Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/17/00]
|
diambil dari Harian Umum Kompas, edisi khusus tahun baru 2000 Raden
Mas Tirtoadisuryo Penggubah
Sejarah di Pergantian Abad BERBICARA tentang Raden Mas Tirtoadisuryo, orang tak bisa melupakan jasa
Pramudya Ananta Toer. Dengan kepiawaiannya sebagai penulis kelas satu, Pramudya
seolah-olah telah "menciptakan kembali" dalam dunia ingatan, kata dan
imajinasi orang, sosok Tirtoadisuryo yang sudah terkubur dan dilupakan. Pramudya
telah mengabadikan jejak langkahnya, bukan hanya dalam sebuah buku sejarah, akan
tetapi juga empat buku roman sejarah yang amat indahnya. Tugas penulis sejati memang menghidupkan kembali segala
pengalaman yang sudah mati di dalam benak ingatan masyarakat. Orang lalu punya
cermin kehidupan untuk berkaca, dan melihat dirinya dalam pantulan sang tokoh.
Tulisan Pramudya tentang Tirtoadisuryo yang berjudul Sang Pemula (Hasta
Mitra, Jakarta, 1985), memang hanya merupakan salah satu dari banyak karya
Pramudya yang telah disumbangkannya untuk Indonesia. Ia telah menghidupkan
kembali banyak kematian yang telah dialami dan terkubur di benak ingatan
masyarakat. Menurut hemat saya, upaya penampilan Tirtoadisuryo tidak
dimaksudkan untuk menafikan tokoh pergerakan lain yang banyak di dalam sejarah
bangsa ini. Sekalipun ada menyelip semangat semacam itu pada diri Pramudya;
hal yang wajar, manakala kita terobsesi oleh ketokohan seseorang. Seorang
tokoh pergerakan bangsa bagi Pramudya bukanlah tokoh yang "steril"
seperti malaikat, tetapi seorang tokoh yang berurat, berdaging, dan bertulang
biasa. Pendeknya Tirtoadisuryo adalah tokoh manusia biasa yang jauh dari
sempurna. Orang yang malang melintang dan jatuh bangun dengan kesangsian,
kegagalan, juga penuh dengan cerita petualangan (kehidupan seks), khususnya di
kalangan para nyai cantik yang gampang didapati di pergantian abad lalu. Siapa Raden Mas Tirtoadisuryo? Ia seusia dan hidup sezaman
dengan Raden Ajeng Kartini. Banyak kesamaan antara keduanya, khususnya bahwa
mereka berdua bukan orang sembarang. Kematian mereka sama-sama memilukan,
seolah-olah habis tenaga ketika bergulat melawan pelintiran dan putaran
sejarah yang dahsyat di pergantian abad lalu. Tirtoadisuryo sendiri adalah salah seorang yang turut
mengukir sejarah Indonesia. Seorang yang uthik (tak bisa diam) untuk
mencari serba kemungkinan di tengah perubahan zaman. Dengan memanfaatkan
celah-celah kecil yang dibuka oleh rezim kolonial di permulaan abad ke-20, ia
mampu bermain dengan serba kemungkinan yang bisa dijajaki, peluang-peluang
yang bisa dicipta. Di tengah remah-remah sejarah yang tersisa di negeri yang
miskin, kehilangan harga diri, di sebuah jalan simpang zaman pergantian abad
19-20. Nederlands Indie memang mengandung hal-hal yang ajaib. Di tengah kehidupan tinggal sampah dan rerongsokan, ia
mampu muncul selaku pelaku (subyek) sejarah. Subyek yang berkehendak membangun
kembali sebuah harkat manusia dari puing-puing masa lampau. Gagasan dan
sikapnya mengatasi keadaan bangsanya yang merangkak-rangkak, miskin, tak punya
rasa hormat pada diri sendiri, terpuruk; masyarakat yang kalah dan menyerah
selama sekian banyak garis keturunan. Ia melesat bagaikan seekor wulung
(garuda kecil berwarna ungu) yang terbang mengepakkan sayapnya berkeliling di
udara. Pendeknya Tirtoadisuryo adalah seorang yang telah mencipta dirinya
sendiri, seorang yang sadar berdiri di tengah sejarah sebuah bangsa. Menurut penuturan Pramudya, Tirtoadisuryo lahir di Blora
1880 dan meninggal 7 Desember 1918, diasuh di kalangan priyayi cukup tinggi.
