Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/21/00]
|
Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998:
Menuntaskan Romantisme Sejarah1
Kalau benar bahwa pers mahasiswa mempunyai hakikat yang tidak terpisahkan
dengan kehidupan mahasiswa, maka ia adalah sebuah ruh. Ekspresinya bisa tebal
ataupun tipis, tetapi secara eksistensial ia ada: menyelinap kesana-kemari.
Suatu saat bisa teramat lesu, tetapi saat yang lain bisa sangat bergairah.3
Di samping itu, masih banyak tulisan
tersebar yang lain14 , yang selalu saja dikutip-kutip oleh para
"aktivis"—mengapa bukan "wartawan"?—persma dalam
diskusi-diskusi tentang sejarah dan dinamika persma Indonesia. Kesemua karya
tulis itu, selain memang merupakan dokumentasi ilmiah nan berharga, pada hemat
penulis, sebenarnya telah ikut menyumbang pada upaya-upaya "mitologisasi
romantisme" peranan pers mahasiswa dalam sejarah Indonesia modern.
Walhasil, para pegiat persma kerap kali terjebak: ingin meneriakkan demokrasi
dengan "D" besar, tanpa menghitung-hitung secara realistis
kemampuannya sendiri!
Dari peta sederhana tersebut, penulis menyimpulkan bahwa, sesungguhnya, selama
ini eksistensi pers mahasiswa adalah "ambigu". Personalitas persma
sebagai entitas menderita apa yang dinamai oleh psikologi modern sebagai "split
personality". Mengapa bisa begitu?
Meski kawan penulis itu lumayan romantis
dengan kiprah kesejarahan mahasiswa dan persma Indonesia, paparannya bisa
membantu penulis untuk menjelaskan di mana titik ambiguitas eksistensi persma.
Pada suatu saat, para awak persma akan dengan enak saja menikmati fasilitas—misalnya:
masuk seminar gratis, perlindungan khusus, dll.—yang biasanya dimiliki pers
umum. Namun, persma tidak bersungguh-sungguh untuk bekerja dengan tatanan dan
logika pers umum: perusahaan komersial, publisitas, periodisitas, faktualitas,
objektivitas berita, dll. Sedangkan pada saat yang lain, para awak persma
mengklaim dirinya sebagai salah satu elemen pergerakan politik mahasiswa.
Tetapi, ketika terjadi penggebukan aksi mahasiswa oleh militer, awak persma
mengaku-aku justru sebagai "wartawan mahasiswa". Pendek kata, persma
amat "serakah", mau enaknya sendiri.
Era Baru, Pasca-21 Mei 1998 Dari semua paparan di atas, penulis lantas jadi agak "sedih". Barangkali, memang beginilah nasib mahasiswa-mahasiswa di negeri miskin seperti Indonesia. Mereka tidak saja dituntut untuk belajar tekun dan menguasai bidang ilmunya masing-masing, tapi kondisi negara-bangsanya yang masih runyam mengharuskan pula mereka untuk turun tangan: sekali-kali demonstrasi menentang sikap-sikap antidemokratis para penguasa, juga menawarkan solusi paradigmatik untuk menyelesaikan itu semua. Is it possible? Hopefully. BALAIRUNG Mencoba Memilih Saat ini, BALAIRUNG memiliki lima divisi
plus "divisi umum". Berikut struktur ringkasnya:
Pada Divisi Redaksi, kami menderivasikan ISJ ke dalam metodologi penggarapan tema Majalah BALAIRUNG, yakni kami sebut dengan "jurnalisme integral", yang sudah kami aplikasikan sejak kepengurusan setahun lalu (1999—2000). Penjelasan gampangnya, kami menggarap suatu isu dalam kerangka abstraksinya yang paling mendasar. Dari sana, kami membuat derivasinya dan diterapkan ke dalam rubrikasi. Harapannya, suatu isu akan bisa kami kaji secara tuntas, multiperspektif, multidisiplin, baik isu nasional maupun global. (Catatannya, konsep ini sebenarnya menjadi pilihan sementara kami. Pilihan—setidaknya yang mendekati—final kami dalam kerangka reposisi persma ialah BALAIRUNG akan menjadi "jurnal mahasiswa", bukan cuma majalah berita/isu, sebab sudah lama ada tuntutan di antara kami agar isu-isu yang dikaji BALAIRUNG bisa tuntas. Untuk mencapai derajat ketuntasan yang tertinggi, ya, melalui karya-karya tulis ilmiah versi