Apa PIPMI
Berita Terbaru
Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus
Artikel
resensi
tips
untuk sementara situs ini dikelola oleh
Litbang Majalah Balairung
© Majalah BALAIRUNG
2000
webmaster
[11/17/00]
|
Jurnalistik
Investigatif
KEWAJIBAN sebagai warga negara saya lakukan dengan mencoblos di San Francisco.
Dua minggu kemudian saya berada di South Beach Miami. Di dekat rumah pantai
milik mendiang Gianni Versace, beberapa blok dari diskotek Mango's yang paling
populer di Art Deco District itu, saya membeli koran The Miami Herald. Saya
berjalan menyusur pantai. Di ujung yang lain saya menemukan warung kopi
Starbucks. Sambil minum almond caffe latte, saya buka lembar demi lembar koran
yang tadi saya beli.
Aha, kebetulankah ini? Ada sebuah iklan satu halaman yang menceritakan tentang
bagaimana koran itu memperoleh Hadiah Pulitzer belum lama ini atas sebuah
laporan investigatif berjudul "Dirty Votes: The Race for Miami Mayor".
Lho, kok terjadi juga kecurangan dalam pemungutan suara di Amerika Serikat?
Ternyata, Saudara, keinginan untuk memegang kekuasaan dengan menghalalkan segala
cara bukan hanya khas Indonesia.
Kebetulan bulan lalu saya mengajar tentang jurnalisme investigatif di Institut
Studi Arus Informasi (ISAI) dan Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS). Iklan satu
halaman itu menjadi sangat menarik bagi saya.
Pada 4 November 1997, Wali kota Miami Joe Carollo hanya memerlukan 155 suara
lagi untuk memenangkan kembali kedudukannya. Pesaing ketatnya, Xavier Suarez,
sekalipun kalah suara, tampaknya sangat unggul dalam pemerolehan suara dan para
absentee (mereka yang tak bisa datang sendiri ke tempat pemilihan). Informasi
ini tentu saja sangat menarik perhatian redaktur The Miami Herald yang kemudian
membentuk tim investigatif.
Tiga hari kemudian koran itu sudah menurunkan laporan peratamanya. Perolehan
suara terbanyak bagi Suarez didapati dari distrik Little Havana yang dipimpin
oleh seorang konco Suarez, Humberto Hernandez. Penemuan ini tentu saja menarik.
Per‑konco‑an adalah elemen yang mencurigakan dalam vote rigging.
Para wartawan The Miami Herald secara menukik melanjutkan investigasinya. Secara
manual mereka bahkan berhasil memeriksa surat‑surat suara yang dimasukkan
oleh para absentee itu.
Pada 9 November koran itu muncul dengan berita vang mengejutkan. Manuel
Yip, seorang yang setelah ditelusuri ternyata sudah meninggal pada 1993,
ditemukan mencoblos pada 4 November 1997. Surat suara itu disaksikan oleh
Alberto Russi, yang juga menjadi saksi atas 60 surat suara absentee lainnya.
Dalam investigasi itu bahkan ditemukan bahwa 10 surat suara dicoblos di TPS yang
berlokasi di rumah Russi.
Wartawan The Miami Herald melanjutkan investigasinya dengan mencari kesepuluh
orang yang mencoblos di rumah Russi itu. Tiga orang ternyata menyangkal telah
melakukan pencoblosan di rumah Russi. Dalam penyidikan yang kemudian dilakukan
polisi, Russi mengaku bersalah telah bersaksi atas surat suara orang‑orang
yang sudah mati dan dua orang lain yang sebetulnya tak pernah ada.
Sekalipun demlkian, Xavier Suarez tetap memenangkan pemilihan wali kota itu.
Pada 13 November Suarez dinyatakan sebagai wali kota baru, menggantikan Joe
Carollo. Keesokan harinya Carollo langsung mengajukan tuntutan ke pengadilan
terhadap Suarez atas tuduhan kecurangan dalam mempeloleh suara.
Sementara itu The Miami Herald tidak menghentikan investigasinya. Pada 9
Desember 1997 koran itu muncul lagi dengan temuan bahwa
kecurangan‑kecurangan yang terjadi ternyata ditemukan di semua TPS yang
berlokasi di rumah‑rumah milik teman‑teman Suarez dan Hernandez.
