Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/17/00]
|
GAMMA
Nomor 49-1 - 08-02-2000 PERS kadang memang bisa dianggap ngeselin. Tak
heran, bila akhir-akhir ini timbul tuduhan dari beberapa kalangan bahwa pers tak
arif dalam memberitakan konflik di Maluku. Lebih jauh lagi, pers tidak hanya
ikut memprovokasi, melainkan juga bersikap partisan dan diskriminatif. Tak
kurang dari Presiden Gus Dur, pada pertengahan Januari lalu, meminta pers agar
ikut mendinginkan situasi. Bukannya ikut manas-manasi. Seorang pengamat bahkan
mengategorikan berita tentang Maluku sebagai "berita buruk" atau bad
news yang memiliki dampak sangat negatif bagi proses rekonsiliasi di daerah
itu. Haskins, seorang pakar psikologi komunikasi mendefinisikan
berita buruk sebagai informasi baru tentang apa saja yang akan diinterpretasi
oleh bagian terbesar khalayak sebagai suatu hal yang negatif. Artinya, ia
bersifat tidak menyenangkan, kritis, berisi pertentangan, tidak sehat, tidak
bermanfaat, mengerikan, penuh kemarahan, antisosial, destruktif, menyakitkan,
berbahaya, secara sosial dan individu menimbulkan masalah, secara verbal atau
fisik memprovokasi kekhawatiran, melecehkan, atau segala sesuatu lainnya yang
pada umumnya dianggap kejadian yang tidak menyenangkan. Sedemikian burukkah dampak yang bisa diakibatkan media
pemberitaan terhadap masyarakat? Atau ini merupakan propaganda pihak tertentu
yang sengaja ditiupkan untuk menghantam media yang "tidak mengutip
keterangan resmi pemerintah"? Pada hemat saya, saat ini sedang terjadi gejala pemaksaan
penyampaian informasi dari tingkat elite politik kepada rakyat biasa di tingkat
bawah, sementara rakyat sendiri bergulat untuk tidak menelan mentah-mentah apa
yang mereka dengar dan diyakini tidak sepenuhnya benar. Lalu, di manakah pers
berdiri dalam persaingan pengaruh itu? Dengan ragu, pers Indonesia menempatkan diri di antara
keduanya. Terkadang ia terkesan menyuarakan keresahan rakyat, namun kerapkali ia
juga menjadi corong penguasa atau membawa kepentingan kelompok pemiliknya. Lebih dari setengah abad lalu, Ernie Pyle, seorang wartawan
perang Amerika yang meliput Perang Dunia II di kawasan Pasifik, menjadi
satu-satunya kolumnis di 400 surat kabar harian dan 300 majalah mingguan di
Amerika Serikat. Ernie Pyle memang bukan orang sembarangan. Ia melihat perang
dari kacamata yang tak lazim saat itu, "There is the war of maps and
logistics, of campaigns, of ballistics, armies, divisions and regiments that is
General (George) Marshall's war. And there is the war of the homesick, weary,
funny, violent, common men who wash their socks in their helmets, complain about
their food,... (Bales in Iyengar & Reeves 1997). Dengan cerdas ia memotret perang dari sisi lain. Ia tidak
ingin menjadi kepanjangan tangan para panglima perang dengan segala ambisi
mereka. Sebagai bagian dari pers yang kala itu dipandang liberal namun elitis,
ia memilih menempatkan diri sebagai rakyat biasa yang menjadi korban dari ambisi
penguasa dan sebagai tentara yang menderita di medan perang. Di negeri ini, media pemberitaan lebih tertarik dengan isu.
Ketika merebak isu provokator di Maluku, sejumlah media memilihnya sebagai framing
atau kerangka pemberitaan mereka. Sampai-sampai Ketua MPR Amien Rais menjadi
korban isu, ketika dirinya digambarkan oleh sebuah tabloid sebagai vampire
politik Indonesia yang harus bertanggung jawab atas korban-korban politiknya.
Media lainnya mencari aman dengan mengutip informasi Pemerintah tentang kondisi
terakhir di Maluku dalam kerangka pemulihan stabilitas keamanan. Sulit memang bagi media pemberitaan Indonesia untuk bisa
menunjukkan empati kepada rakyat, seraya tetap mempertahankan ketidakberpihakan
kepada golongan mana pun. Apalagi, dalam kasus Maluku terdapat bermacam-macam
kelompok yang saling bertikai. Alhasil, jika toh sebuah media berniat mengangkat
aspirasi satu kelompok, kelompok lawannya mungkin menjadi berang dan menuduh
media tidak netral. Di Amerika Serikat, yang menganut pers bebas sekalipun, tak
seorang jurnalis berani mengaku tak bias atau menganut jurnalisme putih. Mereka
selalu berdiri di atas salah satu kubu, liberal atau konservatif. Namun
demikian, tokoh-tokoh pers liberal seperti Tim Russert, Kepala Biro NBC di
Washington dan moderator acara "Meet the Press", atau tokoh
konservatif seperti Robert Bartley, pemenang hadiah Pulitzer dan penulis tajuk The
Wall Street Journal, tetap berjuang keras untuk mempertahankan kredibilitas
mereka dengan cara selalu mengangkat suatu isu dari dua sisi. Bagi pers Indonesia yang kini dikritik provokatif dan
meresahkan, kini saatnya harus menentukan posisi. Salah satu jalannya ialah
dengan memilih format peliputan yang "bicara dari nurani rakyat".
Misalnya, tentang kondisi masyarakat yang parah serta hancurnya infrastruktur
dan perekonomian pascakerusuhan di sebuah desa yang religius di Maluku. Atau,
tentang kesedihan yang menggelayuti lokasi pengungsian. Suatu liputan yang
bernuansa skeptis tapi konstruktif bagi program-program rehabilitasi pemerintah.
Saya memang tak bisa menawarkan solusi jitu bagi media agar
tak terjebak di dalam permainan aktor-aktor politik dan para provokator, atau di
dalam kesibukan menetapkan agenda framing untuk mempengaruhi opini publik
-sesuatu yang membuat media dituduh provokatif. Tapi, jika media bisa memiliki
prisma yang jernih untuk mengangkat isu kerusuhan, sehingga memantulkan liputan
yang jernih, objektif, dan tak berpretensi apa-apa, media pemberitaan bisa
dengan tegar menghadapi pengeras suara pemerintah yang lantang, yang
menyindirnya sebagai provokatif. Sekelebat terbersit tulisan mendiang Ernie Pyle, tokoh public
journalism yang berbicara dari hati nurani rakyat, "Liputan perang
berkisah tentang sang serdadu, bukan sang jenderal". "Pers
Indonesia kini saatnya menentukan posisi. Salah satu jalannya ialah dengan
memilih format peliputan yang bicara dari nurani rakyat ." |