Apa PIPMI
Berita Terbaru
Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus
Artikel
resensi
tips
untuk sementara situs ini dikelola oleh
Litbang Majalah Balairung
© Majalah BALAIRUNG
2000
webmaster
[11/18/00]
|
Cerita
Panjang Dari Lombok
(Catatan dari Kongres PPMI di Lombok, 24—29 Mei 2000)
Luqman Hakim
Arifin
Pemimpin Redaksi BALAIRUNG
Hidup memang bukan pilihan. Tapi, hidup tetap sarat dengan pilihan. Setiap pilihan
adalah keberanian, dan setiap keberanian adalah keyakinan: keyakinan untuk berani
memilih. Keyakinan untuk berani menerima kenyataan atas pilihan-pilihan lain.
Itulah "ber-prinsip"—pengjewantahan sesuatu dari sebab yang paling dasar dari
sesuatu.
Setiap orang boleh jadi memiliki prinsip, tapi belum tentu ber-prinsip. Orang
Jawa, contohnya. Kurang apa ia dengan prinsip-prinsip hidupnya, yang membuat
terperangah banyak orang? Namun, mengapa ia bisa kalah selama ratusan tahun
oleh Eropa? Tak lain karena orang Jawa tak ber-prinsip, dan bukan tidak punya
prinsip. Watak selalu kompromis-sinkretik (mencari-cari kesamaan, keselarasan,
dan melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial) tanpa batas inilah
yang membuat Jawa terus terjajah dan kalah. Dan hidup, karena hal ini juga,
menjadi tak lagi sederhana, ruwet, penuh tafsiran, membingungkan, sekaligus
penuh paradoks.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana menyikapi orang-orang dengan watak seperti
itu—yang bukan saja tak memiliki keberanian untuk memilih, tapi bahkan yang
tak rela orang lain memiliki keberanian itu? Yang bukan saja tak ber-prinsip
atau tak punya prinsip, tapi bahkan yang kebingungan untuk mengambil penyikapan
tegas atas prinsip orang lain?
Bingung? Jelas!
Persoalan inilah yang justru muncul pada acara Kongres V Perhimpunan Pers Mahasiswa
Indonesia (PPMI) di Universitas Mataram, Lombok, 24—29 Mei 2000. Dihadiri sekitar
150 utusan dari lembaga-lembaga pers mahasiswa se-Indonesia—minus Riau, Jambi,
Bengkulu, dan Kalimantan—acara kongres dapat dibilang berjalan sangat garing
dan ompong! Para aktivisnya, yang disebut-sebut berkapabilitas intelektual yang
kental, ternyata tak menunjukkan kebenaran persepsi itu. Sungguh memprihatinkan:
logika yang tak runtut, disiplin berkongres yang rendah, dan forum yang acak-acakan
adalah hal lumrah sepanjang acara.
Pembahasan dan implementasi tata tertib sidang, contohnya. Betapa lama dan berbuih-buihnya
pembahasan hal itu. Lantas, kenyataannya: berapa banyak peserta yang lalu-lalang
keluar-masuk sidang tanpa izin, yang sengaja tidur ketika kongres berlangsung,
yang sengaja jalan-jalan ke Pantai Senggigi atau sekadar keliling kota Lombok
ketika sidang sedang panas-panasnya. Adakah sanksi tegas untuk itu? Tak ada!
Presidium sidang yang tak ubahnya "singa ompong", kebingungan; ataupun panitia
kongres yang mati-matian menyervice peserta, keduanya hanyalah tamsil tentang
sosok-sosok yang tak mampu dalam kasadarannya terhadap sesuatu yang tak bisa
diterima. Mereka hanya bisa berharap pada kesadaran peserta, yang entah kesrimpet
di mana.
Kenyataan yang tak kalah absurdnya adalah forum Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)
sekjen PPMI ke-4, Edy Sutopo. Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
yang menerima jabatan sekjen dari hasil Kongres IV PPMI di Jombang ini, selama
dua tahu masa kepengurusannya (1998—2000), bisa dikatakan bekerja sendirian
alias one-man-show.