Ayahnya Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro (petugas pajak), kakeknya
Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Bojonegoro. Zaman di mana Tirtoadisuryo
berkiprah adalah zaman yang dipengaruhi oleh munculnya kebijakan kolonial baru
yang dikenal dengan "politik etis". Celah sempit sosial-ekonomi dan politik yang dibuka
pemerintah kolonial ini bisa dibacanya guna memelopori berbagai bidang kerja
yang luar biasa pengaruhnya ke masyarakat. Khususnya di bidang jurnalistik,
pengorganisasian rakyat, bisnis, dan gerakan penyadaran tentang emansipasi
rakyat yang tertindas. Sedikitnya ada dua yang bisa disebut tentang peran
penting yang dijalankan oleh Tirtoadisuryo, yaitu: pelopor jurnalisme dan
pembangun gerakan emansipasi rakyat. Jurnalisme
Rakyat Terjajah Di
bidang jurnalisme, Mas Marco Kartodikromo, wartawan legendaris dari kancah
pergerakan nasional Indonesia, mengaku: "Raden Mas Tirto Hadi Soerjo,
jalah bangsawan asali dan joega bangsawan kafikiran, Boemipoetera jang pertama
kali mendjabat Journalist; boleh dibilang toean TAS. indoek Journalist
Boemipoetera di ini tanah djawa, tadjam sekali beliaoe poenja pena." (lih.
Pramudya 1985 : 416). "Indoek journalist", kata Mas Marco, bukan
hanya karena Tirto mengawali profesi sebagai wartawan inlander, akan
tetapi karena ruh dan pengabdian kepada bangsa yang diwariskannya sebagai
ilham. Karier Tirtoadisuryo yang menanjak dengan tempo tinggi dan
berbinar-binar seperti meteor selaku jurnalis, tak bisa dilepaskan dari
konteks kehidupan masyarakat yang terlunta-lunta mencari jati dirinya yang
hilang di tengah penindasan mesin eksploitasi modern yang bercorak
internasional, yang bernama kolonialisme dan imperialisme. Sebagai jurnalis, Tirtoadisuryo melempangkan jalan bagi
rakyat untuk memahami hak-hak serta martabat mereka. Ia berucap lewat mulut
tokoh Boesono-yang tak lain adalah dirinya-dalam salah satu karya nonfiksinya,
sebagai berikut: "Pers adalah matahari bagi dunia maka kita mesti
mengerti bahwa pers Melayu bisa tumbuh seperti cendawan di musim hujan, tetapi
segera berontokan bagaikan daun layu. Aku sendiri ingin sekali merombak
keadaan semacam ini. Koranku akan aku isi dengan pikiranku dan pikiran
orang-orang cerdik pandai, yang bisa mendidik bangsanya ke medan kemajuan dan
kesempurnaan" (Pramudya 1985: 375). Tugas pers menurut pikirannya adalah merombak masyarakat ke
arah kemajuan dan kesempurnaan. Untuk itu diperlukan pikiran yang merdeka,
pikiran yang terbebas dari belenggu ketakutan dan kekerdilan. Untuk itu,
betapa getolnya ia menginginkan koran yang dipimpin dan dimilikinya sendiri,
sebab hanya dengan cara demikian ia bisa mewujudkan kebebasannya selaku orang
yang termasuk dalam golongan orang yang merdeka. Tema-tema pembicaraan Tirtoadisuryo dalam tulisan-tulisan
di berbagai media lain dan dalam surat kabar yang dipimpinnya juga selalu
menekankan perlunya untuk pekerjaan partikulir (swasta dan wiraswasta), yang
bebas dan tidak bergantung kepada kepegawaian, yang merupakan keinginan setiap
priyayi Jawa saat itu. Seolah-olah masa depan priyayi Jawa adalah menjadi
bagian dari mesin administrasi pemerintah kolonial. Bertolak belakang dengan
itu, ia berpendapat bahwa perdagangan, bekerja di kebun, dan kerajinan
merupakan bagian yang pekerjaan yang membebaskan dan melatih kemandirian dari