Kecurigaan semakin tebal. Tinggal bukti‑bukti baru yang perlu digali lagi.
Koran
itu kemudian menemukan cara untuk mencocokkan daftar nama para
pemilih—khususnya pencoblos di rumah‑rumah kroni Suarez dan Hernandez
dengan data pajak. Dengan segera tampak bahwa banyak surat suara yang terdaftar
atas nama orang‑orang yang beralamat di toko maupun gudang‑gudang
kosong. Padahal, seharusnya surat suara harus terdaftar pada alamat rumah.
Jumlah surat suara yang dicutigai mencapai 1.600 jiwa.
Dengan
data baru ini, The Miami Herald menambah jumlah wartawan di dalam tim
investigasi itu menjadi 16 orang. Mereka ditugasi untuk mewawanearai sebagian
besar dan 1.600 orang yang dicurigai itu. Banyak di antara mereka ternyata
sebetulnya tinggal di luar kota Miami dan tak berhak untuk ikut mencoblos. Hasil
awal menunjukkan bahwa kebanyakan, mereka dibayar 10 dollar untuk mencoblos
secara ilegal. Wartawan koran itu juga menemukan bahwa dana untuk money politics
itu diperoleh dari seorang bernama Jeffrey Hoskins. Jeffrey segera ditangkap dan
kemudian mengakui bahwa sebenarnya dana itu diperolehnya dari Raymond Molina.
Raymond. sayangnya, keburu kabur ke luar negeri sebelum sempat ditangkap.
Singkat cerita, Xavier Suarez segera kehilangan jabatannya. Ia, bersama ayah dan
empat kroninya, dijebloskan ke penjala. Joe Carollo diangkat kembali sebagai
Wali kota Miami.
Kisah ini sungguh merupakan studi kasus yang menarik bagi para wartawan
investigatif Indonesia. Dengan muneulnya ratusan media cetak baru, jurnalistik
investigatif merupakan competitive edge yang paling masuk akal. Sayangnya,
keterampilan untuk melakukan ]urnalistik investigatif masih belum cukup terasah
di kalangan wartawan Indonesia.
Ketika memeriksa hasil‑hasil tim wartawan investigatif dalam salah satu
pelatihan belum lama ini, saya mendapati bahwa para wartawan memang belum
memahami konsep the big‑story angle. Sebuah investigasi tentang
jual‑beli surat adopsi anak di Pengadilan Negeri Bekasi, misalnya, hanya
menceritakan kisah dua keluarga yang "diperas" oleh oknum‑oknum
Pengadilan untuk memperoleh keabsahan status legal terhadap anak pungut mereka.
Sekalipun ceritanya menarik, tetapi tak ada sisi baru yang tidak sebelumnya
diketahui khalayak pembaca. Apa yang baru bila ada hakim atau panitera minta
uang? Seandainya saja tim investigasi itu menemukan berapa besar sebetulnya uang
yang, berpindah tangan di Pengadilan Negeri Bekasi itu dalam sehari. misalnya,
maka the big‑story angle itu barangkali sudah ditemukan.
Sulit? Ya, memang! Pekerjaan wartawan memanglah bukan pekerjaan gampang.
Bondan Winarno, penulis lepas, e-mail:bwinarno@indosat.net.id Tulisan
ini pernah dimuat di rubrik Asal-Usul Kompas, 18 Juli 1999
Sedikit
Tentang Reportase Investigatif
Oleh:
Luqman Hakim Arifin2
Apakah
reportase investigatif itu? Siapa dan bagaimanakah reporter Investigatif itu?
Tentang
definisi investigative reporting atau reportase investigatif ini, tentu saja,
terjadi silang pendapat di antara banyak ahli. Menurut Robert Greene dari
Newsday bahwa liputan investigasi merupakan karya seorang atau beberapa wartawan
atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan.
Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa liputan itu
adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang
ditindaklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi merupakan kepetingan
bersama yang cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca
surat kabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang
mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik. 3
Dalam
bahasa Goenawan Mohamad, mantan pemimpin redaksi majalah TEMPO, reportase
investigatif merupakan jurnalisme "membongkar kejahatan". Ada suatu
kejahatan yang biasanya terkait dengan tindak korupsi yang ditutup-tutupi.
