Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/18/00]

 

Cerita Panjang Dari Lombok
(Catatan dari Kongres PPMI di Lombok, 24—29 Mei 2000)

Luqman Hakim Arifin
Pemimpin Redaksi BALAIRUNG

Hidup memang bukan pilihan. Tapi, hidup tetap sarat dengan pilihan. Setiap pilihan adalah keberanian, dan setiap keberanian adalah keyakinan: keyakinan untuk berani memilih. Keyakinan untuk berani menerima kenyataan atas pilihan-pilihan lain. Itulah "ber-prinsip"—pengjewantahan sesuatu dari sebab yang paling dasar dari sesuatu.

Setiap orang boleh jadi memiliki prinsip, tapi belum tentu ber-prinsip. Orang Jawa, contohnya. Kurang apa ia dengan prinsip-prinsip hidupnya, yang membuat terperangah banyak orang? Namun, mengapa ia bisa kalah selama ratusan tahun oleh Eropa? Tak lain karena orang Jawa tak ber-prinsip, dan bukan tidak punya prinsip. Watak selalu kompromis-sinkretik (mencari-cari kesamaan, keselarasan, dan melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial) tanpa batas inilah yang membuat Jawa terus terjajah dan kalah. Dan hidup, karena hal ini juga, menjadi tak lagi sederhana, ruwet, penuh tafsiran, membingungkan, sekaligus penuh paradoks.

Pertanyaannya sekarang: bagaimana menyikapi orang-orang dengan watak seperti itu—yang bukan saja tak memiliki keberanian untuk memilih, tapi bahkan yang tak rela orang lain memiliki keberanian itu? Yang bukan saja tak ber-prinsip atau tak punya prinsip, tapi bahkan yang kebingungan untuk mengambil penyikapan tegas atas prinsip orang lain?

Bingung? Jelas!
Persoalan inilah yang justru muncul pada acara Kongres V Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Universitas Mataram, Lombok, 24—29 Mei 2000. Dihadiri sekitar 150 utusan dari lembaga-lembaga pers mahasiswa se-Indonesia—minus Riau, Jambi, Bengkulu, dan Kalimantan—acara kongres dapat dibilang berjalan sangat garing dan ompong! Para aktivisnya, yang disebut-sebut berkapabilitas intelektual yang kental, ternyata tak menunjukkan kebenaran persepsi itu. Sungguh memprihatinkan: logika yang tak runtut, disiplin berkongres yang rendah, dan forum yang acak-acakan adalah hal lumrah sepanjang acara.

Pembahasan dan implementasi tata tertib sidang, contohnya. Betapa lama dan berbuih-buihnya pembahasan hal itu. Lantas, kenyataannya: berapa banyak peserta yang lalu-lalang keluar-masuk sidang tanpa izin, yang sengaja tidur ketika kongres berlangsung, yang sengaja jalan-jalan ke Pantai Senggigi atau sekadar keliling kota Lombok ketika sidang sedang panas-panasnya. Adakah sanksi tegas untuk itu? Tak ada!

Presidium sidang yang tak ubahnya "singa ompong", kebingungan; ataupun panitia kongres yang mati-matian menyervice peserta, keduanya hanyalah tamsil tentang sosok-sosok yang tak mampu dalam kasadarannya terhadap sesuatu yang tak bisa diterima. Mereka hanya bisa berharap pada kesadaran peserta, yang entah kesrimpet di mana.

Kenyataan yang tak kalah absurdnya adalah forum Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sekjen PPMI ke-4, Edy Sutopo. Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang menerima jabatan sekjen dari hasil Kongres IV PPMI di Jombang ini, selama dua tahu masa kepengurusannya (1998—2000), bisa dikatakan bekerja sendirian alias one-man-show.

Padahal, persoalannya bukan karena sosok sekjen yang demikian hegemonik ataupun otoriter, melainkan karena elemen-elemen lain seperti Presidium Wilayah (PW), Dewan Kota (DK), dan Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM)—yang dalam AD-ART PPMI seyogianya sinergis dengan sekjen sebagai sebuah kekuatan struktural PPMI—ternyata tak cukup mampu dan peduli terhadap nasib PPMI sendiri. Lalu, mengapa hanya sekjen yang dimintai pertanggungjawaban? Mengapa yang lain tak dimintai pertanggungjawaban? Di sini jelas: tak ada alasan yang cukup kuat untuk memuarakan forum LPJ pada kata "penerimaan" ataupun "penolakan".

