Apa PIPMI
Berita Terbaru
Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus
Artikel
resensi
tips
untuk sementara situs ini dikelola oleh
Litbang Majalah Balairung
© Majalah BALAIRUNG
2000
webmaster
[11/28/00]
|
Marx
dan Che di Rumah Kontrakan
Kompas, Jumat, 14 April 2000
PENGANTAR
REDAKSI
LAPORAN mengenai giatnya diskusi kajian kiri secara terang-terangan di kalangan
muda terpelajar Jakarta dan Yogyakarta
diturunkan hari Jumat ini di halaman 1 dan halaman 7. Sementara maraknya
penerbitan buku-buku kiri dilaporkan besok (15/4), yang akan didampingi dengan
wawancara bersama Dr Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina dan Riza Sihbudi
dari LIPI mengenai Islam dan kajian-kajian kiri.
PERDEBATAN
mengenai perlu-tidaknya Ketetapan (Tap) Nomor XXV/MPRS/1996 dipertahankan boleh
saja memanas. Namun, perbincangan, ceramah, diskusi, maupun penerbitan dan
peredaran buku-buku marxisme dan komunisme jalan terus. Sekarang ini, marxisme
dan komunisme tidak lagi didiskusikan sembunyi-sembunyi dalam kelompok kecil
yang terdiri dari empat sampai tujuh orang. Marxisme dan komunisme, kini,
didiskusikan di ruang terbuka di luar kampus, dan dihadiri puluhan orang.
Inilah trend di kalangan muda terpelajar Jakarta dan
Yogyakarta, termasuk mereka yang berada di dalam wadah keagamaan. Mereka
terang-terangan membaca fotokopi surat-surat Stalin atau Manifesto
Komunis di dalam bus kota.
Ketika kelompok studi muncul pada tahun 1980-an, buku-buku
kiri memang dilirik. Namun, itu terbatas dalam kelompok kecil, sembunyi-sembunyi
pula. Ketetapan MPRS yang disebutkan tadi memang efektif ketika itu. Sekali
ketahuan mengedarkan buku-buku yang berisi ajaran marxis, misalnya, penjara
hukumannya. Itulah yang terjadi pada aktivis mahasiswa Yogya belasan tahun lalu,
yakni Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho, yang
mengedarkan diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari Dr Franz Magnis-Suseno, serta
novel-novel bagus Pramoedya Ananta Toer.
Sebuah rumah sederhana di Kampung Suryowijayan, Yogya. Berbagai atribut
"merah" menghiasi dinding. Potret besar Che Guevara, tokoh sosialis
Amerika Latin yang disiksa mati tentara Bolivia, dipajang bergandengan dengan
bendera merah putih dan grafiti "Antimiliterisme". Inilah markas
sebuah kelompok studi yang getol membahas kajian kiri.
Di situ, puluhan mahasiswa dari berbagai latar agama, organisasi, dan kampus
berkumpul tanggal 10 April malam. Di hadapan mereka terdapat beberapa pinggan
berisi pisang goreng, ketela goreng, dan sejenisnya hasil patungan. Namun,
santapan "rohani" mereka berat-berat, yakni bagaimana
mengorganisasikan sebuah aksi untuk mendorong pencabutan larangan kebebasan
berideologi.
Pertemuan itu merupakan salah satu simpul dari pergulatan mereka dengan marxisme
dan kajian kiri lain yang telah belasan tahun tumbuh di Yogya, termasuk di
kalangan sejumlah mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga.
Kantor
redaksi majalah kampus Balairung dan Bulaksumur, yang dikenal sebagai
Markas B-21, merupakan salah satu sarang kajian pemikiran kiri.
Para pemula biasanya menuntaskan dulu diktat kuliah Sejarah Filsafat Sosial
Jerman Abad XIX tulisan Franz Magnis-Suseno yang dulu dilakukan
sembunyi-sembunyi. "Yang dilarang biasanya selalu menarik. Karena itu, kami
mau mempelajarinya," kata Monika, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
***
EKKI, aktivis Front Jakarta, mengisahkan mereka dulu menyebarkan tulisan-tulisan
marxisme dan komunisme seperti mengedarkan ganja. Diskusi sudah barang tertentu
tertutup. Kalau perlu, orang lain jangan sampai tahu. Mereka mendapat buku-buku
sosialisme dan komunisme terbitan tahun 1940-an di pasar-pasar loak. "Buku
Das Kapital saya dapat dari Pasar Senen," katanya. "Pedagangnya enggak
tahu buku apa ini. Dia jual Rp 3.000."