Wartawan yang baik adalah wartawan yang akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen
yang bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan dibelakangnya.
Apakah
ini berarti semua wartawan dapat menjalankan fungsi investigasi? Apakah semua
wartawan dapat menjadi reporter investigatif? Jawabannya bisa ya bisa tidak.
Sebagian mengatakan bisa dengan alasan sederhana. Bahwa jika obyek investigasi
adalah segala masalah di segala tempat dan waktu, yang penting berbau kejahatan,
maka semua wartawan dapat menjadi reporter investigatif. Sebaliknya sebagian
yang lain mengatakan tidak bisa. Alasannya bahwa untuk menjadi reporter
investigatif harus memiliki karakter-karakter khusus. Paling tidak reporter
investigatif adalah orang yang mempunyai "kepribadian yang agresif".
Lebih daripada itu, tuntutan yang paling dasar adalah apa yang oleh William
Lambert disebut "suatu ambang kegusaran yang rendah," atau suatu
kemampuan untuk marah. Jika ini tidak anda miliki, rasanya sulit bagi anda dapat
membongkar kejahatan-kejahatan yang menjadi obyek investigasi anda. Mengutip
Ben. J. Wattenber, "Reporter investigatif memiliki kecenderungan seperti
ikan piranha-mereka akan mengejar apa saja yang mengeluarkan darah."
Selain itu, tidak jauh berbeda dengan wartawan lainnya, yaitu memiliki
skill kejurnalisitkan yang mumpuni, vitalitas dan mau bekerja keras. Untuk lebih
jelasnya anda dapat melihat film "All The President Man" yang
bercerita tentang kerja dua wartawan Washington Post dalam mengungkap kasus
Watergate di Amerika Serikat. Dari film itu saya dapat meyakinkan anda bahwa
reportase investigatif memang lebih berat dari rata-rata pekerjaan jurnalisme
sehari-hari. Apa yang perlu diingat adalah bahwa anda tidak bisa menerima
mentah-mentah setiap peristiwa dan pernyataan yang anda dapatkan. Anda harus
melakukan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak
mengenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting. Di sini anda juga
tidak bisa hanya mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan
pers sebuah LSM.
Bagaimana dengan masalah waktu? Sebuah laporan investigasi biasanya
memakan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung
pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut.
Apa beda reportase investigatif dengan bentuk reportase lainnya, seperti
reportase dasar, reportase madya atau reportase lanjutan?
Bedanya dengan repotase lanjutan atau reportase analasis terletak pada
kemudahan dan kesukarannya mengumpulkan data dan menembus narasumber. Reportase
analisis, dalam kebanyakan kasus, tidak menemui banyak masalah, sebab biasanya
ia memberi penjelasan mengenai kejadian-kejadian umum dan bisa mendapatkan
banyak narasumber yang dengan senang hati membantunya. Bahkan, dalam reportase
analisis bidang politik, misalnya satu bahaya utama yang harus dicermati adalah
terlalu banyaknya narasumber yang ingin memberikan informasi yang berlebihan
demi kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, pada reportase investigatif
reporter cenderung mengalami banyak kesulitan. Itulah mengapa reportase
investigatif disebut sebagai pekerjaan membuka pintu dan mulut yang ditutup
rapat.
Bedanya dengan in-depth-reporting? Menurut Andreas Harsono, direktur
eksekutif ISAI, Investigative reporting adalah fase kelanjutan dari
in-depth-reporting. Dalam melakukan in-depth-reporting seorang wartawan bisa
berangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kiliping-kliping koran.
Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan
sebenarnya-setelah melakukan banyak wawancara, membaca tumpukan dokumen serta
mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya-saat itulah ia pada
titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan inilah yang
bersifat investigatif.
Bagaimana riwayat reportase investigatif?
Merujuk ke negeri Paman Sam, istilah reportase investigatif mulai populer
pada tahun 1975 ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters dan Editor
Inc. Sebelumnya ada istilah muckraking journalisme antara tahun 1902 hingga 1912
ketika majalah McClure asuhan Lincoln Steffens, Ida M. Tarbell, dan Ray Stannard
Baker ini menerbitkan artikel-artikel yang membongkar politik uang elit
Washington.
