Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/15/00]
|
Kompas,
Minggu, 3 Mei 1998 Tentu, mingguan dengan reputasi seperti Time
tersebut juga ikut membuat pers mahasiswa Indonesia "go international".
Berkat tulisan pada Time itu, kini majalah Suara Airlangga dari
Unair atau harian Bergerak! dari Universitas Indonesia (UI), Depok, telah
menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca negara. Bila Time mengutip
pandangan Iwan Hidayat (22), Pemimpin Redaksi Suara Airlangga, maka
harian The Asian Wall Street Journal edisi 28 April 1998 bahkan
memaparkan pandangan Achmad Nurhoeri (23), Pemimpin Umum Bergerak!, pada
tulisan halaman satu! "Ini bukan untuk membuat kami sombong. Tapi kami
bangga bahwa apa yang ditulis oleh pers mahasiswa ternyata juga bisa menjadi
acuan sumber yang dipercaya mengenai situasi dan aksi mahasiswa di kampus-kampus
Indonesia," ungkap Achmad Nurhoeri di kantor sederhana harian Bergerak!
Depok, Jawa Barat, Kamis (30/4) lalu. *** BERITA yang terpercaya. Rupanya itu keinginan hampir semua
pers mahasiswa saat ini. Mirip dengan pendahulu-pendahulu mereka yang sudah jadi
legenda - De Indier (1913), Hindia Poetra (1923), Harian KAMI
(1966), mingguan Mahasiswa Indonesia (1966) - kebanyakan 'kebangkitan'
pers mahasiswa akhir-akhir ini dipicu oleh rasa kecewa terhadap pemberitaan pers
umum. Dengar misalnya pendapat Melanie Wahyu W, koordinator
buletin Gugat - edisi khusus (terbit dua atau tiga kali sepekan) dari
majalah Balairung asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. "Gugat
muncul untuk menampung ketidakpuasan para aktivis mahasiswa tentang pemuatan
media massa umum (mengenai aksi menuntut reformasi) yang dinilai sangat singkat
atau kecil porsinya." Atau pandangan Bhayu M, Pemimpin Redaksi Bergerak!
dari UI: "Kami ingin memberikan informasi mengenai apa yang sesungguhnya
terjadi di kampus-kampus, apa yang menjadi tuntutan mahasiswa mengenai
reformasi, dan apa yang bisa dibicarakan bersama untuk bangsa ini." Yang
mirip juga disuarakan oleh Fadilasari, Pemimpin Redaksi Teknokra dari
Universitas Lampung (Unila): "Upaya kami adalah melaporkan berbagai
kejadian secara nyata, yang tidak dilaporkan secara jelas oleh media massa umum.
Kalau koran umum di luar kampus tidak berani mengungkapkan kenyataan sebenarnya,
koran kampus mengupas secara detail kejadiannya." Idealis memang. Dan itu muncul karena selama ini para
mahasiswa merasa tidak didengar, tidak diperhitungkan, dan bahkan tidak
dipercaya. "Teknokra pernah mengalaminya," ungkap Andriansyah,
Pemimpin Umum majalah itu. "Saat mahasiswa menyandera empat perwira polisi
dalam "Insiden 19 Maret" (lihat Kompas, 20/3/1998-Red)
di Unila, media massa umum memang memberitakannya. Namun ketika berita itu
disangkal oleh pejabat tinggi militer, itu pun dimuat oleh banyak media massa
umum. Ini aneh. Kami dari Teknokra melihat sendiri fakta (penyanderaan)
itu di depan mata. Untuk menepis ketidakpercayaan itu kami lalu memuat seluruh
"Insiden 19 Maret" tersebut secara lugas pada edisi Maret dan
April," tambahnya. Ternyata, kegigihan untuk memberitakan fakta apa adanya
telah menjadi ciri kerja para aktivis pers kampus di zaman
"pergolakan" menuntut reformasi ini. Ini ditunjukkan dengan
mengerahkan dan menyebarkan puluhan reporter - tanpa dibayar -, mengorek kocek
pribadi kiriman orangtua atau hasil kerja sambilan, dan mencari acuan ilmiah
dari buku maupun dari para pakar di lingkungan universitas mereka masing-masing.
Sudah biasa bahwa para aktivis pers mahasiswa itu kini banyak kerja lembur.
