Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/17/00]
|
REPUBLIKA,
19 Februari 1994 Lewat
karyanya, Megatrends 2000: Ten New Directions for The 1990's, Naisbit dan
Aburdene melihat munculnya kebangkitan agama (religiousrevival) lewat peningkatan spiritualitas di
pelbagai penjuru dunia. Dibawah
tarikan gravitasi tahun 2000, kekuatan spiritualitas mengimbangidominasi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Orang modern tidak lagi melihatilmu dan teknologi
sebagai puncak prestasi peradaban
manusia, tapi melihat agama sebagai salah satu
alternatif bagi perimbangan kehidupan material. Kita boleh setuju atau
menolak ramalan kedua futurolog itu. Tetapi bahwa dipelbagai belahan dunia
sekarang kehidupan beragama menjadi semakin
marak,adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Di Indonesia pun,dari tahun ketahun
kita merasakan adanya peningkatan kehidupan beragama. Di tengahderasnya serbuan
informasi baik lewat media cetak maupun
elektronik, orangmakin memerlukan agama sebagai pegangan hidup yang diharapkan
dapatmemberikan penjelasan atau panutan bagi masa
depan dirinya, keluarganya,dan bahkan bangsanya. Di sisi lain, masyarakat beragama juga dihadapkanpada pilihan untuk
meresponi modernitas dan
modernisasi secara kritis dankreatif dengan
memanfaatkan referensi ajaran agama. Bagaimanakah mediamassa, khususnya
pers nasional kita, meresponi perkembangan itu? Agama,
Makna Hidup, dan Ekstensi Manusia Di
lain pihak, media massa atau pers, seperti dikatakan oleh sosiolog dan pakar
komunikasi Marshall McLuhan, adalah the extension of man, ekstensi
manusia. Menurut McLuhan, kodrat pembawaan dan kebutuhan essensial manusia
adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi, manusia
menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog, serta
menyerap apayang dilihat dan didengarnya. Sebagai hasil karya budaya masyarakat
manusia, pers dan media massa memberikan tempat bagi individu danmasyarakat --
dengan pelbagai latar belakang, asal usul sosial, danperadaban yang dimiliki --
ekspresi, gagasan, pemikiran, dan
aksinya.
Revolusi
informasi telah menyebabkan meningkatnya jumlah maupun
kualitasmedia massa dan pers di tengah-tengah kita. Setiap saat, di
mana pun kitaberada, kita dikepung dan dijejali pelbagai informasi dengan
segalakekurangan dan kelebihannya, serta kebaikan dan
keburukannya. Ironisnya, peta bumi kekuatan informasi dunia itu sangatlah
timpang.Negara-negara maju (Barat) memegang hegemoni dalam arus
informasi duniasehingga menciptakan pola hubungan
''pusat-pinggiran''(center-periphery) yang sifatnya deterministik. Diperkuat
oleh prosesarus informasi, tercipta struktur dominasi negara maju sebagai
''pusat'' dimana produk-produk dan keinginan sosial, ekonomi, maupun politik
menjadikonsumsi negara berkembang sebagai ''pinggiran''. Keadaan seperti ini
telahmenyebabkan negara-negara pusat, kata Johan Galtung, ''merupakan
jendeladunia'' (window of theworld) bagi negara-negara pinggiran. Oliver
Boyd-Barret, mahaguru ilmu komunikasi pada Open University AS, dalam
penelitiannya terhadap pemanfaatan jasa infomasi dari AS dan negara-negaraBarat
lainnya oleh negara-negara Asia menemukan fakta, arus infromasi
darinegara-negara maju itu mendominasi isi media cetak dan elektronik, tanpa ada
kemampuan dari negara-negara Asia untuk mengimbanginya
dalam hal materiinformasi yang dihasilnya maupun
kecanggihan teknologinya. Keadaan initelah memunculkan apa yang disebut
Barret sebagai ''imperialisme media''. Preferensi penyebaran informasi dan
pemberitataan itu biasanya erat kaitannya dengan persoalan ''ideologis''. Barat
menganut ideologi freeflow of ideas by words and image. Ideologi ini
kemudian diterjemahkan: bebas memberitakan apa saja yang menarik diketahui umum,
tanpa mempersoalkan konsepsi tradisional, budaya, maupun agama dari
objek yangdijadikan bahan berita. Bahkan dalam pemberitaan yang
berhubungan dengan Islam dan masyarakat Islam, seringkali disertai dengan
imagi-imagidistortif. Itulah sebabnya Edward Said dalam Covering Islam
secaratajam mengkritik cara-cara kantor berita Barat menyajikan Islam sebagai
berita, yang dinilainya superfisial. Hal itu bisa terjadi karenaketidaktahuan
atau kesengajaan. Di tengah era
informasi dan globalisasi sekarang ini, berita atau
analisa yang menyangkut masalah agama nampaknya bukan saja menarik,
tetapi jugalayak ''dijual''. Berita, pemikiran, maupun analisa keagamaan
seringkali menjadi santapan pembaca surat kabar dan majalah maupun penonton televisi.Meskipun tidak semua, beberapa media
massa dan pers nasional
memberi tempat bagi rubrik agama baik secara tetap, temporer, atau kasuistik.