Di Asia, kembali menurut Andreas Harsono, Filipinalah yang pertama kali
memiliki organisasi semacam Philppnines Center for Investigative Journalisme
ketika sekolompok wartawan muda pada tahun 1989 mendirikan lembaga itu sesaat
setelah diktator Ferdinand Marcos melarikan diri dari Filipina.
Dan
pada November 1998 di Cambridge, Amerika Serikat, juga diadakan pertemuan
perdana dari International Consortium of Investigative Journalist yang
memberikan penghargaan buat wartawan-wartawan dari seluruh dunia yang berkarya
dengan baik di bidang investigasi. Dan untuk pertama kali penghargaan ini
diberikan kepada Nate Thayer dari mingguan Far Eastern Economic Review yang
berpangkalan di Hongkong atas jerih payah dan prestasi Thayer dalam mewawancarai
pemimpin Khmer Merah Pol Pot.
Bagaimana
dengan Indonesia? Tidak cukup jelas kapan istilah ini mulai populer. Namun
setidaknya saat ini ada beberapa majalah yang secara eksplisit pada tahun
1990-an menggunakan kata "investigasi" dalam liputan mereka; majalah
Tajuk dan TEMPO adalah dua contoh yang dapat dikedepankan. Sebelumnya, laporan
investigasi yang terkenal di Indonesia adalah liputan harian Indonesia Raya atas
kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Kini, sudah
tak terhitung lagi berapa banyak laporan investigasi yang telah dihasilkan
wartawan-wartawan Indonesia, salah satunya yang paling menarik adalah apa yang
dilakukan wartawan Freelence, Bondan Winarno tentang skandal emas Busang.
Apa
saja langkah-langkah menjalankan reportase investigatif?
Sheila Coronel, direktur Philiphines Center for Investigatif Journalisme
(PCIJ), secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh
bagian. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar.
Sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi. Ini
akan mempermudah seorang wartawan investigasi dalam mengatur sistematika
pekerjaannya.
Langkah
Pertama:
*
Petunjuk awal (first lead)
*
Investigasi pendahuluan (initial investigation)
*
Pembentukan hipotesis (Forming an investigative hypothesis)
*
Pencarian dan pendalaman literatur (literature search)
*
Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts)
*
Penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
*
Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (Interviewing
key informants and sources)
Langkah
Kedua:
*
Pengamantan langsung di lapangan (first hand observation)
*
Pengorganisasian file (organizing files)
*
Wawancara lebih lanjut (more interviews)
*
Analisa dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
*
Penulisan (writing)
*
Pengecekan fakta (fact checking)
*
Pengecekan pencemaran nama baik (libel check)
Trik-trik
Mengajukan Pertanyaan dalam Wawancara Investigasi:
Cara-cara
wawancara dibawah ini tidak serumit kedengarannya. Apa yang terpenting adalah
ajukan sebuah pertanyaan yang tajam, tapi ingat sepatah katapun dapat membedakan
sebuah
pertanyan bisa berhasil membuahkan informasi atau tidak!
1. Pertanyaan dalam wawancara investigasi tidaklah diperlakukan sama seperti
layaknya sebuah pertanyaan. Artinya bahwa informasi yang sedang kita korek harus
dianggap sebagai fakta yang sudah diketahui. Seorang reporter bukannya akan
bertanya, "Apakah anda pergi ke New Orleans bulan yang lalu?, melainkan ia
akan bertanya, "Mengapa Anda pergi ke New Oreleans bulan yang lalu?"
Walaupun sederhana teknik serupa sangat produktif.
2. Versi yang lebih canggih dari teknik ini, reporter menyembunyikan bagian
pertanyaan yang dianggap paling genting pada awal kalimat, dengan menempatkannya
di bawah sebuah tuduhan yang lebih mematikan: "Apakah betul bahwa ketika
Anda pergi ke New Orleans bulan lalu Anda menghabiskan akhir minggu Anda di
yacht milik Sneaky Oil Company?"
3. Versi yang lebih rumit lagi, yang dirancang untuk mengarahkan keseluruhan
wawancara, dijelaskan oleh Brit Hume dalam Inside Story (Doubleday, 1974).
Intinya Anda memulai dengan menuduh seseorang (yang diwawancarai) melakukan
sesuatu yang Anda sendiri tahu bahwa ia tidak mungkin terlibat di dalamnya.