kalangan pribumi. Apresiasi dari kalangan merdeka, atau golongan partikulir
itu selalu diwartakan sebagai "kabar baik" bagi kaum pribumi yang
tak memiliki masa depan. Kesejahteraan, kemakmuran serta kebahagiaan akan
dicapai manakala pribumi mampu menjadi manusia sebagai subyek yang memiliki
kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Amat menakjubkan membayangkan bahwa seorang pribumi di masa
pergantian abad lalu mampu melakukan karya-karya yang begitu mendalam dan
beragam. Perhatian pokoknya banyak ditujukan kepada apa yang disebutnya
sebagai "kaum merdeka" (vrije burgers). Seolah-olah pada kaum
merdika inilah tumpuan harapan untuk membangun masyarakat yang maju dan
sempurna. Kaum merdika adalah kaum terpelajar, mereka yang memiliki
harta dan modal, lapisan masyarakat yang tidak mengabdi pada kekuasaan Hindia
Belanda, para saudagar pribumi (yang umumnya dari kaum muslim), mereka yang
berkebudayaan serta beradab, mereka yang hidup tidak dari gaji atau menjual
tenaga, tetapi dari usaha sendiri; dengan singkat "golongan
menengah". Adapun karier Tirtoadisuryo sebagai jurnalis tergambar
dalam kegiatannya yang luar biasa, baik dalam mengelola persuratkabaran,
maupun dalam kegiatan tulus-menulis. Ada sekitar 14 terbitan yang ia kelola,
pimpin, atau sebagai penulis tetap. Yaitu Pembrita Betawi, Soenda Berita,
Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W.,
Soeara Spoor dan Tram, Soearaurna. Ia adalah redaktur kepala pertama bagi
sejarah orang pribumi di Hindia Belanda. Selaku jurnalis, Tirtoadisuryo melihat tugasnya selaku
sarana untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk menjawab persoalan mereka
sendiri. Di tempat pembuangannya di Lampung (Telukbetung) selama dua bulan
sejak 18 Maret 1910, ia menulis: "...saya seorang pengarang, seorang
pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicarakan segala hal yang patut
diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala
keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak
harus menerima sesuatu apa..." (dalam Pramudya 1985: 255). Ia bukan hanya jurnalis dalam arti sebagai penulis berita
dan perumus gagasan, akan tetapi juga banyak mengarang karya-karya nonfiksi
literer yang bagus. Di sana ia memberi dukungan kepada kaum merdeka, dan juga
harapan serta kekecewaannya terhadap dirinya sendiri dan masyarakat kolonial. Sebagai catatan atas seluruh pengabdian dan karya-karya
jurnalistik Tirtoadisuryo, Pramudya menorehkan pertanyaan penting:
"Sekiranya ia tidak memulai tradisi menggunakan pers sebagai alat
perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana
kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?" (Pramudya 1985: 9). Dengan
menyebut pers sebagai "alat perjuangan" dan "heterogenitas
masyarakat", Pramudya pada dasarnya telah menyentuh tugas utama
jurnalisme Indonesia di tengah keadaan krisis dan terpuruk di pergantian abad
yang lalu dan pergantian abad yang sekarang ini; seratus tahun sesudah masa
Tirtoadisuryo. Emansipasi
Rakyat Gagasan
dasar yang dibangun di masa awal pergerakan nasional, khususnya bertumpu pada
gagasan tentang emansipasi rakyat. Sebagaimana sudah disebut di muka,
Tirtoadisuryo seumur dengan Kartini, yang juga merupakan anak zaman yang