Bersama enam kawan, ia mendiskusikan bacaan-bacaan itu
dengan berpura-pura sebagai pelancong di Monas, Kebun Binatang Ragunan, atau
tempat-tempat publik tak menarik lainnya di Jakarta. "Sekarang ngomongin
marxisme di warung, orang pada cuek," kata Ekki.
Daru, dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan, sampai sekarang dia dan
kawan-kawannya masih giat mendiskusikan marxisme dan komunisme, juga pemikiran
tokoh revolusioner lain seperti pemikir Islam, Ali Shari'ati dan Hassan Hanafi.
Diskusi berlangsung tiga kali seminggu, antara dua sampai tiga jam setiap
pertemuan. "Sekarang frekuensinya agak menurun. Soalnya, kami masih
konsentrasi untuk konsolidasi gerakan," katanya.
Kajian kiri juga laku keras di rumah-rumah sewa mahasiswa
sekitar IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, Jakarta Selatan. Kelompok studi
Piramida Circle yang bermarkas di rumah sewa sebelah barat kampus IAIN
Ciputat merupakan salah satu penggiat marxisme dan studi-studi pembebasan.
Secara periodik, menurut Edi Hayat-aktivis kelompok studi
itu-mereka mengadakan kursus-kursus marxisme, pemikiran tokoh kiri di kalangan
Islam, maupun teori-teori sosiologi pada umumnya untuk mahasiswa angkatan awal.
"Kami mengembangkan kajian marxisme bukan dalam artian ideologi, tetapi
dalam tataran wacana," katanya.
Di mana-mana, buku Magnis-Suseno yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang jernih
itu rupanya jadi pegangan. Anak-anak Ciputat itu melengkapi bahan mereka dengan
buku pengantar filsafat marxis dalam bahasa Inggris, Gramsci, bahan-bahan dari
internet, bahkan sebagian mereka peroleh langsung dari Rusia.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat merupakan salah satu
kelompok yang giat menekuni kajian kiri. Ketua Umum PMII Cabang Ciputat Hery
Haryanto Azumi mengungkapkan, ia dan kawan-kawannya mengembangkan kajian-kajian
kiri sebagai acuan teologi pembebasan dalam kerangka Islam.
"Untuk memperbarui pemahaman bahwa kezaliman yang
stabil lebih baik daripada kekacauan yang tidak kondusif untuk perjuangan.
Gerakan civil society tidak boleh berhenti dengan terbentuknya pemerintahan
demokratis yang populis," kata Edi. "Pemadanian masyarakat sampai ke
bawah dan semua aspek civil society terwakili
tanpa dominasi salah satu agama."
Burhan, mahasiswa Akidah, yang semula merencanakan menulis skripsi tentang
marxisme, berniat mengalihkannya ke tema sosialisme demokrasi. "Saya masih
kesulitan mencari dosen pembimbing," kata Burhan, yang rajin mengumpulkan
referensi kiri dari internet.
***
KAJIAN kiri di Depok dimulai pada tahun 1990-an oleh mahasiswa Jurusan Sejarah.
Bermarkas di rumah kontrakan yang dikenal sebagai Red House, mereka membahas Das
Kapital asli dalam bahasa Jerman. Red House sempat menjadi tangki gagasan bagi
Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI). "Teman-teman kos di sana sudah
bubar, tetapi kami sempat tinggal bersama kaum buruh untuk mengaitkan teori
dengan kejadian sehari-hari di lapangan," kata Mundo, mahasiswa Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik UI, juga aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(LMND).
Di
Yogya, diskusi kiri tidak hanya monopoli kaum intelektual. Pengamen yang
bergabung di Serikat Pengamen Indonesia (SPI) menggelar diskusi kiri minimal
sekali seminggu. "Ini bagian dari kurpol alias kursus politik untuk
membantu rekan-rekan sesama pengamen dalam mengorganisasi kaum miskin kota
menyalurkan aspirasi mereka," kata Gendon, Ketua Divisi Perpustakaan SPI.
(wis/ryi/sal)
|