Biasanya, dalam usaha menyangkal tuduhan Anda yang semena-mena itu ia akan
mengakui yang sebenarnya. Ini seperti sering dilakukan oleh para penagih hutang.
Jika mereka kesulitan menagih seseorang yang berutang 100 dolar, mereka
mengirimi orang itu surat yang menyatakan bahwa ia hutang 600 dolar dan harus
melunasinya untuk menghindari tindakan oleh pengadilan. Bisa dijamin ia akan
menjelaskan jumlah hutang yang sebenarnya. Taktik ini juga sering dilakukan oleh
polisi, dengan menuduh seseorang telah melakukan pembunuhan berencana padahal
mereka mempunyai dugaan kuat bahwa pembunuhan itu tidak direncanakan. Dalam
keadaan semacam itu kebanyakan orang akan memutuskan untuk lebih baik mengatakan
yang sebenarnya daripada harus menghadapi lebih banyak lagi tuduhan yang lebih
berat.
4. Versi lain yang mencakup serangkaian pertanyaan ditandaskan Jack
Anderson. Ia selalu mulai dengan mengajukan pertanyaan yang sudah ia ketahui
jawabannya. "Saat orang bersangkutan mulai bicara, saya berkata, 'Tunggu
dulu. Bukti-bukti pengadilan menunjukkan bahwa...' itu akan membuatnya
gelagapan." Taktik seperti ini
niscaya mampu membuat subyek merasa bimbang: seberapa banyakkah yang diketahui
oleh reporter ini?
5. Versi lain adalah wawancara "gertak". Bersikaplah bahwa anda
mengetahui sesuatu secara pasti. Reporter yang memperlihatkan ketidaktahuannya
justru akan melumpuhkan dirinya sendiri. Namun demikian, ini menuntut persiapan
yang matang.
Jenis-jenis
Pengakuan:
1. On the record. Semua pernyataan boleh langsung dikutip dengan menyertakan
nama serta gelar orang yang membuat pernyataan tersebut. Kecuali bila disepakati
lain, semua komentar dianggap boleh dikutip.
2. On Background. Semua pernyataan boleh langsung dikutip, tetapi tanpa
menyebutkan nama atau gelar tertentu orang yang memberi komentar itu.
3. On Deep Background. Apa pun yang dikatakan boleh digunakan, tetapi tidak
dalam suatu kutipan langsung dan tidak untuk sembarang jenis penyebutan.
Reporter harus menggunakan informasi yang diperolehnya untuk dirinya
sendiri, tanpa menyebutkan sumbernya, apakah dari sebuah departemen atau pejabat
pemerintah.
4.Off the record. Informasi yang diberikan hanya untuk reporter dan tidak
boleh dicetak atau disebarluaskan dengan cara apa pun. Informasi itu juga tidak
boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan bahwa informasi itu
kemudian boleh dikutip. Secara umum dimengerti bahwa rencana penyampaian berita
secara off the record harus disepakati terlebih dulu oleh reporter. Kebanyakan
reporter tidak mau menerima informasi yang off the record.
5. Affidavit adalah pernyataan tertulis, biasanya para saksi mata, yang
dibuat di bawah sumpah dihadapan notaris publik. Fungsinya sangat besar dan
penting. Pertama, narasumber Anda tidak bisa lagi berkata bahwa dirinya telah
dikutip secara keliru. Kedua, affidavit memperkuat berita. "Demikianlah,
sesuatu dengan affidavit dari lima pegawai negara bagian...."
***
Mengapa
harus wawancara? Jawabannya sederhana, karena dengan wawancara seorang wartawan
bisa menggali opini dan informasi tentang sebuah peristiwa/masalah. Wawancara
adalah jalan pintas. Karena wartawan tidak bisa selalu memperoleh semua berita
secara langsung sekalipun peristiwanya terjadi disekitarnya. Di sinilah perlunya
seorang wartawam melakukan rekonstruksi peristiwa/masalah melalui saksi mata,
mereka yang terlibat, atau pakar. Untuk melakukan wawancara ada beberapa hal
yang perlu diingat:
SEBELUM
WAWANCARA
1.
