Last up date 18-Nov-2000

Sejarah cetak mencetak . . .

direktori pers mahasiswa Indonesia

Apa PIPMI

Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

 

 

 

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/28/00]

 

Marx dan Che di Rumah Kontrakan
Kompas, Jumat, 14 April 2000
PENGANTAR REDAKSI 
LAPORAN mengenai giatnya diskusi kajian kiri secara terang-terangan di kalangan muda terpelajar Jakarta dan Yogyakarta  diturunkan hari Jumat ini di halaman 1 dan halaman 7. Sementara maraknya penerbitan buku-buku kiri dilaporkan besok (15/4), yang akan didampingi dengan wawancara bersama Dr Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina dan Riza Sihbudi dari LIPI mengenai Islam dan kajian-kajian kiri.

PERDEBATAN mengenai perlu-tidaknya Ketetapan (Tap) Nomor XXV/MPRS/1996 dipertahankan boleh saja memanas. Namun, perbincangan, ceramah, diskusi, maupun penerbitan dan peredaran buku-buku marxisme dan komunisme jalan terus. Sekarang ini, marxisme dan komunisme tidak lagi didiskusikan sembunyi-sembunyi dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai tujuh orang. Marxisme dan komunisme, kini, didiskusikan di ruang terbuka di luar kampus, dan dihadiri puluhan orang.

Inilah trend di kalangan muda terpelajar Jakarta dan Yogyakarta, termasuk mereka yang berada di dalam wadah keagamaan. Mereka  terang-terangan membaca fotokopi surat-surat Stalin atau Manifesto Komunis di dalam bus kota.

Ketika kelompok studi muncul pada tahun 1980-an, buku-buku kiri memang dilirik. Namun, itu terbatas dalam kelompok kecil, sembunyi-sembunyi pula. Ketetapan MPRS yang disebutkan tadi memang efektif ketika itu. Sekali ketahuan mengedarkan buku-buku yang berisi ajaran marxis, misalnya, penjara hukumannya. Itulah yang terjadi pada aktivis mahasiswa Yogya belasan tahun lalu, yakni Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho, yang mengedarkan diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari Dr Franz Magnis-Suseno, serta novel-novel bagus Pramoedya Ananta Toer.

Sebuah rumah sederhana di Kampung Suryowijayan, Yogya. Berbagai atribut "merah" menghiasi dinding. Potret besar Che Guevara, tokoh sosialis Amerika Latin yang disiksa mati tentara Bolivia, dipajang bergandengan dengan bendera merah putih dan grafiti "Antimiliterisme". Inilah markas sebuah kelompok studi yang getol membahas kajian kiri.

Di situ, puluhan mahasiswa dari berbagai latar agama, organisasi, dan kampus berkumpul tanggal 10 April malam. Di hadapan mereka terdapat beberapa pinggan berisi pisang goreng, ketela goreng, dan sejenisnya hasil patungan. Namun, santapan "rohani" mereka berat-berat, yakni bagaimana mengorganisasikan sebuah aksi untuk mendorong pencabutan larangan kebebasan berideologi.

Pertemuan itu merupakan salah satu simpul dari pergulatan mereka dengan marxisme dan kajian kiri lain yang telah belasan tahun tumbuh di Yogya, termasuk di kalangan sejumlah mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga.

Kantor redaksi majalah kampus Balairung dan Bulaksumur, yang dikenal sebagai Markas B-21, merupakan salah satu sarang kajian pemikiran kiri. Para pemula biasanya menuntaskan dulu diktat kuliah Sejarah Filsafat Sosial Jerman Abad XIX tulisan Franz Magnis-Suseno yang dulu dilakukan sembunyi-sembunyi. "Yang dilarang biasanya selalu menarik. Karena itu, kami mau mempelajarinya," kata Monika, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.                                                            ***
EKKI, aktivis Front Jakarta, mengisahkan mereka dulu menyebarkan tulisan-tulisan marxisme dan komunisme seperti mengedarkan ganja. Diskusi sudah barang tertentu tertutup. Kalau perlu, orang lain jangan sampai tahu. Mereka mendapat buku-buku sosialisme dan komunisme terbitan tahun 1940-an di pasar-pasar loak. "Buku Das Kapital saya dapat dari Pasar Senen," katanya. "Pedagangnya enggak tahu buku apa ini. Dia jual Rp 3.000."

