Apa PIPMI
Berita Terbaru
Indeks Anggota
Formulir Registrasi
Link Khusus
Artikel
resensi
tips
untuk sementara situs ini dikelola oleh
Litbang Majalah Balairung
© Majalah BALAIRUNG
2000
webmaster
[11/19/00]
|
Minggu, 22 Maret
1998
--------------------------------------------------------------------------------
Sejarah yang Makin Terpinggir
Judul Buku: Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK
Penulis: Didik Supriyanto
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1988
Tebal: 266 halaman
--------------------------------------------------------------------------------
BUKU yang diangkat dari sebuah skripsi S-1 Fisipol UGM ini menambah kekayaan
literatur tentang Pers Mahasiswa Indonesia yang kini masih amat kurang. Karya
sebelumnya yang pernah ada adalah tulisan Amir Effendi Siregar (1983) yang juga
merupakan karya skripsi, kemudian disertasi karya Francois Raillon (1985, terj.)
dan artikel pada majalah Prisma yang ditulis Daniel Dhakidae tahun 1977.
Buku ini menyoroti perkembangan pers mahasiswa kontemporer, pada masa setelah
diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan)
tahun 1978. Titik pijak karya ini adalah dua buah pers kampus yang memiliki
sejarah tersendiri bagi para aktivis pers mahasiswa dan para aktivis gerakan
mahasiswa lainnya, yaitu majalah Balairung di Yogyakarta yang dikelola mahasiswa
UGM, dan koran Solidaritas yang dikelola sejumlah mahasiswa dari Universitas
Nasional, Jakarta.
Tak dapat dipungkiri, menyebut perkembangan pers mahasiswa, sebenarnya juga
menunjuk perkembangan gerakan mahasiswa itu sendiri. Pers mahasiswa dalam sejarah
dan perkembangannya memang merupakan subbagian dari gerakan mahasiswa. Jadi
turun naik pers mahasiswa adalah turun naik gerakan mahasiswa. Bahkan dari pihak
aparat keamanan sering muncul tuduhan, gerakan mahasiswa pada suatu waktu adalah
kontribusi aktivitas pengelola pers mahasiswanya sendiri.
***
ISTILAH pers mahasiswa itu sebenarnya penyebutan diri yang dikekalkan para pelakunya,
untuk melawan istilah yang diberikan birokrasi yaitu "penerbitan mahasiswa"
atau "penerbitan kampus". Politik bahasa ini mencoba untuk mengeliminir pengertian
bahwa terbitan yang dibuat mahasiswa juga memiliki nilai informasi yang patut
dikelola orang banyak dan dikelola dengan suatu idealisme tersendiri.
Potret menarik yang ditampilkan penulisnya adalah bagaimana dinamika dalam tubuh
dua tempat pusat gerakan mahasiswa: Jakarta dan Yogyakarta dalam periode pertengahan
tahun 80-an hingga awal 90-an. Penulisnya - yang juga bekas pengelola Balairung
- mencatat, perlawanan mahasiswa atas pengekangan kampus, tak pernah padam,
meski perlawanan demikian tak lebih meluas dibanding masa-masa sebelumnya. Kampus
yang tadinya otonom, dan dipegang oleh sosok pemimpin - rektor - yang juga cukup
independen, pelan-pelan dibekukan lalu diarahkan menjadi universitas hanya sebagai
penghasil sarjana yang steril terhadap politik.
Kebangkitan gerakan dan pers mahasiswa pada pertengahan tahun 80-an tak lain
dari kemunculan sosok rektor yang memberi angin perubahan kepada aktivitas mahasiswa.
Yang dicatat penulis di sini sosok rektor seperti Koesnadi Hardjosoemantri di
UGM pada pertengahan tahun 80-an dan Sutan Takdir Alisjahbana di Universitas
Nasional. Pada masa itulah majalah Balairung terbit di Yogya dan koran Solidaritas
lalu generasi Politika menyusul kelompok Pijar.
Peran aktif para pengelola pers mahasiswa ini juga sempat mengundang polemik
dalam tubuh para aktivis mahasiswa di berbagai kota. Polarisasi antara mahasiswa
demonstran jalanan dan mahasiswa dari kelompok studi sempat menajam, seolah
mencerminkan adanya keterputusan antara dua kutub aktivis mahasiswa ini.
***
DARI buku ini tergambar bagaimana evolusi yang terjadi dalam tubuh gerakan mahasiswa
Indonesia tahun 80 hingga awal 90-an. Protes mahasiswa yang semula hanya bicara
soal-soal intern, lalu mengalihkan pandangan kepada persoalan-persoalan masyarakat
sekitar, seperti masalah pertanahan, protes terhadap kebijakan pariwisata, sampai
kemudian mengkristal menjadi makin radikal dan memutuskan untuk makin keluar
dari kampus dan menggelar aksi-aksi jalanan. Di Bandung, kasus tanah di Cimacan,
Badega adalah beberapa isu yang sempat digarap mahasiswa, sedangkan di Jawa
Tengah yang paling menonjol kasus Kedungombo yang mengikat solidaritas mahasiswa
di Yogya dan Salatiga.
Bagaimana pun juga gerakan mahasiswa dari masa ke masa, tetap selalu bersinggungan
dengan negara dalam tarik menariknya. Aktor pembentuk Negara Orde Baru yang
dulu sempat menggandeng mahasiswa dalam peralihan kekuasaan tahun 1965-66, dalam
perjalanannya kembali pada posisi kritisnya yang ditunjukkan lewat protes-protes.
Protes mahasiswa mencuat pada masa menjelang terjadinya peristiwa 15 Januari
74, dan pada akhir 1997, sebelum akhirnya dua kampus di Jakarta dan Bandung
diserbu tentara.
Sejak dari situ, pemerintah menilai gerakan mahasiswa bisa menjadi salah satu
potensi besar untuk menjadi perongrong kewibawaannya. Diberlakukanlah sejumlah
policy untuk meminggirkan mahasiswa dari panggung politik, misalnya dengan menggelar
peradilan mahasiswa, penyingkiran dan pemecahbelahan universitas secara fisik
(lewat pemindahan ke pinggir kota, dan bentuk arsitektur yang dipilih) kepada
kampus-kampus baru yang didirikan setelah masa itu.
Unity, atau solidaritas yang dulu tercermin dalam bentuk arsitektur yang saling
berhimpitan antarfakultas kini dipecah-pecah menjadi sangat berjauhan. Tak heran
jika hasilnya adalah egoisme sektor dari kalangan mahasiswa itu.
Tapi perlawanan selalu terjadi dan para mahasiswa kritis pun menyiasati kebijakan
negara yang mencoba memenjarakan mahasiswa dengan kerangka akademis sterilnya.
Dimulailah era mahasiswa bergabung dalam sejumlah kelompok studi, pengabdian
yang ditunjukkan dengan pembentukan lembaga swadaya masyarakat dan akhirnya
kembali turun ke jalan. Semua kegiatan dilangsungkan di luar jalur resmi kampus.
Dan mahasiswa ini tak bisa lepas dari konteks pertarungan politik para aktor
elit negara yang ada di atas mahasiswa. Yang mencolok adalah persaingan (pada
1980-an) antara Benny Moerdani dan Soedharmono pada saat setelah Pemilu tahun
1987 untuk menduduki posisi Wakil Presiden. Tarik menarik yang terjadi di kalangan
mahasiswa adalah bentuk pertarungan antara dua gajah mengorbankan sang pelanduk,
yaitu mahasiswa.*
Ignatius Haryanto, Ketua Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
(LSPP), Jakarta
|