Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/18/00]
|
Era
Tabloid Telah Tiba "INI
bukan eranya majalah, karena daya beli masyarakat sudah berkurang jauh. Sekarang
justru zamannya tabloid," kata Suwidi Tono, Pemimpin Perusahaan Perspektif,
sebuah tabloid mingguan berita politik yang akan diluncurkan 28 Oktober ini. Sinyalemen
tadi boleh jadi benar. Paling tidak, secara kuantitatif jumlah penerbitan baru
yang memilih format tabloid (141) lebih banyak daripada majalah (62).
Tabloid-tabloid-yang menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1996) berupa "surat kabar ukuran kecil (setengah dari ukuran surat kabar
biasa) yang banyak memuat berita secara singkat... (dan seterusnya)"-kini
tumbuh menjamur. Di Jakarta saja, dalam tiga bulan terakhir sudah puluhan
tabloid baru beredar di pasaran, sedangkan majalah hanya beberapa buah saja. Apa
pun kata mereka, pertanyaan yang menggelitik, bagaimana para pendatang baru di
era tabloid ini mempersiapkan sumber daya manusia yang jadi tulang punggung
penerbitan masing-masing? "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah
penerbitan pers dikelola sembarangan orang. Kalau ada yang bereksperimen di
bisnis ini mudah-mudahan saja tidak lama. Bahayanya besar sekali, karena
produknya akan berdampak luas pada masyarakat," kata Dr Bachtiar Aly, pakar
komunikasi dari FISIP UI. ***
POLA rekrutmen di masing-masing lembaga dilakukan
dengan beragam cara. Di Tabloid Deru pimpinan Harry Roesli, sekitar 20
wartawan yang bergabung di sana tidak melalui seleksi formal. Mereka juga tak
mengenal ikatan bisnis. Apa yang dinamakan pelatihan bagi wartawan baru juga
tidak dilakukan. Semua berjalan begitu saja dengan apa yang disebut Harry Roesli
sebagai "sistem santai". "Barangkali
karena saya orang santai dan tidak suka pendekatan formal, sehingga suasananya
seperti ini. Pokoknya, Anda senang dan ingin santai-meski sekali-sekali
serius-silakan bergabung. Tidak ada ikatan bisnis," ungkapnya. Tabloid
Fokus Informasi di Medan sama sekali tidak melakukan rekrutmen wartawan.
Mereka yang terlibat adalah wartawan mingguan Persada yang keluar lalu
mendirikan koran baru. Tabloid Tegar dan Fokus Media di
Ujungpandang sebagian besar merekrut aktivis pers kampus. Karenanya, kedua media
baru itu tidak melakukan pelatihan khusus bagi wartawan-wartawannya. Prinsip
yang diterapkan, kata Tomi Lebang dari Fokus Media, bekerja sambil
belajar. Kecenderungan
serupa juga dilakukan koran-koran baru di Riau, seperti harian Utusan dan
Sijori Pos serta tabloid mingguan Pantau. Jika Utusan dan Sijori
Pos memanfaatkan wartawan yang berasal dari kelompok Jawa Pos, Pantau
yang dipimpin sastrawan Riau Ediruslan Pe Amanriza, merekrut wartawan yang sudah
bekerja di koran-koran yang terbit di Medan dan Pekanbaru. "Tapi kami belum
menetapkan besarnya gaji mereka," ujarnya. ***
LAIN halnya dengan tabloid Perspektif.
Setelah memasang iklan di Kompas, kantor mereka di kawasan arteri Pondok
Indah, Jakarta Selatan, dibanjiri peminat. Sekitar 8.000 sarjana S1 mengirimkan
surat lamaran. Dari jumlah itu, 120 orang lolos seleksi administratif, lalu
dites dengan memanfaatkan jasa lembaga psikologi yang dipimpin Darmanto Jatman
dari Universitas Diponegoro. "Untuk
mendapatkan tenaga yang benar-benar berkualitas kami berani membayar mahal. Kami
tidak main-main dalam hal investasi di bidang sumber daya manusia, termasuk
pengadaan bank data," kata Suwidi Tono dari Perspektif. Setelah
berhasil menjaring 15 wartawan baru-untuk tingkat redaktur dan penanggung jawab
rubrik lewat rekrutmen tertutup-dilakukan semacam pelatihan intern selama
sebulan, terutama menyangkut teknik penulisan, peliputan, serta visi mingguan
berita itu. Tabloid
Realitas juga merekrut wartawan lewat iklan di media massa. Dari sekitar
300 pelamar, kata Wakil Pemimpin Redaksi Derek Manangka, dijaring 30 orang
sesuai kebutuhan. "Proses rekrutmen ini berlangsung sebulan. Setelah itu,
sejak awal September tim Realitas mulai membuat nomor-nomor contoh,"
tambahnya. Lain
halnya dengan Cek & Ricek. Tabloid ini tidak lagi mencari wartawan.
Mereka hanya menyeleksi sekitar 100 wartawan yang sebelumnya melamar menjadi
reporter Cek & Ricek versi televisi. Sebagian besar adalah wartawan
yang di-PHK akibat lembaganya ditimpa krisis. "Begitu kita dapat SIUPP
tabloid, mereka itulah yang dipanggil," kata Ilham Bintang, Pemimpin
Redaksi Cek & Ricek, mengenai 15 awak tabloidnya. Tak
bisa dipungkiri, latar belakang wartawan dan pengelola penerbitan pers akan
mewarnai keberadaan media bersangkutan. Lebih dari itu, kata Bachtiar Aly,
sebagai bisnis yang punya karakteristik spesifik, produk yang dihasilkan akan
berdampak pada masyarakat. Pada
akhirnya semua berpulang pada komitmen dan dedikasi para pengelola SIUPP baru:
mau dibawa ke mana wajah pers Indonesia? (jkr/smn/ti/nar/pin/eta/yul/cp/ret/ken)
|