Menentukan Nara Sumber yang Tepat
Yang
penting anda tahu siapa yang anda butuhkan. Tidak harus orang besar, orang
penting atau orang terkenal. "Orang biasa" pun menjadi menarik dan
berharga jika ia berada pada saat yang tepat. Hanya saja, apa yang perlu kita
ingat kemudian adalah bahwa pembaca lebih respek pada jawaban-jawaban yang
diperoleh dari sumber atau tokoh yang lebih dekat dengan berita dan tahu tentang
permasalahan.
2.
Mempersiapkan Pertanyaan yang Cerdas.
Pertanyaan
yang cerdas tidak datang dengan tiba-tiba. Ia muncul dari otak yang selalu
diasah dan diisi. Seorang wartawan harus benar-benar tahu kata kunci
sebuah permasalahan dan mampu memetakannya. Dan itu pada dasarnya dapat
dipersiapkan dengan melakukan diskusi dan penggarapan tema yang intens.
Apa
keuntungan dan kerugian dari mempersiapkan dan tidak mempersiapkan pertanyaan
yang cerdas?
*
Anda tidak perlu memboroskan waktu anda untuk pertanyaan-pertanyaan yang
tidak perlu. Dari situ diharapkan terjadi ping-pong tanya-jawab yang hidup,
lancar dan berisi.
*
Menjadikan anda tidak mudah dibodohi oleh nara sumber. Anda akan lebih
gampang mengetahui bagaimana sikap nara sumber: enggan menyinggung topik yang
anda bicarakan atau hanya memberi jawaban sepihak dari suatu permasalahan?
Apa
akibatnya jika pertanyaan yang cerdas itu kurang dipersiapkan? Dijamin anda akan
terlihat seperti seseorang yang blo'on, karena muncul sikap ketergantungan
terhadap jawaban-jawaban nara sumber.
Ingin
tahu banyak hal seperti anak kecil adalah suatu hal yang positif, tapi sikap
seperti itu harus diletakkan pada tempatnya, kalau tidak, anda akan mengalami
kesulitan untuk mendeteksi mana ungkapan yang baru, penting atau kontroversial.
Wartawan
yang baik akan menyusun daftar pertanyaan berdasar urutan logis agar nara sumber
bisa menjawab secara berurutan dan sistematis. Caranya bisa dengan membuat
"bandul pertanyaan". Pada saat wawancara atau selesai wawancara
usahakan mencek pertanyaan-pertanyaan yang belum dan sudah dijawab. Anda tidak
perlu malu menanyakan ulang pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab atau
dijawab dengan tidak jelas.
Dalam
membuat pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya, kita tanyakan pada diri kita
sendiri; "Apakah para pembaca juga akan menanyakan pertanyaan yang saya
sampaikan? Mana fakta-fakta yang baru, penting dan manakah yang kiranya paling
disukai dan diminati pembaca pada umumnya?"
3.
Membuat Janji
Caranya,
bisa langsung dengan bertatap muka dengan nara sumber atau melalui telepon. Di
sini yang dibutuhkan adalah kemampuan lobby (merayu) seorang wartawan. Untuk itu
anda harus terbuka dan jujur dalam menerangkan identitas diri anda
Jangan
memakai jam karet. Datanglah tepat waktu. Kadang kesempatan tidak datang dua
kali.
Dan
untuk beberapa nara sumber yang sulit diwawancarai anda seperti perlu untuk
"bermain-main", menggunakan "trik-trik" khusus. Pengalaman
adalah guru yang terbaik.
4.
Mempersiapkan Alat-Alat
Ini
mudah tapi jangan disepelekan, bukan tidak mungkin hanya karena tape-recorder
yang macet atau kehabisan baterai, seluruh wawancara anda gagal total.
Apa yang harus dipersiapkan: tape-recorder, kaset, block note, ball-point atau
kamera.
KETIKA
WAWANCARA
1.
Basa-basi
Sebelumnya,
perlu diingat, sebagai seorang wartawan, paling tidak anda selain harus datamg
tepat waktu, adalah berpakaian pantas, sopan dan berpenampilan menarik dan
menyakinkan. (Saya tekankan ini!)
Dan
untuk menghangatkan suasana dengan nara sumber, pertama-tama seorang wartawan
perlu memperkenalkan diri secukupnya, ngobrol santai tentang masalah-masalah
yang sedang menghangat, sebelum akhirnya masuk ke topik permasalahan yang ingin
kita tanyakan.