Inimenunjukkan, produk berita yang bersifat sekuler tidak cukup
memenuhikebutuhan untuk memperoleh dan mengakses
informasi. Apalagi bagi masyarakat religius seperti Indonesia—berita,
pemikiran atau analisa keagamaan menjadi penting bagi pemenuhan kebutuhan
spiritual pembaca.
Tidak
mengherankan jika dalam dua dasawarsa terakhir ini, penerbitan buku-buku agama
atau yang bertema keagamaan meningkat dengan amat pesat. Ditengah banjirnya
informasi yang sekuler, kemajuan iptek, peningkatan industrialisasi, dan
akselerasi pembangunan, muncul apa yang disebutSoedjatmoko sebagai ''kerinduan
umum terhadap makna hidup yang lebihtinggi.'' Kerinduan semacam ini muncul
ketika orang semakin menyadari bahwaideologi-ideologi modern dan sekuler yang
pernah menjanjikan perbaikannasib
umat manusia belum berhasil memenuhi janjinya.
Orang lantas melirikdan mencari jawaban dari agama terhadap persoalan kekinian
dan masa depan.
Potensi
dan kelemahan pers Islam Dalam
sejarah perkembangan pers nasional sebelum dan sesudah
kemerdekaan,pers Islam mempunyai tempat dan peranan penting. Seiring
dengan gerak danarus kebangkitan nasional di tanah air, pers Islam berkembang melanjutkanrisalah Pan Islamisme yang dirintis
Jamaluddin Al-Afghani dan
MohammadAbduh lewat majalah Al Urwatul Wutsqa
(terbit di Paris akhir abadke-19). Tercatat nama-nama seperti majalah Al
Munir(1911) di Sumatrapimpinan Dr. H. Abdullah Ahmad, Utusan Hindia (1912)
terbit di Surabayadipimpin HOS Tjokroaminoto, Panji Islam (1934) pimpinan H.
ZainalAbidin Ahmad, Pedoman Masyarakat pimpinan Hamka dan H.M. YunanNasution.
Dua majalah terakhir mempunyai pengaruh cukup luas. PanjiIslam yang lebih
mengarahkan perhatiannya pada politik Islam, dikenalkarena memuat polemik dua
penulis terkemuka yakni Ir. Soekarno dan M.Natsir. Sebuah polemik yang
mencerahkan pemikiran dan mempunyai nilaihistoris bagi pertumbuhan
bangsa.
Sesudah
kemerdekaan bermunculan pula pers Islam semacam Panji Masyarakat, Kiblat, Duta
Masyarakat (organ NU), Mercu Suar (organ Muhammadiyah), dan Abadi (organ
Masyumi). Di bawah maraknya politik aliran di masa Orde Lama, pers Islam seperti
halnya pers lainnya,umumnya berkiprah sesuai dengan afinitas
ideologisnya. Akibatnya, merekakurang sekali memperhatikan orientasi
ekonomis, yang diperlukan sebagaipenyangga kehidupan pers. Namun demikian, posisi dan perannya sebagai pembawa missi amar
makruf nahi munkar diakui, sekalipun mereka kerap berhadapan dengan penguasa.
Panji Masyarakat misalnya, dengan beranimemuat pamflet Bung Hatta yang terkenal,
Demokrasi Kita. Akibatnya majalah pimpinan Hamka ini dibreidel oleh Presiden
Soekarno, sementara Hamka sendiri masuk bui.
Di
zaman Orde Baru, posisi pers Islam justru tidak sebaik rekan-rekannya dari media
umum atau non-Islam. Berdasarkan data kuantitatif,
tiras pers Islam secara keseluruhan dan riil tidak lebih
dari 300 ribu eksemplar. Inisangat tidak berimbang jika dibandingkan
dengan tiras rekan-rekannya darimedia lain, apalagi dengan populasi umat Islam Indonesia yang lebih dari160 juta. Mengapa hal itu terjadi?
Banyak yang mengatakan, keterbelakangan pers Islam sekarang ini erat kaitannya
dengan masalah profesionalisme dan manajemen pengelolaannya. Profesionalisme
berhubungan dengan cara kerja, penulisan jurnalistik, dan kebijakan redaksional
suatu media. Publik yang makin
terdidik tidak cukuphanya diberi sajian berita atau informasi faktual
semata-mata. Mereka ingintahu latar belakang sebuah peristiwa, akurasi
penulisannya, arahkecenderungannya, serta menyentuh apa yang disebut oleh Walter
Hagemann sebagai ''kesadaran publik yang aktual''.
Ini semua menuntut kualifikasiyang tinggi bagi wartawan media yang bersangkutan. Sementara
soal manajemen, erat kaitannya dengan cara, teknik, strategi, dankepemimpinan
dalam mengelola aspek-aspek manajerial yang berhubungan denganusaha, redaksi,
administrasi, pemasaran, dan sejenisnya. Faktor lain yangperlu dikemukakan
adalah soal media perfomance, yakni aspek-aspek yangberhubungan dengan tata
letak, kulit muka, teknik
penyajian, fotografi,pilihan berita, dan sebagainya. Banyak pengamat menilai, di
ketiga sektoritulah pers Islam lemah. Benar tidaknya pengamatan ini, masih
perludiperdebatkan.
Jurnalisme
Profetik |