Last up date 18-Nov-2000

sejarah cetak mencetak . . .

direktori persma

Apa PIPMI

Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

 

 

 

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[12/17/00]

 

Tentang Proses Kreatif Menulis: Sebuah Pengantar
Membaca dan Menulis.Titik.

Oleh Muhidin, Pemimpin redaksi Buletin Buku "Baca-Baca-Baca". Lembaga untuk Kreasi Penerbitan Masyarakat(LKPM)Yogyakarta. Pernah coba-coba menulis di berbagai media massa dan ternyata dipublikasikan: Bernas, Suara Merdeka, Panji Masyarakat, republika, Kompas. Makalah ini pernah disampaikan pada acara Diklat Jurnalistik Dasar 2000 Tim Solidaritas Mahasiswa BEM Fakultas teknik Universitas Negri Yogyakarta, Aula Fakultas Teknik UNY 15 Juni 2000

"Buku bisa menjadi harta karun yang ditinggalkan oleh para jenius besor bagi umat manusia, yang diwariskon dari generosi ke generasi. Sebagai hadiah bogi mereka yang belum terlahirkan." (Joseph Addison, Penyair dan Sastrawan Jerman)

"Ke mana-mana aku telah mencari, namun keteduhan hati itu belum kutemukan sampai akhirnya aku duduk menyendiri di satu sudut dengan sebuah buku kecil di tanganku " (Thomas A. Kempis, 1380-1471)

ANDA mengenal Ahmad Wahib? Soe Hok Gie? Lebih jauh lagi. Anda mengenal Saint Simon dan Anne Frank? Kalau belum, saya akan beritahu. Dan saya yakin kebiasaan awal yang mereka lakukan cukup sepele, namun "kesepelean" yang biasanya kita asumsikan dengan "ketidakproduktifan" itu pernah menggemparkan. Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie adalah dua anak muda yang bakal dikenang dengan ketekunannya menulis. Begitu juga Saint Simon dan Anne Frank. Yang mereka tulis pun nggak ada yang muluk-muluk.

Ahmad Wahib hanya menulis pengalaman religiusnya sehari-hari mencari Tuhan, berpacaran, tentang kuliah, tentang masyarakat. Soe Hok Gie apalagi, selain ia menulis pengalamannya berorganisasi, naik gunung, juga pengalaman berpacaran. Namun mengapa catatan itu mampu mencengangkan dan bahkan catatan harian Ahmad Wahib pernah dilarang MUI pada 1984! Bayangkan, hanya catatan harian.

Lebih-lebih Anne Frank yang catatan hariannya pernah dijadikan rujukan kesaksian kemanusiaan atas tragedi pembantaian orang-orang Yahudi pada Perang Dunia ke-2. Yakinlah kita bahwa menulis dan usaha memindahkan gagasan abstrak ke dalam bentuk struktur alfabetis bukanlah kekuatan semu, melainkan suatu air bah. Mungkin apa yang dilakukan empat tokoh itu kelihatan gampang. Ya memang gampang. Hanya catatan harian kok. Tapi tidak. Saya sudah mencobanya. Dan terus berusaha. Saya masih kalah. Bukan karena mereka punya pengetahuan yang tinggi atau mereka orang-orang cerdas. Para penulis catatan harian yang saya sebutkan di atas bukan dewa, melainkan sama dengan kita, manusia biasa, yang bisa tertawa, menangis, merasakan lapar, haus...Cuma bedanya mungkin, mereka menukiskannya dengan konsisten, jujur, dan disertai dengan ikhtiar untuk mencari makna hidup yang sejati. Dan satu lagi jangan lupa mereka adalah jago baca. Klop sudah.

Membaca yang baik, demikian Virgiania Woolf, pembaca omnivira yang melahap dan memamah ratusan judul buku, adalah disertai dengan menulis. Dengan menulis seseorang coba bereksperimen sendiri dengan bahaya kata-kata dan kesukarannya. Atau seperti kata filsuf poststrukturalis, Paul Ricoeur (1976), dengan menulis maka wacana lisan dibuat tidak lagi berubah melalui fiksisasi fisik oleh aksara melainkan pembakuan pikiran dan perasaan secara fisik dalam aksara.