dilahirkan oleh politik etis. Di samping naskah Pramudya yang spektakuler,
beberapa ahli tentang sejarah kontemporer Indonesia, antara lain seperti
Robert Van Niel, Heather Sutherland, George D Larson, Takashi Siraishi, APR
Korver, Akira Nagazumi, juga mengungkap tentang peran Tirtoadisuryo. Tirtoadisuryo disebut selaku nominal founder dari
Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam. Ia pendiri dari Sarekat
Dagang Islamiyah di Batavia 1909, dan Sarekat Dagang Islam di Bogor 1911. Dan
awal tahun 1912 ia turut terlibat mendirikan Sarekat dagang Islam di Solo,
sebagai cabang Bogor; dan di sana Samanhudi menjadi the real leader
(Larson 1987 : 36). Heather Sutherland selanjutnya menceritakan bahwasanya
peran Tirtoadisuryo selaku movement organizer, bermula dari usahanya
untuk mendirikan Sarekat Priyayi tahun 1906 yang bertujuan memperjuangkan agar
anak-anak Jawa bisa memperoleh pendidikan Belanda. Sarekat Priyayi inilah
sebagai basis untuk menerbitkan koran mingguan Medan Priyayi (1907 -
1912). Medan Priyayi banyak mengemukakan keluhan-keluhan rakyat kecil
terhadap perlakuan kalangan priyayi tinggi dan para pegawai pemerintah
kolonial Belanda. Menurut Sutherland, mungkin dinilai dari ukuran pemahaman
tentang "demokrasi" sekarang, sebenarnya yang diperjuangkan
Tirtoadisuryo barulah merupakan awal untuk melakukan konsientisasi bagi rakyat
untuk memperoleh keadilan. Kalangan Bestuur Ambtenaar (administrator
pemerintahan) baik kalangan Belanda maupun pribumi disebutnya selaku
"Buaya Besar". Namun kepada Sri Ratu dan wangsa Kerajaan Belanda ia
hormati dan puji setinggi langit. Dengan kata lain, sekalipun ia mengritik
kelakuan yang represif sementara pejabat Belanda dan Jawa, namun ia belum
punya perangkat "teoritik-ideologis" guna menolak sistem kolonial
secara keseluruhan (band. Heather Sutherland 1980 : 58). Tirtoadisuryo juga
tidak menyembunyikan kekagumannya pada Jenderal Van Heutz yang sukses dengan
program pasifikasinya mempersatukan Nusantara menjadi Nederlands Indie, cikal
bakal dari Republik Kesatuan Indonesia. Pada umumnya para penulis luar negeri,
termasuk staf ahli di zaman kolonial seperti J Th P Blumberger, GHJ Hazeu, DA
Rinkes, (yang juga dikutip oleh banyak pengamat sejarah kontemporer Indonesia)
berpendapat bahwa pertikaian antara Cina dan Jawa di sekitar kegiatan Sarekat
Islam pada masa awal disebabkan oleh masalah-masalah etnosentrisme dan
ekonomi, khususnya persaingan dagang. Hal itu ditengarai oleh munculnya
semangat nasionalisme di kalangan bangsa Asia, khususnya di Cina yang dimotori
oleh Sun Yat Sen di sekitar tahun 1912, yang mempunyai dampak luar biasa pada
kalangan Cina di Hindia Belanda. Dua hal sedikitnya yang memicu ketegangan antaretnis itu:
pertama, kalangan Cina di Hindia Belanda merasa dianaktirikan oleh pemerintah
kolonial karena status mereka selaku "orang Timur asing", yang
dibedakan dengan orang Jepang yang disamakan dengan orang Eropa. Nasionalisme
menghembuskan kesadaran baru akan hak-hak mereka di tanah jajahan. Sementara
itu nasionalisme Cina juga memberi pengaruh pada kesadaran orang Jawa akan
nasionalisme mereka. Kedua, di Solo sebagai pusat industri batik, terjadi
persaingan yang semakin ketat antara dua kelompok yang kuat berusaha di
wilayah itu, yaitu para pedagang pribumi muslim dengan kalangan Cina. Tekstil