Itulah sekilas Kongres V PPMI. Meski juga penuh dengan canda dan tawa, kecerdasan dan kerendahatian, PPMI akhirnya tak mampu dipertahankan juga. Ibarat telur di ujung tanduk, telur itu akhirnya jatuh juga: pecah! Tak berkeping-keping memang, hanya "terbelah dua". Kini, selain PPMI, muncul format baru komunitas LPM-LPM se-Indonesia. Namanya "Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia" (Forkom Persma Indonesia). Tentulah ini bukan berita atau peristiwa yang mengagetkan. Sejak lama, orang sudah dapat merasakan dan memperkirakan kemungkinan seperti ini.

Cerita terbelahduanya PPMI berawal dari pemetaan persoalan yang dibuat teman-teman dari beberapa LPM Yogyakarta. Antara lain Balairung, Bulaksumur , Pijar, (UGM), Investor (STIE Widya Wiwaha), Pendapa (UST), Nuansa (UMY), dan Gema (STIPER). Memakai analisis SWOT, teman-teman Yogya melihat bahwa kekuatan PPMI, pada dasarnya, terletak pada (potensi) LPM-LPM yang tergabung.

Merujuk pada namanya, "pers mahasiswa" (persma), esensi persma sebenarnya sudah cukup jelas. Persma adalah entitas-sintetis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu "pers" dan satunya lagi "mahasiswa". Sebagai pers, ia dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. Mahasiswa bukan saja mampu berteori, tapi juga mampu menyelesaikan setiap persoalan di lapangan. Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan beratnya nama itu.

Barangkali, tak ada LPM yang sepenuhnya mampu menyeimbangkan, sekaligus mewujudkan, gabungan dua entitas itu. Namun, dua entitias itulah yang kiranya benar-benar dipahami oleh para aktivisnya sebagai potensi yang harus diberdayagunakan. Terbentuknya Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI—tahun 1950-an sampai 1980-an akhir), ataupun PPMI sendiri (15 Oktober 1992), tak lepas dari kesadaran akan potensi itu. Tak heran jika dalam visi-misinya, PPMI secara jelas mencantumkan usaha untuk membentuk "budaya demokratis dalam setiap lini kehidupan manusia Indonesia", dan mewujudkan miliu "kebebasan pers".

Untuk mewujudkan visi dan misi itu, juga kesadaran atas potensi yang dimiliki, hanya sebuah organisasi yang solidlah yang dapat menjawab, baik dari sumber daya manusianya (SDM) maupun struktur dan kultur kerja organisasnya. Stuktur PPMI, selama ini, sebenarnya telah menunjukkan struktur organisasi yang cukup ideal untuk mampu mewujudkan visi-misi itu: sinergisitas antara Sekjen, PW, DK, dan perwakilan masing-masing LPM. Tidak seperti selama ini, selain Edy yang one-man-show, PW, DK, apalagi kaderisasi di tingkatan LPM malah mati. Padahal, inti kekuatan PPMI, sekali lagi, terletak pada LPM-LPM yang tergabung, bukan hanya pada sekjennya.

Akibatnya gampang ditebak: muncul kekecewaan, gugatan, sekaligus harapan terhadap keberadaan PPMI. PPMI dianggap ajang kangen dan rekreasi belaka. PPMI tak maksimal dan tak mampu memberikan "apa-apa" terhadap keberadaan LPM-LPM.

Sekalipun dapat dikatakan wajar, gugatan dan kekecewaan itu menjadi tak adil, kiranya, ketika selama ini kita terbukti tak banyak berbuat untuk PPMI. Dan lebih tak adil lagi, saat giliran LPJ, semua merasa dirinya telah berkorban untuk keberlangsungan PPMI. PPMI seolah-olah "sosok di luar sana", yang kepadanya kita berhak mengajukan berbagai makian dan cacian. Tidakkah sebenarnya kita sedang menggugat dan memaki-maki diri kita sendiri?

