Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/18/00]
|
diambil dari Kompas, Senin, 23 Desember 1996 MASALAH kemungkinan perubahan UU (Undang-undang)
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers menghangat kembali akhir-akhir ini. Menurut
Menteri Penerangan Harmoko, UU tersebut telah berlaku selama 14 tahun, karena
itu harus disesuaikan, khususnya yang mencakup pengembangan teknologi
profesionalisme dan operasionalisasinya. (Kompas, 12/12). Undang-undang No 21/1982 sebenarnya merupakan perubahan
langsung dari UU No 11/1966. Sedangkan UU No 4/1967, walaupun esensinya juga
mengubah UU No 11/1966, namun judul dan isi UU tersebut sebenarnya merupakan
penambahan terhadap UU No 11/1966. Dalam UU No 4/ 1967 tentang "Penambahan
UU No 11/ 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers" tersebut ditambahkan
satu ayat dalam pasal 21 UU No 11/1966, yang menegaskan bahwa dengan berlakunya
UU No 11/1966 maka ketentuan-ketentuan dalam Penetapan Presiden No 4/1963 yang
mengatur tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat
mengganggu ketertiban umum, khususnya mengenai buletin, surat kabar-surat kabar
harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, dinyatakan tidak
berlaku lagi. DALAM UU No 11/1966 yang lahir 21 tahun setelah berlakunya
pasal 28 UUD 1945, hak-hak pers untuk melakukan fungsi kontrol benar-benar
dijamin. Karenanya, dapat dikatakan bahwa UU No 11/1966 itu telah sesuai dengan
jiwa pasal 28 UUD 1945. Misalnya, ketentuan pasal 3 UU tersebut menegaskan bahwa
pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat korektif dan
kosntruktif. Namun, dalam UU No 21/1982 kata "korektif" tadi
dihilangkan. Fenomena lain yang menarik dalam UU No 11/1966 ialah
kedudukan pemerintah (yang dalam beberapa pasal adalah "Menteri
Penerangan") dan Dewan Pers adalah sejajar. Karena itulah dalam beberapa
pasal kita temui adanya rumusan "pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Pers". Misalnya dalam ketentuan pasal 13 ayat (2) tentang pengaturan
terhadap wartawan dan dalam ketentuan pasal 18 ayat (2) tentang pengaturan
terhadap wartawan asing. Namun dalam UU No 21/1982, kedudukan Dewan Pers (yang juga
diketuai Menpen) menjadi berada di bawah Menpen, karena dalam UU tersebut
rumusan "pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers" diubah
menjadi "pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers". Dengan
demikian, ketentuan tersebut semakin memperkukuh kedudukan Menpen dalam
melakukan "pembinaan" terhadap pers. Ketentuan lain yang juga menunjukkan sejalannya UU No
11/1966 dengan pasal 28 UUD 1945 adalah penegasan dalam pasal 5 ayat (1)-nya
bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Di
samping itu ketentuan pasal 8-nya juga menegaskan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekat
Demokrasi Pancasila (ayat 1) dan untuk ini tidak diperlukan Surat Izin
Terbit (ayat 2). Namun dalam UU No 21/1982, ketentuan pasal 8 UU No 11/1966
tersebut "diterobos" dengan munculnya tambahan ayat baru yaitu pasal
13 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk "membelenggu"
kehidupan pers. Tambahan ayat baru tersebut pada intinya menegaskan bahwa setiap
penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan pemerintah. Karena tidak termasuk
dalam pengecualian yang disebutkan dalam pasal 1 angka 3 UU tersebut, maka
pengertian "pemerintah" dalam UU ini adalah sama dengan "Menteri
Penerangan". BERDASARKAN pasal 13 ayat (5) UU No 21/1982 itulah Menpen
kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 01/Per/Menpen/
1984 tentang SIUPP. Dengan adanya ketentuan ini, pers baik perusahaan maupun isi
beritanya, diperlakukan sebagai suatu perusahaan. Konsekuensinya, jika isi
berita pers tersebut dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai "pers yang
bebas dan bertanggungjawab" maka perusahaan persnya dapat dibubarkan karena
SIUPP-nya dibatalkan Menpen. Pembatalan SIUPP dalam realitasnya sangat merugikan
perusahaan pers. Betapa banyaknya pihak yang mengalami kesengsaraan karena
dibatalkannya SIUPP. Menurut Menpen Harmoko, dalam perubahan UU
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang direncanakan, ketentuan mengenai SIUPP itu
masih tetap akan ada karena "SIUPP itu justru untuk melindungi penerbitan
pers dan juga melindungi masyarakat" (Kompas, 12/12). Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan di hati penulis,
kalangan pers dan penerbitan manakah yang telah terlindungi dengan adanya
ketentuan tentang SIUPP itu? Telah terlindungikah para wartawan dan keluarganya
serta para pedagan asongan dengan dibatalkannya SIUPP media-media massa Sinar
Harapan, Prioritas, Tempo, Editor, dan Detik? Dari segi hukum dapat dipertanyakan, bisakan suatu
perusahaan pers dibubarkan semata-mata hanya karena isinya dianggap tidak lagi
mencerminkan kehidupan pers yang sehat dan pers yang bebas dan bertanggungjawab?
Tolok ukur apakah yang dapat dipergunakan suatu pers
"bertanggungjawab" atau tidak? Apakah suatu pers yang justru
menyuarakan "amanat hatinurani rakyat" dengan memberitakan sesuai
dengan fakta yang ada justru dinilai "tidak sehat" dan "tidak
bertanggung jawab?" Pembubaran perusahaan pers karena isi beritanya sebenarnya
tidak sesuai dengan nilai-nilai "profesionalisme" sebagaimana
dinyatakan Menpen. Karena itu, dalam perubahan UU No 21/1982 yang akan datang
nilai-nilai tersebut harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan itu, penulis menilai telah tiba saatnya
untuk mencabut Permenpen tentang SIUPP tersebut, karena tidak sesuai dengan
nilai-nilai profesionalisme pers dan gejolak perubahan zaman yang makin mengarah
pada keterbukaan. |