Bersama enam kawan, ia mendiskusikan bacaan-bacaan itu dengan berpura-pura sebagai pelancong di Monas, Kebun Binatang Ragunan, atau tempat-tempat publik tak menarik lainnya di Jakarta. "Sekarang ngomongin marxisme di warung, orang pada cuek," kata Ekki.

Daru, dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan, sampai sekarang dia dan kawan-kawannya masih giat mendiskusikan marxisme dan komunisme, juga pemikiran tokoh revolusioner lain seperti pemikir Islam, Ali Shari'ati dan Hassan Hanafi. Diskusi berlangsung tiga kali seminggu, antara dua sampai tiga jam setiap pertemuan. "Sekarang frekuensinya agak menurun. Soalnya, kami masih konsentrasi untuk konsolidasi gerakan," katanya.

Kajian kiri juga laku keras di rumah-rumah sewa mahasiswa sekitar IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, Jakarta Selatan. Kelompok studi  Piramida Circle yang bermarkas di rumah sewa sebelah barat kampus IAIN Ciputat merupakan salah satu penggiat marxisme dan studi-studi pembebasan.

Secara periodik, menurut Edi Hayat-aktivis kelompok studi itu-mereka mengadakan kursus-kursus marxisme, pemikiran tokoh kiri di kalangan Islam, maupun teori-teori sosiologi pada umumnya untuk mahasiswa angkatan awal. "Kami mengembangkan kajian marxisme bukan dalam artian ideologi, tetapi dalam tataran wacana," katanya.

Di mana-mana, buku Magnis-Suseno yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang jernih itu rupanya jadi pegangan. Anak-anak Ciputat itu melengkapi bahan mereka dengan buku pengantar filsafat marxis dalam bahasa Inggris, Gramsci, bahan-bahan dari internet, bahkan sebagian mereka peroleh langsung dari Rusia.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat merupakan salah satu kelompok yang giat menekuni kajian kiri. Ketua Umum PMII Cabang Ciputat Hery Haryanto Azumi mengungkapkan, ia dan kawan-kawannya mengembangkan kajian-kajian kiri sebagai acuan teologi pembebasan dalam kerangka Islam.

"Untuk memperbarui pemahaman bahwa kezaliman yang stabil lebih baik daripada kekacauan yang tidak kondusif untuk perjuangan. Gerakan civil society tidak boleh berhenti dengan terbentuknya pemerintahan demokratis yang populis," kata Edi. "Pemadanian masyarakat sampai ke bawah dan semua aspek civil society  terwakili tanpa dominasi salah satu agama."

Burhan, mahasiswa Akidah, yang semula merencanakan menulis skripsi tentang marxisme, berniat mengalihkannya ke tema sosialisme demokrasi. "Saya masih kesulitan mencari dosen pembimbing," kata Burhan, yang rajin mengumpulkan referensi kiri dari internet.
                                                          ***
KAJIAN kiri di Depok dimulai pada tahun 1990-an oleh mahasiswa Jurusan Sejarah. Bermarkas di rumah kontrakan yang dikenal sebagai Red House, mereka membahas Das Kapital asli dalam bahasa Jerman. Red House sempat menjadi tangki gagasan bagi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI). "Teman-teman kos di sana sudah bubar, tetapi kami sempat tinggal bersama kaum buruh untuk mengaitkan teori dengan kejadian sehari-hari di lapangan," kata Mundo, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI, juga aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Di Yogya, diskusi kiri tidak hanya monopoli kaum intelektual. Pengamen yang bergabung di Serikat Pengamen Indonesia (SPI) menggelar diskusi kiri minimal sekali seminggu. "Ini bagian dari kurpol alias kursus politik untuk membantu rekan-rekan sesama pengamen dalam mengorganisasi kaum miskin kota menyalurkan aspirasi mereka," kata Gendon, Ketua Divisi Perpustakaan SPI. (wis/ryi/sal)


iklan layanan ini dipersembahkan oleh PIPMI dalam rangka mewujudkan pers mahasiswa Indonesia yang tidak sekedar mencaci-maki