Apa PIPMI
Berita Terbaru
Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus
Artikel
resensi
tips
untuk sementara situs ini dikelola oleh
Litbang Majalah Balairung
© Majalah BALAIRUNG
2000
webmaster
[11/17/00]
|
Polemik
Kompas tentang polling
Jakarta—Kompas, Rabu, 10 April 1996
Afan Gaffar Nilai
"Polling Kompas" Soal KIPP "Gombal"
Pengamat politik Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta Dr Afan Gaffar menilai jajak pendapat (polling) yang dilakukan
Harian Umum Kompas soal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara akademis.
Penilaian Dr Afan Gaffar tersebut disampaikan dalam diskusi "Signifikasi
KIPP bagi pengembangan Demokrasi di Indonesia" yang diselenggarakan Center
for Policy and Development Studies (CPDS) di Jl Suwiryo 39 Menteng Jakarta Pusat
hari Selasa (9/4). Selain Afan, diskusi yang dipandu Sekjen PP Masyarakat Ilmu
Pemerintahan Indonesia (MIPI) Ryaas Rasyid tersebut juga menghadirkan Sekjen
KIPP Mulyana W Kusumah. Di antara peserta tampak hadir, Ketua Litbang DPP Golkar
yang juga Direktur CPDS Din Syamsudin, pimpinan PP Muhammadiyah Lukman Harun,
Fachry Ali, AM Fatwa, Redaktur Pelaksana Majalah Gatra Amran Nasution, Assospol
Kassospol Mayjen TNI Suwarno serta Dewan Pertimbangan Nasional KIPP Adnan Buyung
Nasution.
"Ada koran atau majalah yang melakukan polling soal KIPP dan menyimpulkan
50 persen respondennya setuju KIPP. Bagi saya itu gombal," kata Afan. Dia
mempertanyakan, apa sampling frame dari polling tersebut. "Juga berapa
marginal error-nya. Jika di AS `kan semua itu jelas ada. Bagi saya polling di
koran itu tidak ada arti dan makna apa-apa. Polling Kompas itu secara akademis
tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Dalam diskusi tersebut Sekjen KIPP kembali menegaskan kehadiran lembaga pengawas
dan pemantau Pemilu di luar lembaga resmi bukanlah ide baru, apalagi aneh. Di
beberapa negara demokrasi konstitusional maupun yang sedang mengalami transisi
ke demokratisasi, kegiatan semacam itu dipandang legal dan sah. "Bahkan
memberi kontribusi yang berharga bagi peningkatan kualitas kehidupan demokrasi
dan proses pencerdasan bangsa secara politik," kata Mulyana. Ditegaskannya
kembali, KIPP bukanlah lembaga tandingan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu
(Panwaslak).
Pertanyaan senada
Sedangkan Afan Gaffar menegaskan, KIPP merupakan lembaga simbol perlawanan
terhadap berbagai kemapanan dalam kehidupan bernegara saat ini. "KIPP itu
gerakan politik, walaupun mereka menyebut sebagai gerakan moral," ujarnya.
Afan juga mempertanyakan waktu KIPP yang baru didirikan menjelang Pemilu 1997,
bukan Pemilu sebelumnya. "Begitu juga soal figur pendirinya yang
bervariasi. Padahal mereka dibesarkan dan menikmati orde baru, termasuk Goenawan
Mohamad dengan Tempo-nya. Mengapa dia ikut mendirikan KIPP sesudah Tempo
dibredel?" katanya.
Dalam diskusi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta umumnya senada yakni
menyangkut bagaimana operasionalisasi KIPP di lapangan, siapa para pendukungnya,
apakah ada pihak lain yang mengendalikan KIPP serta asal dana. "Siapa yang
mengendalikan KIPP, karena banyak tokoh pendirinya yang dicap masyarakat
sekuler?" tanya Fatwa.
"Bagaimana komitmen orang-orang KIPP itu? Bagaimana bisa menjamin saya jika
orang-orang itu akan menjadi pendukung demokrasi, bukan cuma omongan saja?"
tanya Redaktur Pelaksana Gatra Amran Nasution. Sedangkan Lukman Harun secara
khusus menyorot asal dana untuk operasionalisasi KIPP, "Apa jaminan KIPP
itu independen. Soal dana dari mana?
Jangan-jangan ada sponsor dari luar negeri yang nanti bisa intervensi masalah
dalam negeri? Soal biaya ini harus dijelaskan. Jangan-jangan nanti dituduh agen
zionis Israel," kata Lukman Harun.
