Indeks Anggota
tips © Majalah BALAIRUNG
2000 [11/18/00]
|
Kompas,
Minggu, 3 Mei 1998 UNTUK
urusan keberanian, dengan tutup mata pun dapat didalilkan, pers umum kalah
dibanding pers mahasiswa. Lebih-lebih di zaman reformasi seperti ini. Tak peduli
amburadul-nya manajemen, tata tulis, logika pikir, atau argumentasi,
namun statement paling lugas dan vulgar tentang fakta politik nasional -
yang seandainya dipampang di pers umum pasti langsung kena bredel - bisa dengan
enteng muncul di pers mahasiswa. Terbitan terakhir Suara Airlangga, berupa buku saku
100 halaman, misalnya, mengetengahkan wawancara dengan sosiolog Dr Dede Oetomo
berjudul Rezim ini Menghina Rakyat. Menurut pengurusnya, Lembaga
Penerbitan Mahasiswa Unair, terbitan itu disebut sebagai Edisi Prihatin. Keberanian yang lugas juga tampak pada majalah Arrisalah
milik mahasiwa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Terbitan terakhirnya
awal Januari lalu memuat laporan 31 halaman berbentuk suplemen, yang menulis
tentang kekayaan pejabat negeri ini. Tentu saja, seluruhnya bernada amat kritis,
bahkan pedas, kalau tidak bisa disebut radikal. Dan akibatnya? Intervensi pihak
luar masuk, melalui tangan struktur organisasi IAIN itu sendiri, yakni rektorat
atau dekanat. Kendati lembaga pers mahasiswa itu bersifat otonom, karena seluruh
biaya penerbitan ditanggung mahasiswa melalui pungutan SPP sebesar Rp 10.000
untuk empat kali penerbitan selama satu tahun, namun dalam kenyataannya Arrisalah
tidak otonom. Ia tergantung oleh kekuatan rektorat; tak bisa terbit, jika pihak
rektorat menganggap pemberitan yang disajikan membahayakan legalitas kampus. Dan
kali ini dana majalah dari SPP yang dikumpulkan rektorat tidak dicairkan. Tak cuma itu nasib Arrisalah. Tiba-tiba dekan
Fakultas Syariah meminta redaksi mengurus STT (Surat Tanda Terbit) ke Deppen.
Padahal sejak 1986 Arrisalah terbit cukup berbekal nomor pendaftaran
ISSN, sebagai penerbitan intern dan aman-aman saja, tutur Abdul Kholik, ketua
Pengarah atau Pemimpin Redaksi Arrisalah. "Saat ini, kami benar-benar terancam tak bisa terbit,
karena dana cetak untuk edisi berikutnya (terbit tiga kali setahun) yang
mestinya sudah beredar April ini tak kunjung turun, meski 100 persen naskah
sudah siap naik cetak," tambah Misron, Ketua Dewan Penyunting Arrisalah.
***
SULIT untuk tidak mengatakan pers mahasiswa tidak
signifikan. Mustahil pula untuk mengesampingkan peran pers mahasiswa dalam
proses berkembangnya aksi-aksi mahasiswa akhir-akhir ini. Pada kasus Unair
misalnya, menurut Iwan Hidayat, Pemimpin Redaksi Suara Airlangga, tidak
ada beda sama sekali antara aktivis pers mahasiswa dengan aktivis aksi-aksi
demonstrasi mahasiswa. "Mereka para organisator demonstrasi itu, tak lain
aktivis pers mahasiswa," katanya. Proses berlangsungnya kegiatan pers mahasiswa di
kantung-kantung kampus mahasiswa akhir-akhir ini jelas tak bisa dipisahkan dari
aksi demonstrasi. Meski tak mesti ada kesamaan gejala di semua perguruan tinggi
negeri dan swasta, karena tak semua pengurus pers mahasiswa senantiasa aktif,
namun demikian itulah yang terjadi pada pers kampus yang sudah populer selama
ini. Di perguruan tinggi lain, seperti Universitas Surabaya
dengan Warta Ubaya, pers kampus dikelola bukan oleh mahasiswa. Sehingga
kendati kontinuitas penerbitannya bagus, layout dan desainnya mantap,
hampir tak ada hubungan antara penerbitan ini dengan dinamika kampus akhir-akhir
ini. Demikian juga, tak semua gerakan mahasiswa mensyaratkan kehadiran pers
mahasiswa, seperti ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya). Di
kampus mahasiswa teknik ini, hampir tak ada pers mahasiswa yang tumbuh menyertai
aksi, kendati tiap minggu mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. "Pers mahasiswa bukan syarat gerakan, tapi ketika ada,
ia benar-benar termanfaatkan sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari
proses gerakan mahasiswa. Begitulah kira-kira posisinya," tutur Aris
Sunantyoko, pekerja pers mahasiswa Retorika dari Unair. Akibatnya, jika pers mahasiswa ada, posisinya menjadi unik.
