang akan atau harus terjadi. Dengan kata lain, realitas media dianggap atau diharapkan menjadi realitas sosial empiris.

Kecenderungan demikian melahirkan sejumlah implikasi yang destruktif dalam masyarakat. Implikasi sosiologis dari kecenderungan demikian adalah, semakin menipisnya rasa solidaritas sosial dalam masyarakat.

Tayangan televisi tidak membentuk keprihatinan sosial atas berbagai fakta sosial, seperti kesenjangan ekonomi, penggusuran, pelanggaran hak asasi, meningkatnya kriminalitas, dan sadisme dalam masyarakat. Sebaliknya, fakta-fakta sosial ini justru menjadi terlupakan atau dilupakan dengan tayangan fiktif dan glamouris serta tayangan yang penuh suka cita dan galak tawa.

Implikasi politis dari kecenderungan demikian adalah, daya kritis masyarakat terhadap realitas sosial cenderung tumpul. Hal ini akan membuat tumbuhnya masyarakat yang antipati terhadap problem-problem kemasyarakatan yang lebih luas. Dan gerakan-gerakan ke arah demokratisasi dalam hal ini, terkendala di tingkat kognisi masyarakat sendiri.

Implikasi kulturalnya adalah, masyarakat menjadi konsumen kebudayaan media, yakni budaya populer yang menunjang industrialisme dan kapitalisme yang diproduksi secara massal oleh media massa. Sementara kultur non-media, baik kebudayaan tradisional maupun kontemporer yang merupakan respon utuh manusia atas dinamik kehidupan mereka secara empiris tertinggal jauh oleh kebudayaan media.

Berdasarkan sejumlah implikasi inilah kita mengharapkan televisi agar memberikan porsi yang seimbang dalam tayangannya antara realitas tontonan dengan realitas sosiologis.

Realitas sosiologis tetap relevan secara ekonomis seandainya perhitungan komersial selalu dijaga ketat untuk setiap jenis tayangan televisi. Kita lihat misalnya tayangan Seputar Indonesia milik RCTI adalah tayangan yang cukup sukses secara ekonomi, di mana item commercial break-nya lebih banyak dibanding item beritanya.

Pertanyaan yang patut diajukan juga adalah, apakah tayangan realitas sosiologis ini relevan dalam sistem politik sekarang ini? Dari perspektif pemberdayaan masyarakat tentu saja jawabnya: ya. Tetapi dari sisi konservasi kekuasaan tentunya jawabannya: tidak relevan. Sebab, tayangan realitas sosiologis televisi, selain dapat menjadi sarana kontrol sosial, ia juga menjadi wahana transparansi perilaku kekuasaan yang menyimpang.***

* Akhmad Zaini Abar, pengamat media massa, bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya.

Minggu, 6 Juni 1999

Belajar jurnalisme bukanlah sekedar mengenali konsep kelayakan berita, atau semata-mata menulis dalam kaidah teknis dari realitas sosial menjadi informasi jurnalisme. Apalagi anggapan behwa cukup dengan latihan singkat untuk menulis dengan prinsip 5W+1H, sungguh meremehkan ranah jurnalisme. Permasahan yang mendasar sebenarnya adalah mengenali realitas sosial, bukan sekedar menuliskan catatan fakta. Proses awalnya adalah melihat fakta dari realitas sosial untuk kemudian menuliskannya. Dari sinilah titik intelektualisme itu beranjak.

Pertanyaan yang seharusnya selalu menyertai seorang jurnalis adalah apakah realitas sosial yang dihadapinya memang benar ada secara empiris dalam masyarakat? Untuk itu seorang jurnalis mutlak dituntut memiliki kepekaan intelektual untuk menangkap fenomena empiris dalam kehidupan sosial. Kemudian baru dia mulai menilai apakah realitas tadi memiliki nilai sesuai dengan orientasi jurnalisme yang dijalankan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Selanjutnya akan dituliskannya dalam format yang standar. Di balik semua ini, berperan pula sikap etis, yaitu orientasi sosial yang dijadikan pedoman dalam melihat realitas dan mengemasnya menjadi informasi yang menarik.(dari buku: Menulis untuk Media Massa, Kanisius)