Lebih kurang, itulah kelemahan PPMI. Dan mengapa kelemahan itu mesti muncul? Ada tiga sektor yang, harus diakui, sangat lemah pada PPMI selama ini. Pertama, persoalan struktur dan mekanisme kerja organisasi. Kedua, persoalan dana dan sarana. Dan terakhir, persoalan SDM.

Pada persoalan struktur dan mekanisme kerja organisasi, tecatat tiga hal penting yang jadi persoalan. Pertama, sekjen yang one-man-show sebab tak memiliki staf yang jelas dengan skill yang juga tak memadai, sebagaimana diakui Edy dalam LPJ-nya. Tapi, ini jelas bukan kesalahan Edy semata. Edy sudah cukup mati-matian menunaikan tanggungjawabnya. Kedua, masih berkaitan dengan hal di atas, adalah ketidakjelasan garis intruksi dan koordinasi yang dimiliki seorang sekjen dalam menjalankan roda keorganisasiannya. Edy jelas mengalami kebingungan itu. Dan ketiga, yang paling mendasar, adalah keanggotaan PPMI yang sejak awal ditetapkan atas nama lembaga (LPM), bukan individu.

Jelas sekali, inilah risiko dari pilihan keorganisasian yang keanggotaannya berdasarkan lembaga, apalagi lembaga mahasiswa, yang dibatasi oleh banyak hal. Sering kali hal ini berbuntut pada ketidakberesan sebuah lembaga dalam menjaga keterlibatannya karena sulitnya mengader orang-orangnya yang terus berubah. Di sini juga tak dapat dipungkiri, setiap LPM mempunyai persoalannya sendiri yang akut dan kronis. Misalnya, konsistensi terbit atau masalah kaderisasi. Akibatnya, tak semua PW dan DK berjalan maksimal—wong ngurusi LPM sendiri saja kebingungan....

Persoalan kedua, persoalan dana dan sarana. Ini juga mengejutkan. PPMI selama ini ternyata tak punya kantor sekretaris yang jelas dan permanen. Bayangkan, sebuah organisasi tingkat nasional tak punya kantor? Kerja jadi sering gerilya. Pun dana operasional organisasi, yang ditarik dari setiap LPM sebesar Rp10.000, tentu saja tak seberapa untuk program-program PPMI, yang selain besar, juga dilakukan secara berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Bahkan untuk dana transportasi saja tak cukup. Hal ini pastilah memberatkan siapapun yang menjabat kepengurusan di PPMI. Sekadar contoh, sering kali seorang sekjen kehabisan ongkos di sebuah acara PPMI, dan teman-temannya terpaksa memberikan barang berapa ribu buat menambah kantong sang sekjen.

Persoalan ketiga adalah SDM. Inilah akar segala persoalan kenapa PPMI selama ini tak berjalan. Taruhlah Edy sudah mati-matian, all-out, menghidupi PPMI, tapi tetap saja tak bisa dilupakan bahwa "PPMI bukan Edy" semata. PPMI adalah organisasi. Ia teamwork, dan kita butuh bekerja sama untuk segala hal. Maka, jika benar sinergisitas itu ada, baik di pusat ataupun daerah, peta persoalannya sungguh sudah jelas. Bahwa untuk mewujudkan apapun, kita tak cukup bicara saja, tanpa misalnya, "menyerahkan" orang untuk duduk dalam kepengurusan tetap PW ataupun DK.

Berdasar kerangka berpikir ini, menyoal PPMI dengan segala makian dan ketidakjelasannya bukanlah semata-mata karena sifat keanggotaannya yang mengatasnamakan lembaga, juga bukan karena persoalan esensi atau jati diri PPMI yang dianggap tak jelas. Masalah yang lebih krusial, sesungguhnya, adalah kualitas dan integritas para aktivisnya dalam mewujudkan cita-cita PPMI. Dan itu berbuntut pada pilihan atas bentuk organisasi yang sesuai dengan kondisi objektif aktivisnya, tapi tetap dengan dapat mewujudkan cita-citanya.