dan zat pewarna di awal abad ke-20 semakin bergantung kepada impor, yang
penanganan distribusinya dimonopoli oleh kalangan Cina. Pedagang Jawa juga
semakin punya akses ke bahan-bahan impor tersebut, khususnya mereka yang
dibantu oleh pedagang Arab dan kalangan bangsawan. Dengan demikian terjadi
persaingan terbuka antara kedua kelompok itu, terutama sejak didirikannya
Sarekat Dagang Islam di Solo; begitulah dikemukakan para ilmuwan birokrat
Belanda itu. Hal yang menarik adalah apa yang dikemukakan oleh Pramudya
dalam kisah monumentalnya Sang Pemula. Pramudya mendasarkan diri pada
apa yang disebutnya sebagai "skenario Rinkes" yang sengaja mau
menggelapkan peran sejarah yang dijalankan Tirtoadisuryo di satu pihak, dan di
pihak lain hendak memperhadapkan gerakan Sarekat Islam sebagai gerakan ekonomi
dan bukan gerakan politik. Sebagai gerakan politik, mau tak mau Sarekat Islam
akan segera berhadapan dengan Pemerintah Belanda. Dengan semangat tinggi Pramudya mengedepankan gagasannya
tentang "skenario Rinkes" tersebut (Band. Pramudya 1985 : 151-176).
Rekonstruksi sejarah yang dibuat oleh Pramudya, agaknya tak begitu saja bisa
diabaikan. Ia berusaha membuktikannya dengan berbagai macam teks yang bisa ia
dapat sebagai pijakan dari pendapatnya. Bila kita membaca otobiografi dari IWF
Idenburg (menjabat Gubernur Jenderal Nederlands Indie pada 1909 - 1916),
tampak rekayasa ke arah itu memang ada. Demikian juga dengan sumber arsip yang
memuat surat-menyurat antara Abraham Kuyper dengan Idenburg (Briefwisseling
Kuyper-Idenburg, Franeker, 1985) tampak bahwa "skenario Rinkes"
sebagaimana dilacak oleh Pramudya bukan semata isapan jempol. Hal yang menarik
ini merupakan tugas dari para sejarawan yang lebih muda untuk meneliti perkara
yang sudah dimulai dengan penuh semangat oleh Pramudya. Bagi Idenburg, yang dikenal sebagai orang saleh yang rajin
beribadah di gereja itu, lepas dari simpatinya terhadap Sarekat Islam
dibandingkan dengan sikapnya yang sangat keras terhadap Indische Partij yang
dianggap sebagai sangat berbahaya karena karakternya sebagai gerakan politik
revolusioner anti-Belanda, ia memang sangat berkepentingan agar supaya Sarekat
Islam benar-benar menjadi gerakan ekonomi yang berhadapan dengan orang Cina.
Dalam korespondensinya dengan Abraham Kuyper selaku Perdana Menteri Belanda
pada tanggal 4 Juli 1913, ia menyurat: "Wij moeten ook toejuichen dat
de inlander zich wat los maakt van het economisch juk van den Chinees."
(Juga kita mesti menyambut dengan gembira kenyataan bahwa bangsa pribumi bisa
melepaskan diri dari penindasan ekonomis kalangan Cina) (Briefwisseling
1985: 383). Terkesan memang dari keseluruhan semangat surat ini bahwa
Idenburg benar-benar percaya bahwa bentrokan horisontal antara Jawa-Cina tidak
bisa dihindari. Peran orang Cina sebagai pedagang perantara semakin luntur.
Dan di berbagai koran dicatat bahwa golongan Cina mulai berkampanye untuk
memusuhi Sarekat Islam. Keadaan ini merupakan tujuan dari politik kolonial,
melakukan adu domba horisontal di masyarakat. Tirtoadisuryo sendiri saat itu,
sudah tidak berbuat apa-apa, sekalipun ia menyadari bahaya semacam itu. Karena
ia sudah tumpas, dibungkam dan dibuang ke luar Jawa. Nasib bangsa Indonesia
seolah-olah mengikuti nasib yang tak terlalu beruntung dari para pendahulunya.