Tidak saja karena pengaruhnya, kelugasannya, atau keberaniannya yang niscaya tak
bisa ditandingi pers umum paling kritis sekalipun, tapi justru karena peran itu
muncul di tengah serba keterbatasannya. "Unik karena meski pers mahasiswa
hadir di tengah suasana tak ada dana dan tekanan dari pihak universitas, tapi
juga dikompensasi oleh antusiasme pengelola-pengelolanya," tutur Iwan dari Suara
Airlangga. ***
SESUNGGUHNYA mustahil mengharapkan pers mahasiswa bisa
terorganisasi dengan baik dan menjadi unit bisnis yang maju macam Koperasi
Mahasiswa. Di Unair, misalnya, organisasi pers mahasiswa muncul sebagai unit
kegiatan mahasiswa. Tak beda dengan Menwa (Resimen Mahasiswa), Pramuka, karate,
atau teater. Mereka menyebutnya badan semi otonom. Pers mahasiswa mendapat jatah
dana, untuk kasus Retorika yang sudah terbit sejak 1980-an, sebanyak Rp
700.000 setahun dari iuran orangtua mahasiswa (Ikoma). "Sulit untuk menjadikannya terbitan yang bisa
memberikan tanggung jawab bisnis, misalnya untuk bermitra dengan dunia bisnis di
luar kampus. Sebab, dana yang ada itu pun belum tentu bisa turun penuh dan tepat
waktu. Retorika, misalnya, berhasil bertahan menjadi majalah dengan
sampul dan layout yang baik hanya sampai akhir 1997. Setelah itu, buletin
itu hanya muncul 8 halaman dan dicetak di atas kertas mirip bungkus nasi.
Penampilannya memang jauh dari baik, tapi energi "reformasi"-nya luar
biasa tinggi. "Jadi memang tak pantas mempertanyakan soal mutu dan
organisasi terbitannya. Kekuatan yang sesungguhnya dari pers mahasiswa terletak
pada kemampuannya untuk menuliskan apa saja itu, yang tak mungkin ditulis di
pers-pers umum, televisi swasta dan radio," kata Iwan. Dalam kondisi seperti itu daya hidup pers mahasiswa
kemudian justru terpelihara karena keunikan posisinya. Mereka antara tergantung
dan tidak tergantung. Jika ada dana fakultas atau jurusan mereka tergantung.
Tapi disebut tergantung sama sekalipun tidak. Buktinya, jika dananya kurang,
para pengelolanya akan melakukan apa saja, termasuk mencari utang. Kalau perlu
sebagian dana kos yang diperoleh dari orangtua, atau sisa penghasilan dari
penyelenggaraan seminar yang mereka selenggarakan, dialihkan untuk biaya
penerbitan. "Soal biaya makan dan transportasi peliputan berita
menjadi tanggung jawab masing-masing "wartawan pers kampus". Tidak ada
dana subsidi. Paling-paling yang kita berikan hanyalah film, itu pun kita minta
menjepretnya harus selektif dan terbatas, demi pengiritan. Kekuatan pers ini
hanyalah loyalitas dan dedikasi pengelolanya saja. Biaya yang kita keluarkan
ibarat, biaya hidup sehari-hari saat kita kuliah saja," ujar Iwan. Namun cermin sikap independen ini menjadi berbeda, tatkala
digunakan untuk melihat majalah Arrisalah. Kendati rencana penulisan
lebih matang, penggarapan lebih energik dengan data yang akurat, serta
perencanaan liputan yang lebih ke depan, misalnya untuk edisi baru
mempertanyakan soal DPR, dalam kaitan sidang istimewa, majalah itu menjadi tidak
independen. Terbukti, pengelola Arrisalah gelisah karena dana percetakan
tertahan di tangan pimpinan fakultas. "Jumlahnya sekitar Rp 4 juta sekali
terbit. Seluruhnya untuk ongkos percetakan," kata Abdul Kholik, Pemimpin
Redaksi majalah itu. (ast/ody) |