Sampai di sini teman-teman Yogya menawarkan beberapa pilihan. Pertama, tetap mempertahankan PPMI dengan konsekuensi—sekaligus ini adalah syarat—setiap LPM siap membayar pengorbanan yang tak kecil. Taruhlah ketika struktur PPMI menuntut banyak staf yang harus terlibat, baik di sekjen, PW ataupun DK, maka setiap LPM harus menyetorkan orang-orangnya dengan jelas untuk dua tahun masa kepengurusan PPMI. Dan ini tidak main-main! Kalau siap, maka optimis kondisi PPMI tidak seperti selama ini. Kedua, jika konsekuensi itu tak bisa diterima (dan begitulah selama ini), maka saatnya kita tak bisa terus-terusan bersikap hipokrit terhadap ketidakmampuan kita. Analoginya: "bernafsu besar, tenaga kurang". Di sini, tuntutan untuk menyederhanakan bentuk organisasi PPMI menjadi sangat realistis. Misalnya, dengan bentuk "forum". Sedangkan pilihan ketiga adalah pembubaran PPMI dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.

Untuk memperlancar, teman-teman Yogya sejak awal telah mempertegas dirinya pada pilihan kedua, penyederhanaan keorganisasian komunitas LPM se-Indonesia ini menjadi "forum". Teman-teman Yogya sadar, dengan konsekuensi pilihan pertama, sekaligus merasa tidak siap membayarnya. Pilihan teman-teman Yogya ini tak dapat ditawar-tawar lagi. Apapun nama dari "forum" itu, perubahan dan penyederhanaan harus segera diwujudkan. Untuk itu, bagi teman-teman Yogya, forum pandangan umum adalah forum yang paling tepat untuk memperjelas bentuk dan arah ke depan PPMI. Alasannya, jika PPMI belum memperjelas dirinya, penyelesaian persoalan "memperjelas diri" jelas tidak dapat dibawah ke dalam sidang komisi. Sebab, jika pilihannya adalah pilihan kedua, maka ia tak punya hubungan sedikit pun dengan persoalan AD-ART, GBHK, ataupun Kode Etik. AD-ART, GBHK dan Kode Etik hanyalah alat. Lalu, bagaimana kita bisa omong berbusa-busa tentang alat itu, sedangkan untuk apa dan dalam konteks apa alat itu tidak juga jelas? Tidakkah itu artinya tahun-tahun ke depan kita akan mengulang kembali kesalahan-kesalahan yang telah dibuat pada kepengurusan Edy—dengan sadar?

Dari sini cerita dimulai lagi. Entah pukul berapa malam. Forum yang tergeret untuk menyoal pembacaan teman-teman Yogya makin panas saja. Perdebatan bertele-tele tentang pemahaman terhadap makna "organisasi" dan "forum" pun tak terhindarkan. Beberapa orang tampak sangat khawatir dan bereaksi keras seakan menuduh teman-teman Yogya berusaha memecah, bahkan membubarkan PPMI. Dan, setelah melalui perdebatan panjang-lebar, yang sebenarnya lebih menampakkan ketidakmampuan memetakan persoalan dan "menertibkan pikiran", akhirnya sidang di-pending.

Selama waktu pending, forum dimanfaatkan untuk memperjelas duduk persoalan. Dan sebenarnya sudah cukup jelas dan terpahami pemetaan dan pembacaan persoalan yang dibuat teman-teman Yogya. "Organisasi", tentu saja, entitas yang lebih ketat secara struktural: ada AD-ART-nya, ada GBHK-nya, dan ada struktur, bahkan sanksi yang jelas. Sedangkan "forum" lebih cair, berkebalikan dengan bentuk "organisasi". "Forum" lebih menekankan fungsi jaringan komunikasi dan dukungan. Ia tak harus memiliki AD-ART, GBHK. Cukup, misalnya, dengan kesepakatan bersama (rule of games) yang jelas antara elemen-elemen yang tergabung.

Dan yang lebih penting lagi, dalam waktu pending itu, semua sudah saling menyadari bahwa di sinilah keberanian untuk memilih sangat dibutuhkan. Dan hanya orang-orang yang memiliki prinsip dan ber-prinsiplah yang berani untuk memilih, sekaligus memudahkan penyelesaian persoalan ini. Sayangnya, dalam proses pending itu tak sempat dibicarakan upaya untuk menyelesaikan "kesemerawutan berpikir" atas persoalan ini.