Beruntung bahwa deadline tidak harus dipahami melulu dari sisi hitungan
jam. Keterbatasan kemerdekaan pers umum dalam mengungkap fakta-apa-adanya
ternyata merupakan keunggulan momentum bagi kalangan pers mahasiswa.
Profil harian Bergerak! dari Universitas Indonesia mungkin bisa merupakan
gambaran dari 'warna baru' pers kampus saat ini. ***
SAMPAI 10 Maret 1998 lalu kampus UI di Depok, Jawa Barat,
'hanya' memiliki Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa Universitas
Indonesia. Terbitnya dua bulan sekali, 66 halaman, kertasnya bagus, punya
izin terbit dari SK Rektor, pengurusnya OK - Pelindung: Rektor,
Penasihat: Purek III, dan Penanggung jawab: Ketua Senat Mahasiswa -, punya nomor
rekening di Lippo Bank, dan isinya cukup beragam: dari serius sampai santai. "Namun, ketika banyak aksi mahasiswa marak menjelang
Sidang Umum MPR, Suara Mahasiswa tampak sulit berbuat sesuatu,"
begitu ungkap Achmad Nurhoeri, Ketua Bidang Pelatihan, Pengkajian dan
Pengembangan Organisasi majalah itu pekan lalu. "Kami merasa bahwa ada gap
informasi antara mereka yang aktif dalam aksi-aksi mahasiswa dan mereka yang
tidak. Bersama para alumni pers kampus, redaksi mulai mendiskusikan bentuk media
baru guna menginformasikan dan menyebarkan kesadaran politik di kalangan
mahasiswa. Muncullah gagasan menerbitkan sebuah harian sederhana, sebagai
"tukang pos" penyadaran. Tanggal 10 Maret 1998 akhirnya terbit edisi
perdana harian Bergerak!. Terbit Senin sampai dengan Jumat dengan empat
halaman dan masih gratis!," tutur Nurhoeri yang kini menjadi Pemimpin Umum
harian itu. Pada awalnya bahan berita sangat banyak. Demonstrasi,
sembilan bahan pokok, kabinet baru, krisis moneter, dan kinerja DPR. Corak
beritanya nyaris monoton bergeliat persis seperti huruf "g" (dari Bergerak!),
yang 'digambar' macam sebuah embrio. Munculnya berbagai tips mengenai
unjuk rasa maupun perlindungan hukum sedikit banyak membuat harian itu punya
fungsi praktis. Kemudian, dalam gerak cepat, Editorial, yang ditulis oleh sebuah
tim, berhasil membuat harian itu punya bobot pencerahan. Banyak pandangan
tokoh-tokoh dunia-dari Emile Zola, Martin Luther King Jr, Bung Karno, Kardinal
James Gibbons, Abraham Lincoln, Chang Yu, Napoleon, Theodore Roosevelt, sampai
Dalai Lama - dijadikan acuan bahasan dalam Editorial. Ambil contoh misalnya, Editorial edisi 12,5 (sic!)/Kamis,
26 Maret 1998, yang dimulai dengan kata-kata ini: "...Anakku, simpan
segala sesuatu yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada
rakyat, biarkan aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu...".
Pesan Bung Karno pada Megawati menjelang akhir hayatnya itu dipakai untuk
menuturkan "semangat rela berkorban demi kepentingan yang lebih besar:
bangsanya". Atau, simak kata-kata Chang Yu: When one treats people with
benevolence, justice, and righteousness, and reposes confidence in them, the
followers will be united in mind and all will happy to serve their leader,
yang digunakan untuk mengungkap dambaan munculnya seorang pemimpin yang kuat,
adil, dan mampu melihat permasalahan secara menyeluruh. (Editorial Bergerak!
edisi 21/Rabu, 8 April 1998). "Pencerahan diperlukan agar kami tetap menjadi pers
yang obyektif, yang bisa menjadi referensi bagi gerakan mahasiswa. Kami
menekankan rasionalitas. Dukungan terhadap reformasi pun harus didasarkan pada
pengamatan fakta secara rasional," begitu ungkap Achmad Nurhoeri. Tentu saja, kendala untuk tidak subyektif cukup besar.
