Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/28/00]
|
TEMPO,
No 15 Tahun XXIV - 11 Juni 1994 Media
Massa dari Politik ke Bisnis Christianto
Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) PERATURAN Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang membuka
sektor media massa di Indonesia untuk modal asing, merupakan terobosan
deregulasi. Ini adalah bagian dari antisipasi Pemerintah untuk pelaksanaan
persetujuan GATT Putaran Uruguay. Di India, The Financial Times (FT) sudah
membentuk usaha patungan dengan kelompok penerbit lokal untuk menerbitkan FT
edisi India. Di Cina, McGraw Hill menerbitkan Business Week edisi bahasa
Mandarin, bekerja sama dengan BUMN RRC. Di Indonesia, setelah deregulasi awal Juni lalu, bukan
mustahil bila Dow Jones, FT, atau Time Warner, dan empat samurai Jepang,
Yomiuri, Asahi, Mainichi, dan Nikkei, akan mengetuk pintu Departemen Penerangan
untuk meminta SIUPP. Kalau Rupert Murdoch boleh meneken kontrak dengan Peter
Gontha (RCTI) dalam media elektronik, kenapa Katherine Graham (The Washington
Post) tidak bisa patungan dengan Jakob Oetama, atau siapa saja yang ingin
menggerakkan media massa Indonesia memasuki era Infobahn (information
superhighway) sesuai dengan laporan Newsweek 6 Juni lalu. Pers Indonesia, yang tumbuh sebagai alat perjuangan
politik, selama ini memang diproteksi terhadap modal asing. Tapi sebetulnya,
dari 100% produk pers, kandungan lokalnya tidaklah seberapa. Mesin cetak,
sebagian kertas, dan teknologi untuk proses produksi masih amat bergantung pada
impor. Bahkan sebagian berita juga berasal dari Reuters, AP, Dow Jones, AFP, dan
Kyodo, yang dijuluki Pentagon kantor berita global. Ini lebih-lebih berlaku di
media elektronik yang mayoritas programnya dikuasasi produk Hollywood. Sejak zaman Hindia Belanda, bahkan sampai 1957, Indonesia
boleh dibilang sudah mengenal industri pers yang dianggap mewakili kepentingan
elite kolonial dan bisnis Belanda. Kelas menengah Cina disuarakan oleh pers yang
dikelola oleh peranakan seperti Sin Po dan Keng Po. Sedangkan pers pribumi
mengandalkan solidaritas kaum ''tertindas'', dan sebagian mampu bertahan secara
mengagumkan. Perjuangan merebut Irian Barat menutup semua koran Belanda, lalu
proses asimilasi telah menutup koran berbahasa Cina, dan membaurkan penerbitan
milik keturunan Cina. Pada zaman Bung Karno, pers harus berafiliasi dengan
partai atau ormas politik dan ABRI, hingga mirip pola Pravda, organ resmi Partai
Komunis Uni Soviet. Bedanya, Warta Bhakti yang berhaluan kiri (Baperki) adalah
koran paling berjaya secara komersial waktu itu. Selama 1966-1974, terjadi bulan madu antara pers dan
Pemerintah. Maka, bisnis pers mulai tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Harian Nusantara tidak dibredel ketika menulis artikel tentang Bogasari,
sekalipun pemimpin redaksinya, Mr. T.D. Hafas, yang pernah bekerja di koran
Belanda Niewsgier, dituntut ke pengadilan atas dakwaan haatzaai artikelen
terhadap Presiden. Tahun 1974, peristiwa Malari mengubah sikap Pemerintah yang
akomodatif menjadi represif dengan membredel pers serta memberlakukan proteksi
berupa penghentian pengeluaran surat izin terbit (SIT) baru. Ini adalah awal
dari proteksi bidang pers bagi pendatang baru. Dengan pembatasan pengeluaran SIT atau SIUPP, dua
organisasi pers, yaitu PWI dan SPS, sebetulnya sudah bertindak selaku kartel.
Melindungi kepentingan penerbit dan wartawan yang sudah memiliki SIUPP, dan
membendung masuknya pelaku penerbit dan wartawan baru di pasar media massa. Pers
Indonesia menikmati proteksi yang luar biasa, baik terhadap masuknya modal dari
luar maupun terhadap pendatang baru domestik. Sisi lain dari proteksi berdalih
ingin memeratakan pasar melalui intervensi Pemerintah adalah pembatasan rasio
iklan dan jumlah halaman, yang secara ketat berlaku sejak 1980. Akibatnya, tarif
iklan di media cetak Indonesia termasuk salah satu yang termahal di dunia. Proteksi yang dilakukan selama satu generasi PJP I dan lima
Pelita telah berhasil mengorbitkan penerbit dan wartawan media massa masuk dalam
peringkat 200 pembayar pajak terbesar di Indonesia. Surplus dana dari pers yang
sukses dari pasar yang diproteksi -- akibat regulasi ketat itu mengalami
hambatan ekspansi -- terpaksa ditransfer ke sektor nonpers. Lahirlah pola
konglomerasi pers nasional ke sektor bisnis di luar pers, yang kemudian
dijadikan legitimasi untuk pembukaan arus modal raksasa dari grup Liem Sioe
Liong, misalnya, masuk ke bisnis media massa. Walaupun secara resmi SIUPP sudah
ditutup, ternyata terbuka peluang bagi lahirnya media massa baru milik elite
bisnis yang berkaitan erat dengan elite politik. Deregulasi siaran TV juga
merupakan arisan antar-elite yang itu-itu juga. Era Infobahn akan melihat merger dan konvergensi media
cetak dan media elektronik dengan komputerisasi canggih. Semua media cetak
global sudah terjun ke jaringan on-line database, termasuk Kompas, yang akan
diluncurkan awal pekan ini. Aliansi strategis antara perusahaan telkom, pers,
dan stasiun TV sudah terjalin untuk menciptakan sistem multimedia interaktif
yang kelak akan menggiring produk masing-masing secara terisolasi menjadi usang.
George Gilder dalam bukunya Life after Television meramal: adalah multimedia
masa depan bernama teleputer yang kelak akan menggantikan televisi yang bersifat
satu arah. Dalam konteks ini, deregulasi sektor pers yang memungkinkan
masuknya pendatang baru merupakan sesuatu yang positif untuk membongkar struktur
elite media massa yang bersifat kartel, yang menciptakan tarif iklan termahal di
dunia. Tentu banyak yang mengkhawatirkan nasib ratusan pemilik SIUPP, yang tidak
pernah mampu memanfaatkan peluang proteksi selama satu PJP dan lima Pelita. Tapi
adakah kepentingan sekitar 200 orang yang kebetulan pernah mempunyai privilese
mengantongi SIUPP, dengan bekal pertimbangan politis, harus terus dilindungi? Di
samping masalah interes mikro pelaku pers yang sudah mapan, ada masalah lebih
besar yang patut disyukuri. Jika modal asing masuk ke pers, barangkali
Pemerintah tidak akan secara gampang membatalkan SIUPP. Pembatalan tanpa proses
pengadilan akan mengundang campur tangan mahkamah International Center for the
Settlement of Investment Dispute dari Bank Dunia. Ironis bahwa perjuangan
kebebasan pers dari ancaman pembredelan justru telah dilakukan oleh Pemerintah
sendiri melalui langkah liberalisasi sektor media massa untuk modal asing. |