Akibatnya, ketika forum dibuka kembali, maka terjadilah situasi yang sangat membosankan dan menjengkelkan. Berkali-kali sesuatu yang sudah berkali-kali juga diterangkan ditanyakan ulang. Pun Presidum Sidang, tak juga mampu berbuat banyak, kecuali hanya mengikuti jalannya debat kusir antar para peserta.

Selanjutnya sidang memuncak pada ide voting. Voting pada kasus ini sebenarnya bukanlah cara terbaik. Kenapa? Karena logika voting adalah logika kalah-menang. Ada yang berbeda, diadukan, kemudian harus dipilih untuk menjadi kesepakatan bersama, baik yang kalah atau yang menang tetap harus bertanggungjawab atas apapun hasil voting. Ini yang tak bisa diterapkan. Persoalan yang dihadapi adalah persoalan prinsipil yang saling menegasikan satu sama lain. Jika pilihan pertama yang dipilih, maka dengan sendirinya yang memilih pilihan kedua tak bertanggungjawab atas pilihan pertama, dan begitu sebaliknya.

Penyelesaian masalah ini sebenarnya masih dapat dengan musyawarah mufakat. Syaratnya, setiap peserta harus bisa memaparkan pandangannya tentang persoalan-persoalan yang dihadapi PPMI, memberikan solusi, pilihan, sekaligus sikapnya. Setelah itu, jika memungkinkan baru dicari titik perbedaan dan persamaannya (kompromi).

Sayang, kenyataannya tidak demikian. Tak setiap peserta ataupun LPM datang dengan amunisi itu. Jadilah pembacaan teman-teman Yogya gagal, bahkan merugikan, karena tidak diikuti pembacaan-pembacaan lain. Kalaupun ada, seperti teman-teman dari Jawa Timur, malah tak dipresentasikan lebih detail.

Disinilah kebingungan itu muncul. Seperti mengadili diri sendiri, terbukti memang betapa susahnya memahami dan memahamkan (pikiran) orang lain. Orang yang tidak saja tidak ber-prinsip, tapi juga yang tidak memiliki prinsip. Orang yang tidak saja tidak berani untuk memilih, tapi juga yang tidak rela jika orang lain berani memilih. Orang yang tidak saja tidak mau jujur, tapi juga yang kebingungan dengan kehipokritan yang dibuatnya sendiri---secara sadar.

Dalam konteks ini, acap kali teguh terhadap prinsip dianggap keras kepala, bahkan dicap sombong, sedangkan berkompromi atau sekadar berdiam diri atas prinsip sendiri justru dianggap bijaksana dan dewasa. Aneh 'kan? Tapi, begitulah kenyataannya. Persoalan ini, memang, tidak saja mengantarkan kita pada pilihan yang menyesakkan: hitam atau putih, ya atau tidak, namun juga menunjukkan kerapuhan diri seseorang jika hanya terjebak untuk berdiam diri atau berkompromi tanpa alasan yang jelas.

Andai saja jelas mana yang hitam dan mana yang putih dalam Kongres V PPMI ini, maka perbedaan adalah persatuan. Perpisahan adalah kesadaran. Dan tak ada yang perlu ditakutkan dengan terbelahduanya PPMI. Sebab, jika itu sudah menjadi keharusan sejarah, justru dengan wadah yang non-tunggal barangkali semakin mendorong komunitas persma Indonesia menjadi lebih kompetitif dan kreatif.

Bahkan, kalaupun muncul wadah-wadah lain, itu bukanlah masalah. Walk-outnya teman-teman Yogya, juga Bali, Semarang, dan Purwokerto, tak bisa dilepaskan dalam konteks ini. Selain juga harus diakui bahwa kondisi forum yang sudah tak sehat ikut mendorong perlunya mengambil penyikapan segera: keluar! Tidak saja dari forum, tapi juga dari PPMI.

Akhirnya, forum Pandangan Umum itu bubar. Siapa yang memilih pilihan kedua, walk-out. Lainnya tak jelas. Agenda kongres pun tak dapat diteruskan. Malam itu, semua menjadi saksi: telur yang di ujung tanduk itu akhirnya jatuh dan pecah juga. Dan yang sudah seharusnya terjadi, terjadilah. Kini, bagaimana PPMI ke depan, belumlah jelas.