jurnal yang memungkinkan analisis masalah dengan daya abstraksi dan teorisasi yang kuat.)27 Di samping menerbitkan "majalah semi jurnal", dan cocok dengan gagasan Didik Supriyanto agar persma kembali ke komunitas asalnya lagi, BALAIRUNG menerbitkan pula BALAIRUNG Koran, yang diproduksi dalam periode mingguan. Sementara ini formatnya masih koran dinding, lay-out sederhana (montase manual), fotokopian pada kertas A-2, dan kami tempel-siarkan ke dinding-dinding pengumuman 18 fakultas di UGM. Jika Majalah BALAIRUNG memfokuskan penggarapan isu-isu nasional dan global, maka BALAIRUNG Koran memilih fokusnya pada berita-berita (baca: isu-isu) internal kampus UGM.28 Penerbitan BALAIRUNG Koran ini juga untuk mendukung kerja sama jaringan internet persma se-Indonesia dengan Detikcom melalui situs <www.detik.com/kampus>. Dengan menerbitkan BALAIRUNG Koran, selain kami back to campus, berita-berita seputar UGM bisa kami siarkan secara internasional, yang tentulah tak berbeda dengan persma-persma lain.29 Kemudian, dalam Mubes BALAIRUNG, 3—4 Juni 2000, kami memutuskan untuk mengembangkan secara lebih serius media on-line, dengan memberi keluasan otoritas pada divisi baru: Divisi BALAIRUNG On-line. Hingga kini, situs <balairungnews.com> kami anggap sangat prospektif. Rata-rata, situs <balairungnews.com> dimasuki oleh 20 pengunjung dalam sehari.30 Pada sisi lain, Divisi Perusahaan BALAIRUNG pun terus berbenah. Divisi yang membawahi tiga subdivisi (Iklan, Sirkulasi, Promosi) ini terus melebarkan jaringan pemasaran Majalah BALAIRUNG. Data survei kami pada 1999, BALAIRUNG kini telah didistribusikan—melalui agen-agen distribusi dan toko-toko buku—ke berbagai wilayah secara konsisten: DI Yogyakarta (36,5%); DKI Jakarta (32%); Jawa Timur—Surabaya dan Malang (10,35%); Jawa Tengah—Semarang dan Solo (9,33%), Jawa Barat—Bandung (3%), Sumatra—Medan, Palembang, Pekanbaru, Padang (5,8%); Kalimantan—Balikpapan, Samarinda, Pontianak (1,89%); Sulawesi—Ujungpandang, Menado (1,17%); di samping kami sebarkan kepada relasi dan persma seluruh Indonesia (0,6%). Sejumlah biro iklan di Jakarta merupakan "penolong" kami dengan suplai iklan mereka. Dan, pelbagai upaya promosi BALAIRUNG dilakukan untuk terus mendongkrak angka penjualan di pasar.31 Selain itu, Divisi Litbang BALAIRUNG kini kembali menuntaskan proyek Pusat Informasi Pers Mahasiswa Indonesia (PIPMI), dengan bantuan infrasturktur dari Institut Stusi Arus Informasi (ISAI) yang kami peroleh pada 1998. Target kami, PIPMI akan menjadi research centre tentang persma Indonesia yang lebih lengkap lagi—bantuan kawan-kawan persma Indonesia tentu amat kami harapkan, terutama lewat pengiriman medianya. Divisi ini pun memfokuskan garapannya pada usaha penelitian-penelitian sosial, diskusi rutin, dan pembangunan basis data BALAIRUNG. Yang terakhir, kami mendirikan pula divisi baru, yaitu Divisi Produksi, supaya pekerjaan cetak-mencetak segala produk BALAIRUNG menjadi lebih terencana dan efisien. Bila redaksi sudah menyelesaikan pekerjaannya hingga naskah dan foto-foto siap, Divisi produksi bertanggung jawab terhadap proses lay-outing dan pencetakannya. Lantas, Bagian Sirkulasi akan segera mendistribusikan BALAIRUNG ke seluruh pelanggannya. Demikianlah, kami berusaha seoptimal mungkin, dengan berbagai kompromi terhadap persoalan-persoalan klasik persma. Harapan sederhana kami, setidak-tidaknya, BALAIRUNG dapat menjadi "wahana tercurahnya pikiran-pikiran kritis, analitis, dan inovatif dari komunitas intelektual muda dan ilmuwan, untuk saling mengisi dan menggagas dalam dialog demi masa depan kemanusiaan".32 Apa lagi yang tersisa milik kita jika bukan komitmen, motivasi, dan optimisme? Makna Zaman Kota Gudeg, Yogyakarta, 17
September 2000