Seorang mahasiswa peserta diskusi bernama Rahman mengaku merasa bingung dengan
berbagai komentar para pengamat maupun laporan sebuah majalah mingguan yang
mengatakan Goenawan Mohamad sebagai penggagas berdirinya KIPP. "Sebenarnya
kita generasi mudalah yang berkeinginan menciptakan demokratisasi, memperkuat
civil society lantas mengajak Bang Buyung dan lainnya. Sedangkan Mas Goenawan
Mohamad baru belakangan muncul," katanya.
Sekjen KIPP Mulyana mengatakan, soal para pendukung tidak bisa dihubungkan
dengan independensi KIPP karena pengambilan keputusan KIPP selalu dilakukan
bersama, bukan tergantung figur perorangan. Pemantauan pemilu juga berhenti
begitu usai pemilu dan KIPP tidak mengagendakan Sidang Umum MPR sebagai sasaran.
"Soal dana ini pernah juga ditanyakan Gatra. Soal dana, kami tidak
mempunyai penyandang dana dari mana pun. Semuanya secara sukarela, bahkan dalam
waktu dekat KIPP akan buka rekening untuk mereka yang mau menyumbang," kata
Mulyana. (ush)
Tanggapan buat Peneliti "Kompas"
Judul berita Kompas (27/3) memang sangat mengejutkan dan bahkan saya berpendapat
menyesatkan masyarakat. Hasil Polling mengenai KIPP Sekitar 50 Persen Mendukung.
Siapa pun membaca berita ini secara selintas akan memperoleh kesan bahwa KIPP
mendapat dukungan 50 persen masyarakat atau rakyat Indonesia. Setelah saya
membaca sedikit lebih lanjut, saya punya sedikit gambaran bahwa populasi Anda
adalah kelas menengah atas di Jakarta.
Bagaimana dengan masyarakat yang lain yang nota bene jumlahnya jauh lebih besar?
Dengan judul berita seperti di atas jelas misleading. Saya tidak memiliki
rekaman pembicaraan saya dengan CPDS. Kalau benar saya mengatakan marginal error
jelas saya keliru. Tentu saja yang saya maksudkan adalah seperti yang Anda
maksudkan, seingat saya yang saya sebutkan adalah margin of error.
Tentu saja masalah error margin sangat signifikan bagi sebuah penelitian survai
karena akan sangat menentukan arti sebuah interpretasi dan inferensi. Saya tidak
dapat melakukan itu dengan cara penyampaian data dari Anda.
Sebuah hasil polling mempunyai makna prediktif yang sangat berarti. Itu yang
diperlihatkan oleh lembaga pengumpul pendapat umum yang sudah sangat dikenal
seperti Gallup Poll misalnya. Kalau hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa
"Bill Clinton lebih populer dari Bob Dole. Hasil polling menunjukkan bahwa
dari 1.500 responden 49 persen memilih Clinton, 42 persen memilih Bob Dole,
dengan error margin sekitar tiga persen," hampir dapat dipastikan bahwa
Clinton akan mengungguli Dole. Dan hal itu sudah dilakukan puluhan tahun di
Amerika.
Dari hasil polling yang Anda lakukan saya tidak menemukan nilai prediktif sama
sekali. Katakanlah Tabel 2 yang Anda sajikan dapat dibuat perkiraan bahwa kalau
ada pemilu besok PDI akan lebih unggul dari PPP dua kali lipat? Siapakah
responden Anda? Apakah agamanya, latar belakang pekerjaan? Etnisnya?
Ini penting sekali dan yang sangat mengganggu adalah bahwa begitu besarnya orang
tidak mau memperlihatkan preferensinya, yaitu 73,1 persen. (Yang menjawab
pikir-pikir dan tidak mau menjawab). Kalau mereka pegawai negeri, keluarga besar
ABRI dan lain-lain akan menjawab seperti itu? Sama sekali tidak 'kan?
Demikian penjelasan saya, tentu tidak akan memuaskan Anda. Mohon maaf kalau
memang menimbulkan salah pengertian. (Afan Gaffar, Fisipol UGM, Bulaksumur,
Yogyakarta)
Jawaban
atas Tanggapan Afan Gaffar
Mengherankan kalau Anda hanya punya sedikit gambaran bahwa populasi polling itu
adalah "kelas menengah ke atas" di Jakarta.