Menarik, memang, mencermati dinamika perjalanan persma sejak tahun 1920-an sampai sekarang. Majalah ini, tujuh tahun lalu (1993), pernah menulis Laporan Khusus tentang PPMI, bejudul "PPMI: Kalau berani, PPMI Jalan terus!" Isinya, mencoba mencatat kisi-kisi awal kehadiran PPMI (1992) sebagai pengganti IPMI yang terkubur setelah Kongres V tahun 1980-an. (Adakah kaitannya dengan Kongres V PPMI di Lombok? Semoga tidak!)

Dalam tulisan itu terlihat, persoalan-persoalan yang dihadapi PPMI atau IPMI pada dasarnya tak jauh beda. Yaitu, "ketakmampuan" para aktivisnya untuk secara konsisten dan konsekuen menjalankan program-programnya, baik eksternal maupun internal. Beberapa ungkapan mantan aktivis persma dalam tulisan itu menunjukkan asumsi ini.

Prof. Dr. Koesnadi H. Soemantri, S.H., misalnya. Mantan rektor UGM yang dulu pernah menjadi sekjen IPMI itu hanya bisa berpesan ketika "IPMI baru" (PPMI) muncul. "Saya minta, PPMI jangan mempunyai penyakit seperti dulu, selalu usreg saja!" Atau ungkapan Prof. Dr. T. Jacob, mantan ketua IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia), yang juga mantan rektor UGM. "Biar pakai nama setan, tidak jadi soal, asal dia jalan!" Atau Saur Hutabarat, mantan Pemimpin Umum Gelora Mahasiswa UGM. "Kayaknya, era yang sekarang ini, era yang sangat dingin."

Bedanya dengan sekarang terletak pada kondisi sosial politiknya. Lead tulisan itu: "Ada anggapan bahwa membiarkan pers mahasiswa bersatu sama halnya memelihara anak macan yang suatu saat akan menerkamnya. Dan agaknya, kelahiran PPMI tidak luput dari anggapan ini". Lead ini kiranya terlalu berlebihan jika dikaitkan dengan kondisi saat ini. Analogi bahwa PPMI adalah anak macan yang bisa menerkam (penguasa), bisa jadi sebaliknya: antara anak macan itu sendirilah yang saling menerkam. Situasi PPMI, empat atau delapan tahun lalu, apalagi jika harus dibanding-bandingkan dengan IPMI, jelas berbeda dengan PPMI saat ini dan masa depan. Kondisi sosial-politik yang ada jelas membedakan penyikapan yang harus dilakukan.

Meminjam teori Fred S. Siebert, seperti dituturkan Amir Efendi Siregar, mantan aktivis persma dan pengarang buku Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti, dinamika politik itu bergerak di antara dua titik ekstrim: "otoritarian dan liberatian". Pada kondisi politik yang otoritarian, kebebasan pers disumbat. Sebaliknya, ketika kondisi politik liberatarian kebebasan pers dibuka lebar-lebar.

Organisasi-organisasi persma se-Indonesia tampaknya tak juga mampu untuk terlepas dari hal ini. IPMI ataupun PPMI prareformasi jelas berada dalam kondisi politik yang "otoritarian". Meski mengalami keterpasungan, tapi justru dari situlah muncul kreativitas, sekaligus juga resistensi, mereka untuk membuka ruang-ruang baru yang alternatif. Sebaliknya, PPMI dalam dua tahun terakhir ini malah berada pada kondisi politik yang "liberatarian". Ketika kran kebebasan semakin terbuka, PPMI malah terperangah, bingung oleh kebebasan itu sendiri. Tak heran, banyak gugatan dan keluhan untuk PPMI. Atau jangan-jangan sudah menjadi style organisasi mahasiswa, jika didesak (represif) semakin kreatif, militan, dan solid, tapi tidak sebaliknya?

Cerita panjang dari Lombok ini nggak salah juga, sih, kalau diganti judulnya jadi: "PPMI Jilid Dua: Kalau berani, Jalan terus!"