Padahal, persoalannya bukan karena sosok sekjen yang demikian hegemonik ataupun
otoriter, melainkan karena elemen-elemen lain seperti Presidium Wilayah (PW),
Dewan Kota (DK), dan Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM)—yang dalam AD-ART PPMI
seyogianya sinergis dengan sekjen sebagai sebuah kekuatan struktural PPMI—ternyata
tak cukup mampu dan peduli terhadap nasib PPMI sendiri. Lalu, mengapa hanya
sekjen yang dimintai pertanggungjawaban? Mengapa yang lain tak dimintai pertanggungjawaban?
Di sini jelas: tak ada alasan yang cukup kuat untuk memuarakan forum LPJ pada
kata "penerimaan" ataupun "penolakan".
Itulah sekilas Kongres V PPMI. Meski juga penuh dengan canda dan tawa, kecerdasan
dan kerendahatian, PPMI akhirnya tak mampu dipertahankan juga. Ibarat telur
di ujung tanduk, telur itu akhirnya jatuh juga: pecah! Tak berkeping-keping
memang, hanya "terbelah dua". Kini, selain PPMI, muncul format baru komunitas
LPM-LPM se-Indonesia. Namanya "Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia" (Forkom
Persma Indonesia). Tentulah ini bukan berita atau peristiwa yang mengagetkan.
Sejak lama, orang sudah dapat merasakan dan memperkirakan kemungkinan seperti
ini.
Cerita terbelahduanya PPMI berawal dari pemetaan persoalan yang dibuat teman-teman
dari beberapa LPM Yogyakarta. Antara lain Balairung, Bulaksumur , Pijar, (UGM),
Investor (STIE Widya Wiwaha), Pendapa (UST), Nuansa (UMY), dan Gema (STIPER).
Memakai analisis SWOT, teman-teman Yogya melihat bahwa kekuatan PPMI, pada dasarnya,
terletak pada (potensi) LPM-LPM yang tergabung.
Merujuk pada namanya, "pers mahasiswa" (persma), esensi persma sebenarnya sudah
cukup jelas. Persma adalah entitas-sintetis dari dua subjek yang sama-sama potensial
dan berat; yang satu "pers" dan satunya lagi "mahasiswa". Sebagai pers, ia dituntut
mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan
sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan.
Mahasiswa bukan saja mampu berteori, tapi juga mampu menyelesaikan setiap persoalan
di lapangan. Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa
besar, agung, dan beratnya nama itu.
Barangkali, tak ada LPM yang sepenuhnya mampu menyeimbangkan, sekaligus mewujudkan,
gabungan dua entitas itu. Namun, dua entitias itulah yang kiranya benar-benar
dipahami oleh para aktivisnya sebagai potensi yang harus diberdayagunakan. Terbentuknya
Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI—tahun 1950-an sampai 1980-an akhir), ataupun
PPMI sendiri (15 Oktober 1992), tak lepas dari kesadaran akan potensi itu. Tak
heran jika dalam visi-misinya, PPMI secara jelas mencantumkan usaha untuk membentuk
"budaya demokratis dalam setiap lini kehidupan manusia Indonesia", dan mewujudkan
miliu "kebebasan pers".
Untuk mewujudkan visi dan misi itu, juga kesadaran atas potensi yang dimiliki,
hanya sebuah organisasi yang solidlah yang dapat menjawab, baik dari sumber
daya manusianya (SDM) maupun struktur dan kultur kerja organisasnya. Stuktur
PPMI, selama ini, sebenarnya telah menunjukkan struktur organisasi yang cukup
ideal untuk mampu mewujudkan visi-misi itu: sinergisitas antara Sekjen, PW,
DK, dan perwakilan masing-masing LPM. Tidak seperti selama ini, selain Edy yang
one-man-show, PW, DK, apalagi kaderisasi di tingkatan LPM malah mati. Padahal,
inti kekuatan PPMI, sekali lagi, terletak pada LPM-LPM yang tergabung, bukan
hanya pada sekjennya.
Akibatnya gampang ditebak: muncul kekecewaan, gugatan, sekaligus harapan terhadap
keberadaan PPMI. PPMI dianggap ajang kangen dan rekreasi belaka. PPMI tak maksimal
dan tak mampu memberikan "apa-apa" terhadap keberadaan LPM-LPM.
Sekalipun dapat dikatakan wajar, gugatan dan kekecewaan itu menjadi tak adil,
kiranya, ketika selama ini kita terbukti tak banyak berbuat untuk PPMI. Dan
lebih tak adil lagi, saat giliran LPJ, semua merasa dirinya telah berkorban
untuk keberlangsungan PPMI. PPMI seolah-olah "sosok di luar sana", yang kepadanya
kita berhak mengajukan berbagai makian dan cacian. Tidakkah sebenarnya kita
sedang menggugat dan memaki-maki diri kita sendiri?