Dengan 30 reporter yang sangat beragam - 'anak baru' sampai yang senior - Bergerak!
memang 'dipaksa' untuk selalu merefleksi pemberitaan mereka. Untunglah mereka
memiliki banyak alumni pers mahasiswa - 'orang-orang' majalah media cetak umum -
yang membantu. Para pakar di lingkungan UI sendiri banyak pula yang memberi
masukan ilmiah. "Unjuk rasa dan tugas peliputannya sendiri juga menjadi
ajang pendidikan dan peningkatan kemampuan jurnalistik," tutur Achmad.
"Dalam kaitan ini ongkos ganti cetak (kini Rp 600) dari para mahasiswa UI
dan orang luar merupakan dukungan tersendiri dalam proses mengungkap fakta apa
adanya secara rasional. Di mana-mana rasionalitas memang masih selalu jadi harga
diri mahasiswa." tambahnya. ***
AGAK dini memang untuk membandingkan terbitan pers
mahasiswa saat ini - mulai dari Teknokra (Unila), Bergerak!
(UI), Ganesha (ITB), Manunggal (Universitas Diponegoro), Balairung
dan Gugat (UGM), Suara Airlangga (Unair) dan Arrisalah
(IAIN Sunan Ampel), sampai Identitas (Universitas Hasanuddin
Ujungpandang) - dengan pendahulu mereka yang besar seperti Harian KAMI
(Jakarta) atau Mahasiswa Indonesia Edisi Jawa Barat (Bandung). Dua
pendahulu itu sungguh memiliki peran besar dalam memberi corak dan sistem
politik dan gerakan awal Orde Baru. Peneliti macam F Raillon (Politik dan
Ideologi Mahasiswa Indonesia, LP3ES, Jakarta: 1985) misalnya, bahkan
menilai, untuk memahami gerakan Angkatan '66 orang harus membaca Mahasiswa
Indonesia. Editorial mingguan itu (No 53 Juni 1967), yang berjudul Di
sini Kami berdiri dan Kami Suarakan Amarah Suci sebuah Angkatan bisa disebut
sebagai cerminan cita-cita, ambisi, dan falsafah gerakan Angkatan '66. Tapi lepas dari perbandingan di atas, harus diakui bahwa
saat ini pers mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi - negeri maupun swasta
- sedang mengalami geliat baru. Tema-tama tajuk mereka: "Kami Adalah
Pemilik Sah Republik Ini" (Identitas); "Tak Sekadar
Semangat" (Manunggal); atau "Perjuangan Menuju Reformasi"
(Ganesha), sekurang-kurangnya menunjukkan keterlibatan mendalam terhadap
keadaan negeri mereka. "Tidak pernah terjadi sebelumnya bahwa berita-berita
mengenai wisuda, dies natalis, atau pidato rektor digusur untuk liputan
krisis ekonomi dan usulan reformasi," begitu ungkap Dr Aloysius Agus
Nugroho, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya Jakarta, Kamis lalu.
"Sikap kritis terhadap keadaan ini ternyata mampu menjadi bahan refleksi,
umpan balik, dan sekaligus alat kontrol terhadap kekuasaan," tambah mantan
pengasuh Warta Atma Jaya ini. Bagi Nugroho, pers mahasiswa bisa menjadi tempat untuk
mengasah sikap kritis tersebut. Untuk itu dinamikanya harus selalu dipelihara.
"Kalau perlu diciptakan media alternatif di samping media (resmi)
mahasiswa," katanya. Di UI dan UGM hal itu memang sudah terbukti. Harian Bergerak!
dan Gugat menjadi 'jantung baru' - karena frekuensi terbit yang lebih
banyak - bagi Suara Mahasiswa dan Balairung. Persoalannya kini,
apakah geliat pers mahasiswa ini tetap akan memiliki stamina kuat? Sampai saat
ini, situasi krisis ekonomi dan banyaknya tuntutan reformasi memang menjadi
kerangka sosial dan lingkungan kondusif bagi geliat tersebut. Bagaimana kalau
krisis sudah teratasi dan tuntutan reformasi telah diambil oleh DPR/DPRD
misalnya? Apakah pers mahasiswa akan berhenti bergeliat? "Reformasi yang
kami tuntut bukan reformasi parsial, tapi reformasi total. Dan untuk sebuah
totalitas tak ada kata berhenti," begitu ungkap Achmad Nurhoeri. Itu juga
harapan kaum cendekiawan yang independen. (ast/cal/dth/ody/lam/yul/pp/top/win/wit)
Surat Pembaca, Kompas,
Sabtu, 9 Mei 1998
|