Dalam laporan itu secara eksplisit dinyatakan bahwa populasi polling itu adalah
kelas menengah ke atas di Jakarta. Karena itu polling tersebut tidak mengklaim
Indonesia melainkan Jakarta. Itu pun masyarakat menengah dan atas.
Anda bertanya "bagaimana dengan masyarakat yang lain yang jumlahnya jauh
lebih besar?" Itu urusan lain lagi, dan bukan urusan polling kami.
Anda keliru menafsirkan polling kami maupun yang dilakukan Gallup Poll seperti
yang Anda kutip. Setiap polling baik yang dilakukan oleh Gallup Poll maupun
Kompas pada dasarnya sama, yaitu bahwa hasil pertama dan utamanya adalah suatu
statement of fact bukan prediksi. Kalaupun ada prediksi, itu hanyalah hasil
sampingan.
Dalam hal polling Kompas, statement of fact antara lain menunjukkan bahwa 49,9
persen populasi menyetujui KIPP dan hanya 5,9 persen yang menolak. Selebihnya
adalah yang tidak menjawab dan tidak tahu.
Anda katakan " . . . yang sangat mengganggu adalah bahwa begitu besarnya
orang tidak mau memperlihatkan preferensinya, yaitu 73,1 persen."
Mengganggu siapa? Penemuan ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan sekarang -
situasi bebas tanpa tekanan - golongan yang belum/tidak menentukan pilihan, yang
biasa disebut the swingers, sangat besar persentasenya. Hal terakhir ini juga
berlaku untuk semua golongan yang Anda sebutkan!
Data kami menyatakan bahwa yang menyetujui KIPP bukan hanya golongan radikal,
melainkan juga golongan yang memilih jalan tengah, termasuk mereka yang akan
memilih Golkar. Jadi, gambaran implikasinya yang Anda kemukakan sama sekali
tidak sesuai dengan data kami. Lagi pula, bagaimana mungkin Anda begitu mudahnya
menyamakan orang yang akan memilih Golkar dalam pemilu sebagai "orang
Golkar"? (Mindra Faizaliskandiar, Manajer Litbang Kompas)
Catatan
Redaksi
Dengan dimuatnya kedua surat ini, Redaksi menganggap masalah ini selesai.
Senin,
29 Juli 1996
"Polling" Omong Kosong
Oleh Mindra Faizaliskandiar
PERSOALAN utama yang selalu dihadapi peneliti polling adalah adanya tuntutan
untuk mengetahui pendapat umum dari banyak orang, sementara jumlah individu
anggota publik tersebut sangat besar. Bila pengumpulan pendapat dilakukan pada
seluruh individu anggota publik yang diinginkan, maka persoalannya tidak akan
terlalu rumit.
Polling dengan sampel yang ditentukan tanpa menerapkan kaidah sampling
barangkali dapat pula menghasilkan kesimpulan yang menggambarkan pendapat umum
sebenarnya. Tapi, cara itu tidak memiliki dasar ilmiah yang meyakinkan tentang
apakah sejumlah kecil individu itu benar-benar mewakili publiknya?
Efektivitas polling pertama-tama dan terutama memang bergantung pada keyakinan
peneliti dan kepercayaan masyarakat terhadap persoalan. Benarkah
individu-individu yang terpilih itu merupakan wakil publik yang representatif?
Untuk menjawab persoalan ini, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain
menggunakan metode sampling.
Sampling adalah suatu cara pemilihan sampel yang representatif dan berguna untuk
penelitian yang ingin memperoleh kejelasan dari suatu totalitas data, akan
tetapi penyusunan eksplanasinya dilakukan berdasarkan sebagian saja dari
totalitas data tersebut.
Dalam sampling, terdapat beberapa istilah yang paling mendasar, antara lain
populasi (population), probabilitas (probability), sampel (sample),
kerangka sampling (sampling frame), sampling probabilitas (probability
sampling), dan sampling non-probabilitas (non-probability sampling).
Populasi adalah keseluruhan obyek yang menjadi perhatian peneliti. Populasi bisa
berupa kumpulan orang, binatang, atau benda apa saja. Populasi bisa bersifat
terhingga atau tak terhingga. Banyaknya anggota populasi disebut ukuran
populasi. Jika kita ingin memperoleh kesimpulan mengenai populasi, meskipun
tidak mungkin atau tidak praktis untuk mengamati seluruh individu anggota
populasi tersebut, maka terpaksa kita menggantungkan pengamatan hanya pada
sebagian anggota populasi saja. Tapi, cara kita memilih sebagian anggota
populasi itu harus mengikuti kaidah sampling yang benar. Anggota populasi
terpilih itulah yang disebut sampel.