Lebih kurang, itulah kelemahan PPMI. Dan mengapa kelemahan itu mesti muncul?
Ada tiga sektor yang, harus diakui, sangat lemah pada PPMI selama ini. Pertama,
persoalan struktur dan mekanisme kerja organisasi. Kedua, persoalan dana dan
sarana. Dan terakhir, persoalan SDM.
Pada persoalan struktur dan mekanisme kerja organisasi, tecatat tiga hal penting
yang jadi persoalan. Pertama, sekjen yang one-man-show sebab tak memiliki staf
yang jelas dengan skill yang juga tak memadai, sebagaimana diakui Edy dalam
LPJ-nya. Tapi, ini jelas bukan kesalahan Edy semata. Edy sudah cukup mati-matian
menunaikan tanggungjawabnya. Kedua, masih berkaitan dengan hal di atas, adalah
ketidakjelasan garis intruksi dan koordinasi yang dimiliki seorang sekjen dalam
menjalankan roda keorganisasiannya. Edy jelas mengalami kebingungan itu. Dan
ketiga, yang paling mendasar, adalah keanggotaan PPMI yang sejak awal ditetapkan
atas nama lembaga (LPM), bukan individu.
Jelas sekali, inilah risiko dari pilihan keorganisasian yang keanggotaannya
berdasarkan lembaga, apalagi lembaga mahasiswa, yang dibatasi oleh banyak hal.
Sering kali hal ini berbuntut pada ketidakberesan sebuah lembaga dalam menjaga
keterlibatannya karena sulitnya mengader orang-orangnya yang terus berubah.
Di sini juga tak dapat dipungkiri, setiap LPM mempunyai persoalannya sendiri
yang akut dan kronis. Misalnya, konsistensi terbit atau masalah kaderisasi.
Akibatnya, tak semua PW dan DK berjalan maksimal—wong ngurusi LPM sendiri saja
kebingungan....
Persoalan kedua, persoalan dana dan sarana. Ini juga mengejutkan. PPMI selama
ini ternyata tak punya kantor sekretaris yang jelas dan permanen. Bayangkan,
sebuah organisasi tingkat nasional tak punya kantor? Kerja jadi sering gerilya.
Pun dana operasional organisasi, yang ditarik dari setiap LPM sebesar Rp10.000,
tentu saja tak seberapa untuk program-program PPMI, yang selain besar, juga
dilakukan secara berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Bahkan untuk
dana transportasi saja tak cukup. Hal ini pastilah memberatkan siapapun yang
menjabat kepengurusan di PPMI. Sekadar contoh, sering kali seorang sekjen kehabisan
ongkos di sebuah acara PPMI, dan teman-temannya terpaksa memberikan barang berapa
ribu buat menambah kantong sang sekjen.
Persoalan ketiga adalah SDM. Inilah akar segala persoalan kenapa PPMI selama
ini tak berjalan. Taruhlah Edy sudah mati-matian, all-out, menghidupi PPMI,
tapi tetap saja tak bisa dilupakan bahwa "PPMI bukan Edy" semata. PPMI adalah
organisasi. Ia teamwork, dan kita butuh bekerja sama untuk segala hal. Maka,
jika benar sinergisitas itu ada, baik di pusat ataupun daerah, peta persoalannya
sungguh sudah jelas. Bahwa untuk mewujudkan apapun, kita tak cukup bicara saja,
tanpa misalnya, "menyerahkan" orang untuk duduk dalam kepengurusan tetap PW
ataupun DK.
Berdasar kerangka berpikir ini, menyoal PPMI dengan segala makian dan ketidakjelasannya
bukanlah semata-mata karena sifat keanggotaannya yang mengatasnamakan lembaga,
juga bukan karena persoalan esensi atau jati diri PPMI yang dianggap tak jelas.
Masalah yang lebih krusial, sesungguhnya, adalah kualitas dan integritas para
aktivisnya dalam mewujudkan cita-cita PPMI. Dan itu berbuntut pada pilihan atas
bentuk organisasi yang sesuai dengan kondisi objektif aktivisnya, tapi tetap
dengan dapat mewujudkan cita-citanya.
