Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/15/00]
|
MEMAHAMI
EKSISTENSI ADA
dua cara yang lebih tepat dan proporsional untuk mendikusikan eksistensi dan
dinamika pers dalam masyarakat. Pertama,
menempatkan pers sebagai lokus, wilayah atau medium di mana informasi saling
dipertukarkan, dikirimkan, atau disebarluaskan. Kedua,
menempatkan pers sebagai entitas, sosok, atau lebih jauh lagi kekuatan sosial
dalam kerangka interaksi dengan berbagai kekuatan sosial lainnya dalam
masyarakat. Apabila
kita melihat pers sebagai lokus, wilayah atau medium pertukaran, pengiriman atau
penyebarluasan informasi, maka pers sering diposisikan sebagai refleksi atau
cermin dari realitas sosial. Ungkapan yang sering dikemukakan orang tentang hal
ini adalah bahwa pers adalah cermin masyarakat di mana dia berada.
Pandangan seperti ini kemudian melahirkan asumsi: apabila suatu media
berada dalam struktur kekuasaan yang otoriter, maka media akan mencerminkan
sikap-sikap dan nilai otoriter dari sebuah kekuasaan. Sebaliknya, dalam struktur
kekuasaan yang demokratis, maka media akan mencerminkan sikap-sikap dan
nilai-nilai yang demokratis. Kita
masih ingat empat teori pers yang diperkenalkan oleh Fred S. Siebert. Dikatakan,
suatu masyarakat yang menganut isme atau pandangan hidup liberal, maka persnya
pun akan berkarakter libertarian. Sementara dalam masyarakat yang menganut isme
atau pandangan hidup otoriter, maka persnya pun akan berkarakter otoritarian. Dalam
pandangan ini, pers lebih menjadi resiepen atau konsumen dari berbagai perubahan
atau interaksi kekuatan sosial ekonomi dan politik yang berada di luar dirinya.
Problematik yang sering muncul dalam posisi pers yang demikian adalah, bahwa
media diasumsikan lebih mencerminkan kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat,
sementara itu media tidak mampu merepresentasikan berbagai kepentingan yang
pluralistik. Manakala negara menduduki posisi dominan dalam kehidupan
masyarakat, maka pers lebih mencerminkan aspirasi dan kepentingan negara. Begitu
pula, manakala posisi produsen atau kapitalis lebih dominan berperan dalam
masyarakat, maka pers lebih menjadi agen dan pembela kepentingan produsen atau
kapitalis. Secara
metodologis, posisi media sebagai cermin ini sering menempatkan ia menjadi
wahana dalam mana orang ingin mengetahui atau meneliti berbagai
kejadian/peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat. Metode penelitian yang
paling sering dipakai untuk itu adalah analisis isi atau deskripsi isi
kualitatif. Kaum
kritis menilai cara seperti ini sangat berbahaya, terutama ketika realitas
sosial yang ditampilkan pers terdistorsi oleh kepentingan atau kekuatan dominan.
Sehingga apa yang dipublikasikan atau disiarkan pers lebih merupakan
pseudo-reality atau bahkan realitas palsu. Akibat lebih lanjut dari ini adalah
bahwa citra yang terbentuk di benak kita (khalayak pers) adalah citra semu atau
palsu. Anggapan
yang hampir mirip juga muncul dari kaum posmo (post modern) yang melihat media
massa, dalam hal ini pers, sebagai penyebar fiksi dan mimpi daripada realitas
atau kenyataan yang sebenarnya. (Ariel Haryanto, Kompas 12/1/1995). Berbeda
dengan pandangan kaum kritis, kaum posmo melihat distorsi realitas yang
ditampilkan pers lebih karena kemauan media sendiri dan bukan kehendak kekuatan
dominan. APABILA kita menempatkan pers sebagai sebuah entitas, sosok atau kekuatan sosial, maka pers sering diposisikan sebagai agen dari suatu perubahan sosial ataupun legitimasi sosial. Sebagai agen dari suatu perubahan sosial, pers dipercayai mempunyai pengaruh baik bagi perubahan kehidupan manusia maupun kepada sistem dan struktur sosial suatu masyarakat. Teori
modernisasi, misalnya, melihat pers sebagai variabel penting untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam sebuah sistem politik. Teori ini mengasumsikan
bahwa pers mampu menciptakan daya kritis serta membuka wawasan masyarakat
perihal berbagai peristiwa yang terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, pers juga dianggap mampu mengartikulasikan kepentingan masyarakat