Sebagai penutup, bisa dikemukakan pertanyaan: apa makna
Tirtoadisuryo bagi kita sekarang, 100 tahun kemudian? Dialah seorang yang bisa
memberi inspirasi bagi masyarakat yang gamang dan tak memiliki pijakan visi
yang luas. Yang cenderung kacau dan kebingungan dalam tantangan pergantian
abad, bahkan pergantian milenium. Tirtoadisuryo adalah "manusia perbatasan",
seorang yang mampu melintasi batas dan tidak berkutat saja dalam kubangan
jebakan status quo zamannya. Ia mampu melintasi batas-batas agama,
suku, ilmu, dan memiliki karakter serta keberanian untuk melangkah, menjadi
anak zaman yang benar -benar mengerti dan mau menjawab tantangan-tantangan
zaman. Memasuki milenium ketiga, bangsa Indonesia babak belur.
Bopeng, penuh coreng-moreng dengan luka-luka sosial yang belum tersembuhkan,
sudah ditimpali pula dengan perdarahan yang baru yang terjadi di mana-mana.
Menjadi bangsa yang otoriter yang mau menangnya sendiri. Diplomasi dan
relasi-relasi sosial-politik di negeri ini amburadul. Kemelut muncul
karena tidak ada lagi perekat pemikiran yang mempersatukan masyarakat, dan
tidak ada lagi pemimpin yang dipercayai oleh masyarakat. Ketidakpercayaan
merupakan akar masalah yang silih berganti dengan kebencian dan amuk. Tirtoadisuryo berdiri sebagai tonggak sejarah. Mengabarkan
bahwa bangsa ini harus berangkat menjadi lebih mandiri. Ia adalah teladan,
bukan hanya dalam keberhasilan, tetapi juga dalam kekalahan,
ketidakberuntungan dan bahkan kegagalannya. Kesalahan utama yang menyebabkan
tradisi sejarah bangsa ini menjadi sebuah tragedi adalah karena sejarah
dipahami sebagai sejarah kemenangan semata-mata. Kita hanya mau bercermin dari
kemenangan, tak ada wisdom dalam cermin sejarah kita. Lalu kita menjadi amat gampang terguncang, menjadi tidak
manusiawi dalam persepsi tentang diri kita sendiri. Cermin sejarah hanya
menjadi cermin untuk bersolek, bukan untuk memahami diri. Sejarah adalah
tempat yang menjauhkan diri. Kita lebih tidak mengenal diri sendiri ketika
membaca sejarah yang kita tulis sendiri. Sejarah menjadi tempat kita menipu
diri sendiri, menjadi tokoh fiktif yang tak pernah salah dan tak pernah kalah.
Pada saat itu kita justru menjadi bangsa yang salah di mana-mana, dan kalah di
mana-mana. Kita memerlukan kejujuran dan keadilan. Pada akhirnya, dengan agak panjang saya kutip pandangan
Pramudya sendiri tentang Tirtoadisuryo yang penuh hormat dan takjub, sebagai
berikut: "Tidak akan berlebihan bila dikatakan: pada masanya ia adalah
pribadi yang berada di garis terdepan dan sendirian. Perhatiannya pada nasib
lapisan terendah masyarakat, yang sepanjang sejarah tak pernah dapat
perhatian, mengalami penindasan dan penghisapan bertingkat-tingkat, baik oleh
pemuka-pemuka setempat, sistem feodalisme pribumi, dan kolonialisme Eropa,
berpadu dengan pergeseran kekuatan dunia, kemajuan umat manusia di mana pun
mereka berada, menampilkan dirinya sebagai seorang intelektual modern yang
bertanggung jawab pada nuraninya". (Pramudya 1985: 187). Maka sempurnalah
julukan yang diberikan oleh Pramudya, dialah sesungguhnya Sang Pemula itu.*** |