Sampai di sini teman-teman Yogya menawarkan beberapa pilihan. Pertama, tetap
mempertahankan PPMI dengan konsekuensi—sekaligus ini adalah syarat—setiap LPM
siap membayar pengorbanan yang tak kecil. Taruhlah ketika struktur PPMI menuntut
banyak staf yang harus terlibat, baik di sekjen, PW ataupun DK, maka setiap
LPM harus menyetorkan orang-orangnya dengan jelas untuk dua tahun masa kepengurusan
PPMI. Dan ini tidak main-main! Kalau siap, maka optimis kondisi PPMI tidak seperti
selama ini. Kedua, jika konsekuensi itu tak bisa diterima (dan begitulah selama
ini), maka saatnya kita tak bisa terus-terusan bersikap hipokrit terhadap ketidakmampuan
kita. Analoginya: "bernafsu besar, tenaga kurang". Di sini, tuntutan untuk menyederhanakan
bentuk organisasi PPMI menjadi sangat realistis. Misalnya, dengan bentuk "forum".
Sedangkan pilihan ketiga adalah pembubaran PPMI dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.
Untuk memperlancar, teman-teman Yogya sejak awal telah mempertegas dirinya pada
pilihan kedua, penyederhanaan keorganisasian komunitas LPM se-Indonesia ini
menjadi "forum". Teman-teman Yogya sadar, dengan konsekuensi pilihan pertama,
sekaligus merasa tidak siap membayarnya. Pilihan teman-teman Yogya ini tak dapat
ditawar-tawar lagi. Apapun nama dari "forum" itu, perubahan dan penyederhanaan
harus segera diwujudkan. Untuk itu, bagi teman-teman Yogya, forum pandangan
umum adalah forum yang paling tepat untuk memperjelas bentuk dan arah ke depan
PPMI. Alasannya, jika PPMI belum memperjelas dirinya, penyelesaian persoalan
"memperjelas diri" jelas tidak dapat dibawah ke dalam sidang komisi. Sebab,
jika pilihannya adalah pilihan kedua, maka ia tak punya hubungan sedikit pun
dengan persoalan AD-ART, GBHK, ataupun Kode Etik. AD-ART, GBHK dan Kode Etik
hanyalah alat. Lalu, bagaimana kita bisa omong berbusa-busa tentang alat itu,
sedangkan untuk apa dan dalam konteks apa alat itu tidak juga jelas? Tidakkah
itu artinya tahun-tahun ke depan kita akan mengulang kembali kesalahan-kesalahan
yang telah dibuat pada kepengurusan Edy—dengan sadar?
Dari sini cerita dimulai lagi. Entah pukul berapa malam. Forum yang tergeret
untuk menyoal pembacaan teman-teman Yogya makin panas saja. Perdebatan bertele-tele
tentang pemahaman terhadap makna "organisasi" dan "forum" pun tak terhindarkan.
Beberapa orang tampak sangat khawatir dan bereaksi keras seakan menuduh teman-teman
Yogya berusaha memecah, bahkan membubarkan PPMI. Dan, setelah melalui perdebatan
panjang-lebar, yang sebenarnya lebih menampakkan ketidakmampuan memetakan persoalan
dan "menertibkan pikiran", akhirnya sidang di-pending.
Selama waktu pending, forum dimanfaatkan untuk memperjelas duduk persoalan.
Dan sebenarnya sudah cukup jelas dan terpahami pemetaan dan pembacaan persoalan
yang dibuat teman-teman Yogya. "Organisasi", tentu saja, entitas yang lebih
ketat secara struktural: ada AD-ART-nya, ada GBHK-nya, dan ada struktur, bahkan
sanksi yang jelas. Sedangkan "forum" lebih cair, berkebalikan dengan bentuk
"organisasi". "Forum" lebih menekankan fungsi jaringan komunikasi dan dukungan.
Ia tak harus memiliki AD-ART, GBHK. Cukup, misalnya, dengan kesepakatan bersama
(rule of games) yang jelas antara elemen-elemen yang tergabung.
Dan yang lebih penting lagi, dalam waktu pending itu, semua sudah saling menyadari
bahwa di sinilah keberanian untuk memilih sangat dibutuhkan. Dan hanya orang-orang
yang memiliki prinsip dan ber-prinsiplah yang berani untuk memilih, sekaligus
memudahkan penyelesaian persoalan ini. Sayangnya, dalam proses pending itu tak
sempat dibicarakan upaya untuk menyelesaikan "kesemerawutan berpikir" atas persoalan
ini.