Oleh karena itu, bila kita mengetahui bahwa populasi yang hendak diteliti adalah
populasi yang bersifat homogen, maka tidak ada cara pemilihan sampel yang cocok
selain sampling acak sederhana (simple random sampling). Namun bila kita
mengetahui bahwa populasi kita bersifat heterogen, maka melakukan simple random
sampling boleh jadi justru akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Untuk
populasi yang heterogen, sebaiknya dipilih sampling acak bertingkat (stratified
random sampling) atau sampling sistematik (systematic sampling).
Ketiga bentuk sampling tersebut bersama-sama dengan cluster sampling merupakan
sampling probabilitas atau random sampling, yaitu sampling yang dilakukan dengan
menerapkan teori probabilitas (probability theory). Teori probabilitas pada
intinya berbicara tentang peluang terjadinya peristiwa kebetulan. Probabilitas
diterapkan agar setiap anggota individu memiliki peluang yang sama besarnya
untuk kebetulan terpilih menjadi sampel.
Pengumpulan pendapat umum yang dilakukan dengan cara mengumpulkan pendapat dari
seluruh anggota publik biasanya disebut referendum. Sesungguhnya referendum
merupakan cara pengumpulan pendapat umum yang paling ideal. Tapi, mengingat
ukuran populasi dari kebanyakan masyarakat jumlahnya sangat besar, referendum
seringkali berarti biayanya mahal, waktunya lama, dan tingkat kesulitan lainnya
juga besar. Sehingga referendum acapkali tidak mungkin dilakukan. Untuk polling,
cara yang paling tepat adalah random sampling, sebab dengan begitu kita bisa
berbicara tentang publik dengan ukuran populasi yang besar, tetapi kegiatan
lapangannya hanya mengamati sampel yang tidak terlalu besar.
***
Persoalan penting yang lain dalam polling adalah tentang ukuran sampel, yang
biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti: Berapa banyakkah sampel
harus dipilih agar kita benar-benar memperoleh sampel yang representatif? Tentu
saja ukuran sampel sangat ditentukan oleh arti pentingnya polling tersebut
menurut kacamata penyelenggara polling sendiri dan dukungan pendanaannya.
Akan tetapi seandainya saja faktor pengaruh pendanaan ini kita abaikan, berapa
banyakkah sampel yang sebaiknya kita pilih? Pertanyaan ini dijawab Bernard
Hennessy dengan: Harus cukup besar untuk menjamin bahwa hasilnya akan berada
dalam batas-batas kemungkinan kesalahan yang memuaskan si sponsor. Kesalahan
yang dimaksud di sini adalah sampling error, yaitu tingkat kesalahan yang
merupakan probabilitas statistik semata-mata - bukan kesalahan yang dilakukan
oleh peneliti.
Kebanyakan peneliti ilmu sosial menggunakan angka lima persen sampling error
untuk standar probabilitas penelitiannya, jadi ukuran sampel ditentukan
berdasarkan probabilitas bahwa kemungkinan penelitian memperoleh hasil yang
memuaskan adalah 95 persen, dan hanya lima persen saja kemungkinan tidak
benarnya. Angka 95 persen seperti ini disebut tingkat kepercayaan.
Persoalannya adalah bagaimana kita dapat menghitung sampling error sebelum
menentukan ukuran sampel? Penentuan ukuran sampel yang baik sesungguhnya
tergantung kepada tingkat keragaman unsur-unsur dalam populasi, tingkat presisi
(precision) yang dikehendaki, rencana analisis data, dan fasilitas yang
tersedia. Bila unsur dalam populasi betul-betul seragam, maka sampel dengan
ukuran 1 (satu) saja barangkali sudah cukup representatif. Pengujian mutu pil
vitamin C hasil produksi sebuah pabrik obat modern barangkali cukup dengan satu
sampel untuk setiap 100.000 pil, karena keragaman pil-pil tersebut boleh
dikatakan hampir seratus persen seragam. Tapi pengujian mutu rokok hasil
produksi sebuah pabrik rokok yang dikerjakan manual dengan ribuan buruh,
membutuhkan jumlah sampel yang lebih besar agar tingkat keragamannya tercakup.
Bila peneliti memiliki rencana untuk melakukan analisis data dengan cara
tabulasi silang, maka ukuran sampel harus cukup besar supaya nantinya tidak
banyak sel-sel kosong dalam tabulasi silang.