yang beragam. Teori
modernisasi juga melihat pers sebagai alat masyarakat untuk mengontrol perilaku
kekuasaan yang cenderung buruk (power tend to corrupt) serta dianggap
sebagai unsur keempat dari pilar atau kekuatan demokrasi dalam kehidupan
politik. Akan
tetapi, teori modernisasi ini kemudian dikritik oleh teori kritis yang melihat
posisi pers secara terbalik. Pers dianggap lebih merupakan kekuatan legitimatif
bagi status quo daripada sebagai agen perubahan sosial. Lebih jauh lagi, teori
ini menganggap pers menjadi "aparatur" status quo, baik itu power
ataupun kapital. Anggapan-anggapan
demikian lahir karena pers diasumsikan sebagai kekuatan yang selalu lemah
berhadapan dengan surplus of power atau surplus of capital. Manakala pers
menghadapi sosok power -- baik itu berupa partai politik, militer, ataupun
negara -- yang berlebihan, maka pers cenderung lebih beradaptasi dengan power
tersebut. Begitu pula, manakala pers menghadapi kapital yang berlebihan -- baik
itu berwujud pemilik media, pemasang iklan, jaringan bisnis dan lain-lain --,
maka pers juga cenderung beradaptasi dengan kepentingan kapital tersebut. Pandangan
teori kritis ini, akhir-akhir ini mulai dikritik oleh kaum posmo yang melihat
bahwa media tidak selalu dapat dijinakkan oleh power maupun capital. Media
massa, dalam hal ini pers, dikatakan telah menjadi sosok yang otonom, punya
kemauan dan logikanya sendiri, terlepas dari kemauan dan kehendak
kekuatan-kekuatan eksternal, kekuatan-kekuatan di luar dirinya sendiri. (Ariel
Haryanto, ibid). Sayang
sekali kritikan kaum posmo ini hingga sekarang belum didukung data-data hasil
penelitian empiris. Sehingga banyak orang masih meragukan anggapan-anggapan kaum
posmo dalam melihat fenomena dan dinamika pers. Perlu diketahui bahwa hingga
kini kaum posmo memang tidak punya metode penelitian yang spesifik untuk mencari
data atau pun fakta empiris untuk mendukung argumen-argumen intelektualnya.
Sementara itu meminjam metode penelitian lain, ia khawatir akan dikatakan
terjebak pada kesalahan-kesalahan atau kekeliruan-kekeliruan metodologis yang ia
kritik sendiri. DENGAN
kerangka pikir demikianlah kita dapat mendiskusikan dan mengkaji secara
komprehensif berbagai persoalan pers di negeri ini. Apabila kita menempatkan
pers nasional sebagai lokus, dalam konteks relasi negara dan masyarakat di masa
Orde Baru sekarang ini, maka kesimpulan sementara yang dapat dikemukakan adalah,
pers Indonesia cenderung menjadi wilayah artikulasi kekuasaan negara (state
power) daripada aspirasi masyarakat (society). Misalnya, di dalam reportase pers
nasional terlihat bahwa frekuensi kemunculan wajah negara lebih dominan daripada
masyarakat. Sementara
dalam posisinya sebagai agen atau entitas, pers di Indonesia lebih cenderung
berperan sebagai legitimasi sosial daripada sebagai sarana kontrol sosial,
mengutip anggapan teori kritis. Kalaupun pers melakukan kontrol sosial, biasanya
ia disublimasikan ke dalam bahasa atau simbol-simbol yang euphimism, sehingga
masyarakat maupun negara kesulitan menangkap substansinya. Sementara
anggapan teori modernisasi bahwa pers berperan dalam meningkatkan partisipasi
politik masyarakat dan mendorong gerakan demokratisasi juga boleh dikatakan
tidak terasa. Belum pernah terdengar dalam sejarah Orde Baru bahwa reportasi dan
editorial pers berhasil mempengaruhi munculnya atau dicabutnya suatu
kebijaksanaan politik yang diciptakan pemerintah. Yang terjadi justru pers
sering menjadi obyek regulasi dan keputusan politik daripada mempengaruhi
terciptanya keputusan politik yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dalam
konteks inilah, mengutip pendekatan kritis, pers lebih bersifat legitimatif
daripada kritis dalam menghadapi realitas politik. Pers lebih berposisi sebagai
pendukung daripada sebagai pressure group dalam sebuah sistem politik. Akhmad
Zaini Abar,
pengamat media massa, bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan
Yogyakarta (LP3Y). |