Memang tidak terlalu sukar mengingat peristiwa-perisitiwa atau tempat-tempat yang mengesankan: sampah berserakan, rumah?rumah kardus, pemulung, perempuan dan kekasihnya yang bercinta, atau lalat yang berdenging-denging... percakapan, tawa, tangis. Karena minimalisnya kebiasaan menulis, ketika ingin mengonstruksikannya dalam bentuk alfabeta di atas kertas kosong, mengertilah kita betapa sulitnya. Ya, betapa tidak mudah bermain-main dalam dua sisi kesadaran (gelap dan terang) untuk menuangkannya menjadi untaian kata-kata.

Lalu kita pun mengerti mengapa kebanyakan mahasiswa merinding bila musim saat menyusun skripsi datang, seakan-akan bakal berpapasan dengan monster yang menakutkan, yang itu mau tak mau mesti dilewati. Karena sindrom itu lalu tidak malu-malu melewati "jalan pintas" atau "jalan belakang" dengan melakukan praktik penjiplakan. Atau kalau tidak skripsinya tak lebih laporan ringan yang miskin investigatif-analitik. Maka tidak usaha tanya kualitasnya apalagi kontribusinya untuk bisa membawa obor penerang bagi pembentukan konstruksi masyarakat baru di masa depan. Bahkan secara berkelakar Yudi Latif (1999) mengatakan, saking bingungnya sandal jepit pun mereka jadikan bahan skripsi.

Bagi Wahib, Gie, Frank, maupun Simon, membaca dan menulis tak lagi sekadar pengisi waktu luang, tapi oleh kebutuhan budaya. Adalah sebentuh kerja yang mengasyikkan dan berhadiah--meminjam ungkapan Virgiania Woolf

Menurut Ignas Kleden (1999), untuk membangun tradisi membaca dan menulis dalam diri kita perlu penanaman wawasan budaya sebagai "provokasi" awal. Sebab, kata dia, dorongan wawasan budaya inilah menyebabkan seseorang rela menyendiri untuk membaca, meneliti, dan menuliskan pikiran dan penemuan-penemuan dari penelitian atau perenungan yang mau tak mau terhindar dan tersingkir dari pergaulan sosial dan pertemuan dengan orang, ramai untuk sementara waktu.

Ini pun juga dialami para bapak bangsa kita, para petani, yang sendirian harus menghadapi lumpur di sawah pada pagi-pagi buta, atau mengurus saluran airnya pada tengah malam agar padi tetap hijau dan panen menguning. Ketiadaan wawasan kebudayaan akan melupakan bahwa membaca dan menulis memerlukan pemaksaan dan sekaligus pengekangan diri yang bersifat asketis. Dari ketekunan itulah maka dalam kenyataan besarnya seluruh kebudayaan modern terbangun dan terkembangkan oleh aktivitas membaca ini dengan bantuan mesin cetak.

Maka cukup menarik komentar Karlina Leksono (1999), bahwa membaca (juga menulis) bukan kegiatan sampingan, melainkan berjalin dengan makna teks. Para pembaca adalah pencipta-bersama, suatu aktivitas yang oleh Gadamer disebut peleburan cakrawala.

Jadi tak lain untuk bisa menulis diperlukan suatu ketekunan. Dan saya orang yang paling tidak percaya bahwa membaca dan menulis adalah bakat dari sananya. Saya juga tidak percaya bahwa hanya mereka yang belajar di sekolah bahasa dan sastra yang bisa menulis dan membaca yang baik. Non sense semua asumsi itu. Semua orang bisa, semua sama. Yang berbeda, mungkin, ia rajin dan kamu malas. Ia tekun dan kamu tidak.

Jadi mulailah. Cobalah. Saya sudah menuliskan pengalaman saya di sini. Saya bisa menulis tidak karena banyaknya sajian teori yang saya lahap. Saya hanya perlu kertas, polpen, dan kehendak yang kuat. Pertama-tama memang tampak sulit. Tapi jangan berhenti. Lakukan terus. Saya yakin Anda bisa.

Tapi syarat dari menulis (yang baik dan reflektif), ya banyak membaca. Dan membaca yang baik juga disertai menulis. Membaca dan menulis. Itu saja. Titik.


iklan layanan ini dipersembahkan oleh PIPMI dalam rangka mewujudkan pers mahasiswa Indonesia yang tidak sekedar mencaci-maki