1 Kertas kerja ini didiskusikan pada acara Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa, 18—19 September 2000, di Gedung Dewantara, Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. 2 Penulis saat ini menjabat Pemimpin Umum Majalah Mahasiswa Universitas Gadjah Mada BALAIRUNG periode 2000—2001, dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Linguistik, Fakultas Sastra UGM. Dalam perumusan wacana ini, penulis banyak dibantu oleh Nino Aditomo (PU Bulaksumur, mitra debat yang setia—penulis berharap Nino pun bisa ikut menyumbangkan ide-idenya yang cemerlang dalam forum ini, namun sayang situasi belum mengizinkan), dan kawan-kawan Komunitas B-21 lainnya, serta sahabat-sahabat Komunitas Sawitsari—terutama Mas Andy atas pinjaman PC-nya. Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka semua atas diskusi-diskusi yang hangat dan intensif. Pada akhirnya, tanggung jawab "akademis" kertas kerja ini ada pada penulis sepenuhnya. Namun, benarkah "wartawan" dapat menulis paper yang benar-benar "ilmiah"? Semoga! 3 BALAIRUNG, Edisi 13/Tahun V/1991. 4 Penulis terheran-heran sekaligus takjub ketika membaca majalah Fortune, December 6, 1999, yang memaparkan kerajaan informasi berteknologi tinggi milik Alwaleed sebagai cover story-nya. Bukan saja bisnis ini di Semenanjung Arab dia kuasai, namun jumlah sahamnya di Silicon Valley lumayan mencengangkan. 5 Time, October 12, 1998: "The 50 Most important People in Cyberspace". 6 Lihat laporan utama majalah Asiaweek (July 4, 1997), yang judulnya istimewa: "McChina: American Pop Culture is Sweeping the Mainland". Diskotek, McDonald, Coca Cola, dan jins Levi’s menjadi pemandangan sehari-hari bukan saja di negeri komunis itu, namun di hampir seluruh penjuru bumi. Viva America? 7 Lihat analisis Ignatius Haryanto, "Boom! Penerbitan Baru", dalam Independen Watch!, No. 2/Th. I/Juni 2000. Kesan penulis, menakjubkan! Hingga April 1999 saja, Deppen—sebelum dilikuidasi oleh Gus Dur—mengeluarkan 852 SIUPP baru. Jumlah sekarang tentu meningkat lagi. Selain itu, harian Kompas edisi ulang tahun ke-35, 28 Juni 2000, menyiarkan sejumlah karangan yang amat penting untuk diacu dalam diskursus pers nasional: Onno W. Purbo, Atmakusumah, A. Muis, Asvi Warman Adam, Ishadi S.K., Ashadi Siregar, dll. 8 Suatu analisis termutakhir yang menarik tentang ini, lihat Ariel Heryanto, "Industrialisasi Pendidikan", dalam Basis, Nomor 7—8/Tahun ke-49/Juli—Agustus 2000. 9 Namun, tampaknya, para pegiat persma "menikmati" kontradiksi-kontradiksi tersebut, dengan sejauh mungkin melakukan inovasi-inovasi pada semua aspek pengelolaan persma. Penulis menangkap gejala ini setelah banyak melakukan studi banding dengan persma-persma yang mengunjungi BALAIRUNG. 10 Masmimar Mangiang, dalam sebuah karangannya berjudul "Mahasiswa: Ilusi Sebuah Kekuatan" (Prisma, No. 12/Desember 1981), menganggap—dan penulis sepakat—bahwa kekuatan gerakan mahasiswa untuk memelopori perubahan cuma "ilusi". Kalaulah Angkatan ’66 yang dijadikan nostalgia, maka angkatan itu memang cuma mitos sebab tak ada tawaran paradigmatik pasca-aksi, selain banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa ’66 justru di-setting oleh militer. Yang tragis, para arsitek Angkatan ’66, yang pada masanya menjadi pelopor aksi-aksi massa melawan kekuasaan despot, kemudian malah menjadi arsitek proyek pembelengguan kemerdekaan mahasiswa pada 1980-an. Periksa pula Prisma, No. 6/Juni 1987, yang menurunkan laporan serial diskusi aktivis mahasiswa (angkatan 1980-an) di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, April—Mei 1987. 11 Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983). 12 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974 (Jakarta: LP3ES, 1985). 13 Didik Supriyanto, Perlawanan Pers mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal, 1998). 