Akibatnya, ketika forum dibuka kembali, maka terjadilah situasi yang sangat
membosankan dan menjengkelkan. Berkali-kali sesuatu yang sudah berkali-kali
juga diterangkan ditanyakan ulang. Pun Presidum Sidang, tak juga mampu berbuat
banyak, kecuali hanya mengikuti jalannya debat kusir antar para peserta.
Selanjutnya sidang memuncak pada ide voting. Voting pada kasus ini sebenarnya
bukanlah cara terbaik. Kenapa? Karena logika voting adalah logika kalah-menang.
Ada yang berbeda, diadukan, kemudian harus dipilih untuk menjadi kesepakatan
bersama, baik yang kalah atau yang menang tetap harus bertanggungjawab atas
apapun hasil voting. Ini yang tak bisa diterapkan. Persoalan yang dihadapi adalah
persoalan prinsipil yang saling menegasikan satu sama lain. Jika pilihan pertama
yang dipilih, maka dengan sendirinya yang memilih pilihan kedua tak bertanggungjawab
atas pilihan pertama, dan begitu sebaliknya.
Penyelesaian masalah ini sebenarnya masih dapat dengan musyawarah mufakat. Syaratnya,
setiap peserta harus bisa memaparkan pandangannya tentang persoalan-persoalan
yang dihadapi PPMI, memberikan solusi, pilihan, sekaligus sikapnya. Setelah
itu, jika memungkinkan baru dicari titik perbedaan dan persamaannya (kompromi).
Sayang, kenyataannya tidak demikian. Tak setiap peserta ataupun LPM datang dengan
amunisi itu. Jadilah pembacaan teman-teman Yogya gagal, bahkan merugikan, karena
tidak diikuti pembacaan-pembacaan lain. Kalaupun ada, seperti teman-teman dari
Jawa Timur, malah tak dipresentasikan lebih detail.
Disinilah kebingungan itu muncul. Seperti mengadili diri sendiri, terbukti memang
betapa susahnya memahami dan memahamkan (pikiran) orang lain. Orang yang tidak
saja tidak ber-prinsip, tapi juga yang tidak memiliki prinsip. Orang yang tidak
saja tidak berani untuk memilih, tapi juga yang tidak rela jika orang lain berani
memilih. Orang yang tidak saja tidak mau jujur, tapi juga yang kebingungan dengan
kehipokritan yang dibuatnya sendiri---secara sadar.
Dalam konteks ini, acap kali teguh terhadap prinsip dianggap keras kepala, bahkan
dicap sombong, sedangkan berkompromi atau sekadar berdiam diri atas prinsip
sendiri justru dianggap bijaksana dan dewasa. Aneh 'kan? Tapi, begitulah kenyataannya.
Persoalan ini, memang, tidak saja mengantarkan kita pada pilihan yang menyesakkan:
hitam atau putih, ya atau tidak, namun juga menunjukkan kerapuhan diri seseorang
jika hanya terjebak untuk berdiam diri atau berkompromi tanpa alasan yang jelas.
Andai saja jelas mana yang hitam dan mana yang putih dalam Kongres V PPMI ini,
maka perbedaan adalah persatuan. Perpisahan adalah kesadaran. Dan tak ada yang
perlu ditakutkan dengan terbelahduanya PPMI. Sebab, jika itu sudah menjadi keharusan
sejarah, justru dengan wadah yang non-tunggal barangkali semakin mendorong komunitas
persma Indonesia menjadi lebih kompetitif dan kreatif.
Bahkan, kalaupun muncul wadah-wadah lain, itu bukanlah masalah. Walk-outnya
teman-teman Yogya, juga Bali, Semarang, dan Purwokerto, tak bisa dilepaskan
dalam konteks ini. Selain juga harus diakui bahwa kondisi forum yang sudah tak
sehat ikut mendorong perlunya mengambil penyikapan segera: keluar! Tidak saja
dari forum, tapi juga dari PPMI.
Akhirnya, forum Pandangan Umum itu bubar. Siapa yang memilih pilihan kedua,
walk-out. Lainnya tak jelas. Agenda kongres pun tak dapat diteruskan. Malam
itu, semua menjadi saksi: telur yang di ujung tanduk itu akhirnya jatuh dan
pecah juga. Dan yang sudah seharusnya terjadi, terjadilah. Kini, bagaimana PPMI
ke depan, belumlah jelas.