Ini
tidak saklek. Lihat saja situasinya. Kalau nara sumber punya banyak waktu,
bolehlah cara ini anda lakukan. Jika tidak, usahakan pertanyaan-pertanyaan
penting anda ajukan terlebih dahulu, sehingga kalau kehabisan waktu, yang
tersisa adalah pertanyaan yang dianggap kurang penting.
2.
Melontarkan Pertanyaan yang Cerdas
Pertanyaan
yang baik adalah pertanyaan yang cenderung pendek, singkat, jelas dan relevan.
Di samping itu, usahakan spesifik. Pertanyaan umum cenderung akan menghasilkan
jawaban yang umum pula.
Untuk
itu, sebaiknya anda menghindari pertanyaan-pertanyan yang hanya dijawab dengan
jawaban "ya" atau "tidak", kecuali untuk masalah-masalah
tertentu (baca: trik-trik mengajukan pertanyaan).
Dan jika diperlukan anda bisa meminta nara sumber untuk menunjukkan
dokumen atau angka statistik yang mendukung argumentasinya. Atau meminta sumber
menggambarkan suatu bagan atau bahkan memperagakan bagaimana sebuah peristiwa
terjadi. Sekali lagi, tidak perlu malu-malu!
3.
Mengemudikan Wawancara
Seorang
wartawan harus bisa mengontrol wawancara: mulai dari pengajuan
pertanyaan-pertanyaan, mengarahkannya dan memutuskan untuk pindah ke pertanyaan
yang lain. Sehingga diharapkan informasi dari sumber benar-benar terkorek habis.
Wartawan
yang baik juga harus menjadi pendengar yang baik. Anda harus mendengarkan dengan
seksama untuk menyakinkan bahwa nara sumber telah menjawab pertanyaan yang
diajukan-dan untuk menyakinkan bahwa anda telah memahami jawaban yang diberikan.
Anda juga dapat meminta kepada nara sumber untuk mengulangi atau menjelaskan
kembali jawaban-jawaban yang dirasa kurang jelas.
Anda juga harus tanggap ketika nara sumber menyampaikan fakta-fakta baru
yang menarik. Kejar terus sedetail mungkin meskipun itu berada di luar
penugasan.
Dalam
pengertian tertentu, anda tidak perlu berdebat dengan nara sumber. Anda hanya
perlu mendorong nara sumber untuk mengungkapkan sejelas dan selengkap mungkin
pendapat dan informasinya. Dan jika nara sumber berbicara terlalu cepat, anda
dapat memintanya untuk memperlambat pembicaraan atau meminta mengulanginya.
Anda
juga harus bisa menganalisa bahasa non-verbal nara sumber anda: gerak tubuh,
mimik wajah, marah atau tertawa. Ini sangat penting ketika penulisan.
2. Mencatat atau Merekam
Ini
problem yang cukup serius, khususnya bagi pemula. Wartawan senior biasanya punya
saran: "Jangan menulis apapun selama wawancara berlangsung! Alasannya,
mereka khawatir jika anda menulis, sumber menjadi sungkan dan kurang bebas
mengungkapkan sesuatu. Juga, anda sendiri mungkin akan kesulitan dalam
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Jalan keluar terbaik adalah
merekam wawancara. Ini juga penting untuk jadi bukti.
Namun
demikian, ada juga beberapa wartawan yang anti-rekaman. Alasannya, "anda
akan kerja dua kali!", yaitu anda harus mentranskrip ulang. Logis juga
sebenarnya.
Bagaimana
dengan anda? Jalan keluar yang optimal adalah merekam sekaligus mencatat.
Wartawan mencatat secara cepat-terutama kata-kata kunci, ungkapan-ungkapan
menarik, angka dan nama. Belakangan, ketika membuat laporan, dia bisa mengecek
ulang ketelitiannya dengan memutar kembali rekamannya tanpa harus mendengarkan
seluruh rekaman.
Segera
setelah wawancara, seorang wartawan dapat memeriksa catatannya dan menuliskannya
ketika segala sesuatunya masih segar diingatan. Jangan ditunda, semakin lama
anda menunda, semakin banyak hal yang anda dilupakan.
|