14 Antara lain, Koran Mahasiswa UMI-Makassar Cakrawala Ide, dalam edisi perdananya (1994) diturunkan laporan utama dengan judul wah: "Bangkitlah Pers Mahasiswa"! Majalah Time edisi March 30, 1998, menyebut persma Indonesia sebagai "behind the scenes"—penggerak Reformasi Mei 1998 yang terduga. Disertasi David T. Hill dari Murdoch University, Australia, berjudul The Press in New Order Indonesia (Perth: UWAP, 1994) menyinggung sedikit tentang persma. Bagian termenarik dari buku itu ialah Chapter 4, "The Rise of Press Empires", yang mengupas soal konglomerasi pers di Indonesia. 15 Luqman Hakim Arifin, "Cerita Panjang dari Lombok", dalam BALAIRUNG, Edisi 32/Tahun XV/2000. Biarpun begitu, beberapa proposisi Luqman—selain kategorisasinya tidak tepat, terutama yang berkaitan dengan penjajaran antara "pers" sebagai entitas abstrak dan "mahasiswa" sebagai entitas konkret—bahwa mahasiswa dan pers itu "pelopor perubahan, konsekuen, independen, besar, agung" belum bisa saya setujui sepenuhnya. Bagi saya, diksi seperti ini jelas telah berlebih-lebihan. 16 Didin S. Damanhuri, Menerobos Krisis: Renungan Masalah Kemahasiswaan, Intelektual, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985). 17 Sastrawan Seno Gumira Adjidarma pernah menulis cerpen yang amat fenomenal: "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi". Sastrawan putra fisikawan Nang Seno ini berteriak, "Bagaimana caranya menertibkan imajinasi?!?!" 18 Buku Bahasa dan Kekuasaan: Politk Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996—editor: Yudi Latif dan Idy Subandy Ibahim) menjelaskan kepada kita soal ini lebih gamblang. 19 Sengaja hal ini penulis tandaskan untuk menandai bahwa 21 Mei 1998, hari ketika penguasa-despot Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden RI setelah selama 32 tahun berkuasa, kemudian menjadi satu titik penting dalam sejarah Indonesia, yang membuka banyak kemungkinan baru bagi penataan ulang perikehidupan masyarakat, dan sekaligus memunculkan efek yang dahsyat: kerusuhan sosial, booming pers, resesi ekonomi berkepanjangan, dan masih banyak lagi. 20 Ignas Kleden, "Kebebasan Pers atau kemungkinan Berkomunikasi?" (kata pengantar), dalam Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987). 21 Gejala ini terjadi juga di BALAIRUNG. Bila ditilik secara seksama, BALAIRUNG terbitan 1997—1998 hampir semua mengupas isu politik dengan perspektik yang sangat leftist: edisi "Gerakan Buruh", "Hitam-Putih Pasca-Soeharto" (plus polling yang menghasilkan kesimpulan bahwa 70,3% mahasiswa UGM tidak setuju bila Seharto dipilih lagi sebagai presiden dalam SU-MPR 1998), "Carut-Marut Gerakan Kerakyatan", dan "Bebas Hambatan Ideologi Kiri". Penulis melihat bahwa gejala ini sangat wajar, terjadi pula pada hampir semua persma. 22 Saat ini, penulis sedang membantu seorang mahasiswa post-graduate Departemen Linguistik dari Deakin University, Australia, yang sedang menyusun tesis tentang bahasa jurnalistik persma yang terbit pada sekitar Mei 1998. Sebentar lagi semoga kita bisa melihat hasil analisisnya. 23 Untuk ini, periksa Parakitri Tahi Simbolon, "Mencari Dataran Berpikir Baru", dalam Prisma, No. 2/Februari 1980. Kata Parakitri, "kolonialisme" merupakan suatu teori kemasyarakatan umum yang pertama yang pernah dilahirkan oleh pribumi Indonesia dengan sikap nonkooperasinya terhadap Belanda. Itulah hasil dialektika pemikiran yang cukup lama di antara angkatan Dr. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno, dkk. 24 Kasus "perpecahan" dalam tubuh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI—organisasi metamorfosis IWMI, SPMI, dan IPMI), yang dipelopori oleh para pegiat persma Yogyakarta, adalah sesuatu yang sangat wajar dan biasa. Selama ini, terjadi tarik-ulur antara pemikiran realistis dan idealis. Setidak-tidaknya, menurut hemat penulis, kita memang tak mungkin lagi untuk membuat organisasi yang kesibukannya adalah "berkongres untuk berkongres lagi". Lihat Luqman Hakim Arifin, op. cit. 25 Didik Supriyanto, "Reorientasi Pers Mahasiswa", dalam BALAIRUNG, Edisi 29/Th. XIV/1998. Di antaranya, Didik menilai bahwa kontribusi persma pada gerakan penggulingan Soeharto tidaklah signifikan. Persma juga sudah teralienasi dari komunitasnya sendiri, di samping unsur periodisitasnya sudah terabaikan. Kata Didik, kalaulah persma tetap ingin "omong besar", setidaknya itu dikontekskan dengan komunitasnya. Lantas, Bhayu Mahendra, seorang mantan aktivis Bergerak! (UI), menanggapi tulisan Didik tersebut melalui karangannya yang berjudul "Pers Mahasiswa Era Reformasi" (BALAIRUNG, Edisi 30/Th. XIV/2000). Bhayu justru menganggap persma punya peran yang tidak bisa diabaikan semasa gelombang aksi Reformasi 1998, misalnya lewat media-media aksi temporer seperti Bergerak!, Gugat, dll.—seperti yang sudah saya sebut di muka. Perdebatan wacana reposisi persma ini, bahkan sampai makalah ini ditulis, masih memenuhi ruang-ruang diskusi di markas BALAIRUNG. Paling tidak, penulis di sini berusaha merangkumkan itu semua. 26 Meski sebenarnya "sistem integral" adalah bahasa yang sangat umum dalam ilmu manajemen, namun kami memiliki sejumlah spesifikasi pemaknaan yang subjektif. Terutama, kami merumuskan turunan konsep sistem integral itu pada masing-masing divisi. 27 Dalam bahasa kami, lebih-kurang, BALAIRUNG sekarang tidak ubahnya dengan "Prisma yang Tempo" atau "Scientific American yang Time". Jadi, bagaimana cara mengemas "pikiran jurnal" menjadi "majalah berita populer"? Itulah eksperimentasi yang terasa lezat. 28 Ketika makalah ini ditulis, BALAIRUNG Koran kami hentikan penyiarannya setelah mencapai 13 edisi dalam tiga bulan. Kami sedang melakukan kajian SWOT untuk mereposisinya. Paling tidak, selain untung-rugi finansialnya, kadar efektivitas dan kesiapan manajemen SDM merupakan pertimbangan penting kami. Rekan kami serumah di Bulaksumur B-21, SKM Bulaksumur, menerbitkan newsletter mingguan Bulaksumur Pos yang dibagikan secara gratis (beroplah antara 2000—4000 eksemplar), penulis nilai merupakan suatu pilihan yang tegas untuk kembali kepada community paper—yang merupakah "khittah" pendirian SKM Bulaksumur. Bagi penulis, pilihan tegas semacam ini membuka jalan baru, berikut berbagai kemungkinannya, bagi reposisi persma yang amat penting. Di Yogyakarta, community papers banyak diterbitkan di kampung-kampung, misalnya Angkringan, Karangmalang Pos, dll. 29 Dalam persiapan perumusan kerja sama pers kampus on-line dengan Detikcom, BALAIRUNG pernah menggelar acar Seminar "Cybermedia: Menuju Pers Kampus On-line", 24 Februari 2000, yang menghadirkan para pemakalah: Budiono Darsono (Detikcom), Didik Supriyanto (AJI), dan Yayan Sopyan (Agrakom). 30 Sayangnya, kami melihat bahwa Detikcom justru "tidak serius" menggarap ini. Semenjak memorandum of understanding (MoU) ditandatangani bersama antara Detikcom dan persma, 24 Februari 2000, Detikcom masih berutang banyak: launching yang belum dilaksanakan, biaya operasionalisasi bulanan yang macet, dll. 31 Pedoman Kerja Sama Iklan BALAIRUNG, 1999. Salah satu upaya promosi terakhir kami (untuk BALAIRUNG edisi Spiritual), selain lewat pengiklanan BALAIRUNG di Republika, Kedaulatan Rakyat, dan radio-radio di Yogyakarta, ialah dengan menyelenggarakan acara Lesehan Spiritual di Hotel Natour Garuda, Yogyakarta, 21 Agustus 2000, mengundang pakar meditasi Anand Krishna—yang buku-bukunya (38 judul) dibredel oleh penerbitnya sendiri: Gramedia. 32 Draf Keputusan Mubes BALAIRUNG, 15 April 1999. |