Menarik, memang, mencermati dinamika perjalanan persma sejak tahun 1920-an sampai
sekarang. Majalah ini, tujuh tahun lalu (1993), pernah menulis Laporan Khusus
tentang PPMI, bejudul "PPMI: Kalau berani, PPMI Jalan terus!" Isinya, mencoba
mencatat kisi-kisi awal kehadiran PPMI (1992) sebagai pengganti IPMI yang terkubur
setelah Kongres V tahun 1980-an. (Adakah kaitannya dengan Kongres V PPMI di
Lombok? Semoga tidak!)
Dalam tulisan itu terlihat, persoalan-persoalan yang dihadapi PPMI atau IPMI
pada dasarnya tak jauh beda. Yaitu, "ketakmampuan" para aktivisnya untuk secara
konsisten dan konsekuen menjalankan program-programnya, baik eksternal maupun
internal. Beberapa ungkapan mantan aktivis persma dalam tulisan itu menunjukkan
asumsi ini.
Prof. Dr. Koesnadi H. Soemantri, S.H., misalnya. Mantan rektor UGM yang dulu
pernah menjadi sekjen IPMI itu hanya bisa berpesan ketika "IPMI baru" (PPMI)
muncul. "Saya minta, PPMI jangan mempunyai penyakit seperti dulu, selalu usreg
saja!" Atau ungkapan Prof. Dr. T. Jacob, mantan ketua IWMI (Ikatan Wartawan
Mahasiswa Indonesia), yang juga mantan rektor UGM. "Biar pakai nama setan, tidak
jadi soal, asal dia jalan!" Atau Saur Hutabarat, mantan Pemimpin Umum Gelora
Mahasiswa UGM. "Kayaknya, era yang sekarang ini, era yang sangat dingin."
Bedanya dengan sekarang terletak pada kondisi sosial politiknya. Lead tulisan
itu: "Ada anggapan bahwa membiarkan pers mahasiswa bersatu sama halnya memelihara
anak macan yang suatu saat akan menerkamnya. Dan agaknya, kelahiran PPMI tidak
luput dari anggapan ini". Lead ini kiranya terlalu berlebihan jika dikaitkan
dengan kondisi saat ini. Analogi bahwa PPMI adalah anak macan yang bisa menerkam
(penguasa), bisa jadi sebaliknya: antara anak macan itu sendirilah yang saling
menerkam. Situasi PPMI, empat atau delapan tahun lalu, apalagi jika harus dibanding-bandingkan
dengan IPMI, jelas berbeda dengan PPMI saat ini dan masa depan. Kondisi sosial-politik
yang ada jelas membedakan penyikapan yang harus dilakukan.
Meminjam teori Fred S. Siebert, seperti dituturkan Amir Efendi Siregar, mantan
aktivis persma dan pengarang buku Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang
Berganti, dinamika politik itu bergerak di antara dua titik ekstrim: "otoritarian
dan liberatian". Pada kondisi politik yang otoritarian, kebebasan pers disumbat.
Sebaliknya, ketika kondisi politik liberatarian kebebasan pers dibuka lebar-lebar.
Organisasi-organisasi persma se-Indonesia tampaknya tak juga mampu untuk terlepas
dari hal ini. IPMI ataupun PPMI prareformasi jelas berada dalam kondisi politik
yang "otoritarian". Meski mengalami keterpasungan, tapi justru dari situlah
muncul kreativitas, sekaligus juga resistensi, mereka untuk membuka ruang-ruang
baru yang alternatif. Sebaliknya, PPMI dalam dua tahun terakhir ini malah berada
pada kondisi politik yang "liberatarian". Ketika kran kebebasan semakin terbuka,
PPMI malah terperangah, bingung oleh kebebasan itu sendiri. Tak heran, banyak
gugatan dan keluhan untuk PPMI. Atau jangan-jangan sudah menjadi style organisasi
mahasiswa, jika didesak (represif) semakin kreatif, militan, dan solid, tapi
tidak sebaliknya?
Cerita panjang dari Lombok ini nggak salah juga, sih, kalau diganti judulnya
jadi: "PPMI Jilid Dua: Kalau berani, Jalan terus!"
|