Sejarah cetak mencetak . . .

Apa PIPMI
Berita Terbaru

Indeks Anggota
Formulir Registrasi 
Link Khusus

Artikel

resensi

tips



untuk sementara situs ini dikelola oleh Litbang Majalah Balairung

© Majalah BALAIRUNG 2000
webmaster

[11/19/00]

 

Bernas, 21 Mei 2000
Koran Kampus, Bacaan Alternatif Mahasiswa

DUA buah koran kampus –bukan majalah atau tabloid—terbit. Tidak dijual, tapi ditempel di dinding dan disediakan gratis di tempat-tempat tertentu. Pers kampus mulai pindah jalur?

Sebuah berita tentang penemuan kondom di suatu fakultas bikin geger. Di pojok lain, selain kolom-kolom iklan mungil, ada berita tentang pembngunan pos satpam yang menjadikan situasi kampus 'menjadi siaga satu'. Berita-berita tersebut tertulis di dinding, di sebuah koran yang diterbitkan oleh badan penerbitan pers mahasiswa, badan yang biasanya mem­produksi majalah dan tabloid untuk mahasiswa.

Koran-koran dinding tersebut, paling tidak memang menarik perhatian. Tulisannya tidak terlalu panjang, tapi selalu enak untuk dibaca. Simaklah berita Bulaksumur Pos tentang tertangkapnya seorang karyawan honorer di sebuah fakultas yang ketahuan sedang ngintip mahasiswi di toilet. Atau tulisan Kobarkobari yang diterbitkan oleh LPM HIMMAH tentang pemilu mahasiwa yang dikaitakan seperti membeli kucing dalam karung.

Menurut Bachtiar, salah seorang redaktur di Koran Balairung, penerbitan koran tersebut merupakan upaya untuk kembali kepada pembacanya. "Selama ini kita jauh dari pembaca," katanya.

Majalah yang diterbitkan, dirasa sedikit yang membaca. Namun, penerbitan koran dinding tersebut tidak semua karena  persoalan majalah kampus mereka. Di LPM HIMMAH, penerbitan koran Kobarkobari yang sudah memasuki tahun ketiga ini dipersiapkan untuk menampung pengurus-pengurus yang baru masuk. Dengan terbit dua kali seminggu Kobarkobari dicopy dalam 100-150 eksemplar, sama halnya Koran Balairung yang besarnya dua kali Kobarkobari Sedangkan Bulaksumur Pos terbit dalam bentuk cetakan, bukan dari fotocopy.

Lalu bagaimana dengan penerbitan majalah kampusnya? Bukankah produksi koran-koran tersebut ditangani oleh sumberdaya yang sama?Di Koran Balairung yang terbit tiap hari Selasa, hal itu diakali dengan menerapkan sistem shift. Setiap bulan, penerbitan ditangani oleh empat buah tim kerja yang berbeda. Setiap tim-nya terdiri dari empat sampai lima orang dan memegang satu edisi dalam satu minggu.

Sementara untuk Kobarkobari menunjuk para wartawan kampus yang baru bergabung untuk menggarap koran selembarnya. Kebijakan LPM UII ini dibuat supaya kepentingan antara pengerjaan majalah (yang dibuat oleh 'senior' Himmah) dengan koran selembar tidak saling berbenturan. "Selama bulan, mahasiswa baru tersebut mengerjakan Kobarkobari. Ini menjadi prasyarat untuk bergabung dengan persma," ujar Surya Adi Lesmana, Redaktur Majalah Himmah.

Sama seperti media massa yang sudah komersil, pengelolaan koran selembar yang mereka buat juga memiliki manajemen yang sudah baik. Dalam sebuah media memang harus ada bagian redaksi, iklan, sirkulasi, dan bagian umum. Begitu pula dengan Koran Balairung, Bulaksumur Pos, dan Kobarkobari ketika menetapkan tarif iklan dan memasarkan (ditempelkan) sendiri korannya di setiap fakultas.

"Biaya iklan bukan untuk mencari keuntungan, tetapi hanya untuk menghidupi koran selembar ini supaya tetap dinikmati pembacanya," kata Bachtiar. Pasang iklan di Bulaksumur Pos misalnya. Untuk setiap barisnya hanya 500 perak, sementara untuk iklan kolom, bisa 20 ribu per paket.

Sedangkan Kobarkobari mematok tiga ribu untuk iklan per kolom dan 1O ribu untuk iklan yang ada disamping logo. "Pendapatan dari iklan tersebut digunakan untuk menutup dana saja,"  kata Bachtiar. Karena, lanjut Bachtiar, bekerja di persma itu tidak ada bayarannya. Hal itu ditegaskan Surya, "Setiap minggunya 2 kali terbit bisa menghabiskan 60 hingga 70 ribu, semantara dana dari rektorat minim."(irw/iip)