Pertimbangan masalah presisi merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam
sampling, dan baru dapat dimengerti bila kita memahami konsep estimasi dalam
statistik. Estimasi adalah metode menduga nilai paramater berdasarkan statistik.
Parameter adalah ciri-ciri yang menjelaskan populasi, sedangkan statistik adalah
ciri-ciri yang menjelaskan sampel. Peneliti mengharapkan bahwa nilai statistik
adalah persis sama dengan nilai parameter, akan tetapi dalam kenyataannya selalu
saja ada perbedaan antara nilai statistik dengan nilai parameter. Kita
barangkali menemukan bahwa rata-rata penghasilan responden kita adalah Rp.
150.000 (nilai statistik), namun kenyataannya rata-rata populasi adalah Rp.
160.000,- (nilai parameter). Selisih sebesar 6,7 persen (Rp. 10.000) itu disebut
sebagai sampling error.
Akan tetapi biasanya kita tidak mengetahui nilai parameter, sebab yang kita
ketahui hanyalah nilai statistik. Karena itulah ilmu statistik telah menyiapkan
teori dan rumus untuk menghitung sampling error. Seandainya sebuah polling
menyatakan bahwa sampling error-nya adalah tiga persen, sedangkan hasil polling
menunjukkan jumlah yang setuju 48 persen dan tidak setuju 50 persen, maka
sesungguhnya perbedaan dua persen itu belum dapat dijadikan penyimpulan bahwa
kebanyakan populasi tidak setuju. Sebab angka 48 persen itu harus diamati
sebagai 48 + tiga persen atau antara 45 sampai 51 persen.
***
UNTUK mengetahui ukuran sampel yang diperlukan, para ahli ilmu statistik telah
menyediakan tabel baku yang dapat digunakan dengan segera. Patokannya adalah
berapa besar angka sampling error dan tingkat kepercayaan yang ingin kita
terapkan. Semakin kecil sampling error dan semakin tinggi tingkat kepercayaan
yang kita terapkan, maka akan semakin besar pula jumlah sampel yang harus kita
penuhi.
Akan tetapi, meskipun penentuan ukuran sampel memang harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh oleh setiap peneliti polling, namun pengalaman para ahli
polling, telah menunjukkan bahwa sesungguhnya ukuran sampel bukanlah sumber
utama kesalahan dalam banyak polling. Hampir dalam semua kasus kesalahan
polling, penyebabnya bukanlah karena terlalu sedikit ukuran sampelnya, melainkan
karena pemilihan responden yang tidak tepat dengan daftar pertanyaan yang juga
tidak tepat.
Contoh kasus tidak terlalu berpengaruhnya jumlah sampel dalam hasil polling
ditunjukkan oleh studi yang pernah diselenggarakan oleh AIPO (American Institute
of Public Opinion), yang mengajukan pertanyaan setuju dan tidak setuju terhadap
suatu issue di masyarakat. Pertama-tama ditentukan ukuran sampel sebesar 500
responden, dan hasilnya adalah 54,9 persen tidak setuju. Kemudian ia
berkali-kali menambah jumlah sampelnya. Ketika sampelnya 1.000 orang, yang tidak
setuju 53,9 persen. Dinaikkan menjadi 5.000 orang, tidak setuju menjadi 55,4
persen. Naik lagi menjadi 10.000 orang, hasilnya 55,4 persen tidak setuju.
Akhirnya ditentukan 30.000 responden, dan hasilnya 55,5 persen tidak setuju.
Contoh di atas dengan jelas menunjukkan bahwa penambahan sampel sampai sebesar
29.500 ternyata hanya menghasilkan perubahan hasil sebesar 0,6 persen saja.
Dengan contoh tersebut, penentuan jumlah sampel memang menjadi tidak terlalu
penting, sebab yang jauh lebih penting adalah ketepatan metodologi sampling-nya.
***
JADI, untuk menilai apakah sebuah polling itu hanya sekadar gombal atau omong
kosong belaka, yang dibutuhkan adalah pengamatan terhadap metodologi yang
diterapkannya. Dan bukan terhadap substansi hasil penelitiannya. Jangan hanya
karena substansi hasil polling tidak kita setujui lalu dengan serta-merta kita
mencap polling itu sebagai gombal atau omong kosong belaka.
(*Mindra Faizaliskandiar, staf peneliti Litbang Kompas)
|